Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jebakan Moral dan Ekologis Tambang Ormas: Adakah Solusinya?
3 Juli 2024 9:56 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Bondan Attoriq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Terselip implikasi yang demikian fatal dari pemberian konsesi tambang untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Kebijakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 ini dikritik keras lantaran ketidakjelasan urgensi, ambiguitas hukum, dan bahkan dilabeli politik balas budi.
ADVERTISEMENT
Sudah jangkap analisis sosial, politik, dan hukum, menyisakan dua ruang kritik yang belum dikonstruksi secara paripurna. Tidak lain, adalah keterkaitan dimensi moral dan ekologis.
Penulis meminjam pisau analisis Paus Fransiskus, pencetus pertobatan ekologis, dalam ensiklik Laudato Si’ (2015). Sang Paus menyeru dengan khidmat, “Pertobatan ekologis yang diperlukan untuk menciptakan suatu dinamisme perubahan yang berkelanjutan, juga merupakan pertobatan komunal.”
Perubahan (pembangunan) berkelanjutan sebagaimana termaktub selaras dengan visi Republik Indonesia, yang tentu tak lepas kaitannya dengan pertobatan ekologis. Secara konseptual, ia adalah jalan keluar atas segala bentuk eksploitasi alam, yang mengakar dari antroposentrisme modern.
Paham yang memandang manusia sebagai satu-satunya subjek di alam semesta, meniscayakan hal-hal di luar dirinya sebagai objek. Akibatnya, terjadi objektifikasi kepada alam dan segala sumber kehidupan secara masif. Kerusakan lingkungan menjadi salah satu buntutnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai bentuk mitigasi, pertobatan ekologis harus segera dilanggengkan. Upaya mewujudkan itu terangkum dalam frasa “pertobatan komunal”, yang disabdakan Paus Fransiskus.
Sebab, manusia tidak mungkin mengurai peliknya perkara sosial-ekologis seorang diri. Peranan lembaga masyarakat adalah hal yang mutlak, sekaligus melandasi kerja esensialnya sebagai motor pertobatan ekologis-komunal.
Pertanyaannya, bukankah kebijakan tersebut cenderung meneledorkan organisasi keagamaan—salah satu lembaga masyarakat termasif di Indonesia—dari fungsi dan peran esensialnya? Bagaimana takdir pertobatan ekologis di Nusantara? Apakah ini jebakan untuk ormas keagamaan?
Nasib pertobatan ekologis bangsa
Dalam konteks Indonesia, ormas keagamaan merupakan bagian inheren dari kiprah pertobatan ekologis-komunal. Mereka menyandang fungsi esensial sebagai pelindung umat, baik terhadap paradigma teknokratis maupun relativisme praktis, yang sama-sama berkiblat pada budaya eksploitasi tanpa kendali.
ADVERTISEMENT
Nahasnya, kebijakan tersebut berpotensi menjebak ormas keagamaan dalam kerja-kerja yang berkontradiksi. Sekali saja mereka terjun menuju dunia pertambangan yang eksploitatif, maka fungsi esensialnya—untuk menjauhkan umat dari budaya eksploitasi—niscaya akan lumpuh.
Pada titik ini, peranan ormas keagamaan sebagai “lembaga masyarakat” nyaris tidak bisa diharapkan. Tanpa kesatuan usaha dari lembaga masyarakat, umat akan tercerai-berai menjadi individu yang rentan terbawa arus paradigma modern bercirikan budaya konsumerisme (Paus Fransiskus, 2015).
Suburnya konsumerisme adalah tanda kiamat pertama bagi kiprah pertobatan ekologis di Indonesia.
Ormas keagamaan jatuh ke dalam perangkap?
Kebijakan konsesi tambang untuk ormas keagamaan sejatinya menyamarkan perangkap yang berlapis-lapis. Perangkap pertama, individualisme umat, akan memberangus kolektivitas pertobatan ekologis kemudian memecah-belahnya menjadi gerak perseorangan yang percuma.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, pertobatan ekologis harus dilaksanakan serempak. Ia mengilhami kesadaran komunal demi mencabut akarnya eksplotasi alam, dalam rupa paradigma modern (teknokratis). Jadi, menggantungkan harapan kepada individu untuk menggeser paradigma masyarakat adalah hal yang bukan hanya sia-sia, tetapi juga mubazir.
Perangkap kedua adalah dilema moral bagi ormas keagamaan yang belum mencapai kemandirian finansial. Sebut saja, Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU), yang mengaku butuh suntikan dana dalam rangka mencukupi kebutuhan operasionalnya.
Kebutuhan tersebut adalah menghidupi minimal 30.000 santri dan guru yang tinggal di pondok pesantren ala kadarnya. Oleh sebab itu, PBNU dengan senang hati menerima tawaran konsesi tambang.
Kalau ditelisik lebih dalam, pernyataan itu menyiratkan keterjebakan PBNU di tengah pusaran dilema. Mari kita bayangkan dua (2) skenario.
ADVERTISEMENT
Skenario pertama, PBNU menolak konsesi tambang demi komitmen sosial-ekologis. Imbasnya, dari kacamata paling pesimistis, ormas tidak mungkin lagi memakmurkan umatnya karena mengalami defisit. Nasib umat pun pada akhirnya dipertaruhkan.
Skenario kedua, sesuai apa yang sedang terjadi, PBNU menyambut konsesi tambang demi kesejahteraan umat. Komitmen mereka dalam menyerukan pertobatan ekologis tentu dipertanyakan. PBNU merespons cepat dengan klaim tambang batu bara yang mereka kelola akan “ramah lingkungan”.
Pasalnya, klaim sepihak saja tak mampu ditahbiskan sebagai fakta. Studi para ahli yang penuh kehati-hatian niscaya menyingkap kebenarannya. Salah satunya adalah studi profesor hukum lulusan Harvard, George W. Pring, dalam buku Mining, Environment, and Development (1999).
Ia menyatakan secara gamblang, “Pertambangan adalah inheren dengan degradasi lingkungan, tidak ada aktivitas pertambangan yang ramah lingkungan. Ketika sebagian menganggap bahwa mayoritas dampak pertambangan bersifat lokal, sejatinya pertambangan menyebabkan persoalan lingkungan secara nasional, bersifat lintas batas, dan bahkan global.”
ADVERTISEMENT
Beragam riset atas dampak destruktif pertambangan terhadap lingkungan hidup menerangkan hal serupa. Spesifiknya, penelitian Reno Fitriyani terkait tambang batu bara (2016), yang kebetulan sejenis dengan konsesi yang disodorkan pemerintah.
Menukil artikelnya dalam Jurnal Redoks (2016), pertambangan batu bara tak pelaknya dengan upaya merusak ekosistem. Sederet efeknya yang demikian destruktif merupakan harga yang tidak bisa ditawar. Mulai dari perubahan lanskap lahan, penurunan kesuburan tanah, ancaman terhadap biodiversitas, polusi air, polusi udara, dan pencemaran akibat limbah tambang.
Ormas keagamaan bagai bertemu buah simalakama. Jika mereka menerima konsesi tambang, maka diniscayakan berkontribusi terhadap kerusakan ekologis, yang otomatis mencederai jati dirinya selaku penyeru umat. Sementara itu, menolaknya akan berbuntut perkara finansial yang tak berkesudahan, sekaligus opsi yang tidak solutif bagi umat yang sedang kesusahan.
ADVERTISEMENT
Di posisi serba terjepit, ormas keagamaan mestinya bukan pihak yang patut dikritik habis-habisan. Duduk perkaranya terletak pada peraturan pemerintah yang dilabeli banyak pengamat sebagai kebijakan problematik. Kebijakan tersebut tentu saja harus dikaji ulang. Dan barangkali, rumusan win-win solution yang akan penulis jabarkan bisa menjadi salah satu bahan pertimbangannya.
Rumusan win-win solution
Rumusan solusi ini terdiri atas tiga (3) klausul yang saling berkelindan dan harus dilantaskan berkesinambungan. Dengan begitu, output-nya diharapkan dapat menguntungkan semua pihak atau, meminjam bahasa negosiasi, disebut sebagai kondisi win-win solution.
Klausul pertama
Ormas keagamaan harus tetap berada di koridornya sebagai penyeru pertobatan ekologis umat. Hilangkan kebijakan yang berpotensi melemahkan fungsi-fungsi fundamentalnya sebagai “lembaga masyarakat”. Fokus utama ormas adalah membimbing umat, bukan mengeruk pundi-pundi uang dari debu pertambangan yang menyesakkan napas masyarakat.
ADVERTISEMENT
Klausul kedua
Komplikasi finansial ormas keagamaan perlu diatasi dengan kebijakan pemerintah yang mendukung model usaha non-eksplotatif. Arahkan daya upaya mereka untuk pemberdayaan infrastruktur SDM, seperti pondok pesantren, sekolah, dan universitas. Dengan pengelolaan yang tepat, memiliki pencapaian selayaknya Muhammadiyah dengan 171 perguruan tinggi dan kemandirian finansialnya, bukanlah hal yang mustahil digapai ormas keagaaman lain.
Klausul ketiga
Industri pertambangan harus terjangkau bagi seluruh elemen sipil. Cara yang paling relevan adalah merampungkan konflik-konflik horizontal, ekologis, dan sosial yang kerap diabaikan penindakan hukumnya. Pemerintah seharusnya membayar kontan utang-utangnya kepada korban konflik, sebelum menambah “pemain tambang” yang berpotensi memperkeruh keadaan.
Dengan demikian, dunia pertambangan niscaya menjadi bagian integral dalam pembangunan manusia dan ekosistemnya. Sementara ormas keagamaan akan terus menyerukan darmanya dalam ruang pertobatan ekologis, sebagaimana dipinta Paus Fransiskus, demi kemajuan peradaban dunia dan Indonesia.
ADVERTISEMENT