Konten dari Pengguna

Antara Kedaulatan dan Stabilitas: Menyikapi Patroli Udara-Laut Terbaru China

Bonita Angelina
Mahasiswa aktif Universitas Kristen Indonesia jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
30 September 2024 8:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bonita Angelina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Eskalasi ketegangan di Laut China Selatan, yang ditandai oleh patroli udara dan laut terbaru China di sekitar terumbu karang yang disengketakan pada hari Sabtu (29/8), menggambarkan kompleksitas geopolitik yang semakin meningkat di kawasan Asia-Pasifik. Tindakan assertif Beijing ini tidak hanya menegaskan kembali klaimnya atas hampir seluruh Laut China Selatan, tetapi juga menghadirkan tantangan signifikan terhadap stabilitas regional dan tatanan internasional yang berbasis aturan.
Kapal Patroli China di Laut China Selatan (Sumber: Bloomberg)
zoom-in-whitePerbesar
Kapal Patroli China di Laut China Selatan (Sumber: Bloomberg)
Patroli China di sekitar Scarborough Shoal, yang direbut dari Filipina pada tahun 2012 merupakan manifestasi dari strategi ekspansionis Beijing yang lebih luas. Taktik ini, yang sering disebut sebagai strategi "zona abu-abu" bertujuan untuk secara bertahap mengubah status quo tanpa memicu konflik terbuka.
ADVERTISEMENT
Namun, pendekatan ini mengandung risiko miscalculation yang dapat memicu eskalasi yang tidak diinginkan. Intensifikasi aktivitas militer China di wilayah yang disengketakan mencerminkan keyakinan Beijing bahwa proyeksi kekuatan adalah cara paling efektif untuk mengamankan kepentingan nasionalnya. Akan tetapi, strategi ini berpotensi kontraproduktif dalam jangka panjang karena dapat mengalienasi negara-negara tetangga dan mendorong mereka untuk mencari perlindungan dari kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat.
Respon internasional terhadap tindakan China ditunjukkan melalui latihan militer bersama antara Amerika Serikat, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Filipina di zona ekonomi eksklusif Manila. Komitmen Amerika Serikat terhadap Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka menegaskan peran Washington sebagai penyeimbang kekuatan di kawasan. Namun, efektivitas pendekatan ini dalam menghalangi agresi China masih perlu dipertanyakan. Latihan militer bersama, meskipun mengirimkan sinyal kuat tentang solidaritas antar sekutu, mungkin tidak cukup untuk mengubah kalkulasi strategis Beijing secara fundamental.
ADVERTISEMENT
Perkembangan terbaru menunjukkan adanya dinamika yang kompleks. Pada bulan Juli, China dan Filipina mengumumkan kesepakatan sementara terkait misi pasokan ulang untuk kapal Filipina, Sierra Madre, yang terpasah di Second Thomas Shoal. Namun, Beijing juga melaporkan bahwa mereka mengawasi sebuah kapal Filipina saat mengirimkan pasokan ke kapal yang kandas tersebut. Situasi ini menciptakan dilema bagi negara-negara di kawasan dengan bagaimana menyeimbangkan kebutuhan untuk mempertahankan kedaulatan mereka dengan keinginan untuk menghindari konfrontasi langsung dengan kekuatan ekonomi dan militer terbesar di kawasan.
Implikasi patroli China terhadap stabilitas regional tidak bisa diremehkan. Tindakan ini tidak hanya meningkatkan risiko insiden militer yang tidak disengaja, tetapi juga mengancam kebebasan navigasi yang sangat penting bagi perdagangan global. Lebih jauh lagi, kenaikan ketegangan di Laut China Selatan dapat memaksa negara-negara ASEAN untuk memilih sisi yang berpotensi melemahkan kohesi organisasi regional tersebut. Strategi assertif China dalam menegaskan klaimnya atas Laut China Selatan menunjukkan efektivitas jangka pendek, namun menghadirkan risiko jangka panjang yang signifikan. Meskipun Beijing berhasil memperluas kontrolnya secara de facto atas berbagai fitur maritim, pendekatan ini telah mengikis soft power China dan merusak citranya di mata komunitas internasional.
ADVERTISEMENT
Peran Amerika Serikat dan Sekutunya
Peran Amerika Serikat dan sekutunya dalam dinamika konflik di Laut China Selatan tetap menjadi faktor kunci. Kehadiran militer AS di kawasan memberikan jaminan keamanan bagi negara-negara yang lebih kecil dan bertindak sebagai penghalang terhadap agresi yang lebih terang-terangan. Namun, keterlibatan AS juga berpotensi mempertajam persaingan great power dan meningkatkan risiko konfrontasi langsung dengan China.
Prospek Penyelesaian Diplomatik
Prospek penyelesaian sengketa melalui diplomasi tetap ada, namun memerlukan pendekatan yang lebih inovatif dan inklusif. Kesepakatan Code of Conduct (COC) yang mengikat secara hukum antara China dan negara-negara ASEAN dapat menjadi langkah signifikan menuju de-eskalasi. Namun, negosiasi COC telah berlangsung selama bertahun-tahun hasil konkret yang signifikan masih belum tercapai dengan mencerminkan kompleksitas kepentingan yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Patroli terbaru China di Laut China Selatan merupakan indikator signifikan dari tantangan geopolitik yang dihadapi kawasan Asia-Pasifik. Tindakan ini menegaskan urgensi untuk mengembangkan mekanisme manajemen krisis yang lebih efektif dan mendorong dialog multilateral yang konstruktif. Komunitas internasional, terutama negara-negara di kawasan, perlu bekerja sama untuk menciptakan insentif bagi semua pihak untuk menahan diri dan mencari solusi diplomatik. Hanya melalui pendekatan kolaboratif dan berbasis aturan, stabilitas jangka panjang di Laut China Selatan dapat dicapai, memastikan bahwa kawasan ini tetap menjadi arteri vital bagi perdagangan global dan bukan menjadi arena konflik great power.