Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kendat: Ketika Nyawa Tinggal Satu Sentakan
20 Oktober 2022 20:51 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Bora Kamala tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kejadian ini dialami oleh kenalan saya, sebut saja namanya Mbah To. Sebagai peringatan, kalau kamu pernah melihat jenazah orang gantung diri, sebaiknya kamu jangan membaca cerita ini.
ADVERTISEMENT
—
Sekitar tahun 2000-an, Mbah To merantau ke sebuah daerah di Kota Bandung. Di sana ia bekerja sebagai kuli bangunan. Ia tinggal di indekos bersama dua temannya: satu orang menempati kamar yang sama dengannya, sementara satunya lagi tinggal di kamar sebelah sendirian.
Pada masa itu, kehidupan Mbah To cukup sulit. Ia dililit utang dan terancam ditinggalkan istrinya. Kadang usai bekerja, ia sering melamun sambil merokok di teras indekos. Kehidupan kedua temannya pun tak lebih beruntung. Mereka sama-sama punya masalah dengan uang. Uang seakan-akan tak betah berlama-lama tinggal di dompet mereka.
Salah satu teman Mbah To yang tinggal di kamar sendiri, sebut saja namanya Salam, jarang sekali bicara. Menurut Mbah To kala itu, kehidupan Salam jauh lebih sulit darinya. Salam kalah taruhan gara-gara pemilihan kepala desa dan akhirnya terlilit utang puluhan juta. Selain takut dikejar para botoh pemenang, ia juga menanggung malu lantaran sebelumnya sering sesumbar, kalau sampai calon yang didukungnya kalah, ia akan sunat dua kali.
ADVERTISEMENT
Suatu malam ketika turun hujan deras, Salam mengajak Mbah To ke kamarnya. Mulanya, Mbah To heran, tidak biasanya Salam berminat mengajaknya ngobrol duluan.
"Pantesan malam ini hujan deras," canda Mbah To.
Salam hanya tersenyum. "Mung pengen jagong karo awakmu, Kang. Cuma pengen ngobrol sama kamu."
"Kangen istrimu, ya?" goda Mbah To.
Temannya itu menjawab dengan menyodorkan satu pak rokok kesukaan Mbah To. Mbah To tentu senang karena kebetulan ia juga sedang tidak punya rokok. Ia pun segera mengambil sebatang, lalu menyulutnya dengan korek yang juga disodorkan oleh Salam. Sambil ngudud, Mbah To mengajak Salam bercengkerama. Namun, Salam hanya menanggapi sekadarnya. Saat itu, Mbah To tidak berpikir macam-macam karena biasanya Salam juga tidak banyak bicara.
ADVERTISEMENT
Saat lewat tengah malam, Mbah To bertanya, "Nggak tidur? Besok masih kerja, lho."
Salam menjawab, "Aku besok pagi mau pulang."
"Lho, ngopo mulih dhisik? Gak bareng-bareng wae, ta?"
"Enggak, Kang. Aku kesel," jawab Salam.
Akhirnya, Mbah To pamit ke kamarnya untuk tidur.
*
Menjelang subuh, Mbah To bangun hendak ke kamar kecil. Saat melewati kamar Salam, Mbah To melihat pintu kamarnya tidak tertutup rapat, tapi lampunya mati. Mbah To berpikir, mungkin Salam lupa mengunci pintu. Ia juga ingat kalau Salam mau pulang pagi itu. Maka, ia berinisiatif membangunkan Salam agar tidak ketinggalan bus pagi–karena Mbah To mengira Salam akan pulang naik bus.
Akan tetapi, ketika membuka pintu, Mbah To merasakan sesuatu menghalangi, seperti ada benda yang bergantung di balik pintu. Ia pun segera menekan saklar lampu yang ada di dinding sebelah pintu. Saat itulah, ia melihat Salam tergantung dengan mata membelalak, lidah terjulur, dan wajah membiru. Dan hanya memakai celana dalam. Temannya itu gantung diri memakai sarung yang diikatkan ke atap, tepat di belakang pintu kamar. Sarung itu semalam dipakainya ketika jagong dengan Mbah To.
ADVERTISEMENT
Selama beberapa detik, Mbah To hanya terpaku. Ia tak menyangka bahwa Salam ingin "pulang" dengan cara seperti itu. Ia pun bergegas mencari pertolongan. Tak lama kemudian, seluruh penjuru indekos gempar.
*
Jenazah Salam dimakamkan di pemakaman umum dekat indekos. Salam tidak punya keluarga di kampung. Ternyata, ia sudah pisah rumah dengan istrinya. Dan istrinya juga menolak mengurus jenazah Salam ketika Mbah To mengabarinya. Uang untuk mengurus pemakamannya juga sudah disiapkan Salam di bawah bantal beserta surat yang bertuliskan keinginannya untuk mengakhiri hidup karena lelah dengan utang dan tak kuat menahan malu.
Malamnya, suasana indekos berubah mencekam. Penghuninya tak ada yang berani duduk-duduk di teras kamar seperti biasa. Mbah To sendiri, lebih memilih merenung di kamar sambil mengingat-ingat obrolannya dengan Salam sebelum ia ditemukan tergantung di kamar.
ADVERTISEMENT
Malam itu, Mbah To tidak bisa tidur. Ia masih terbayang-bayang wajah Salam yang tergantung di balik pintu. Yang sangat ia sayangkan, kenapa Salam harus mengakhiri hidup dengan cara seperti itu? Dan lagi, kenapa ia harus setengah telanjang ketika memilih mati? Setidaknya, kan, ia bisa memakai celana dulu sebelum gantung diri.
Saat Mbah To mulai mengantuk dan berada di keadaan antara sadar dan tidak sadar, dalam keadaan kamar yang remang-remang karena hanya mengandalkan cahaya lampu teras, ia melihat sepasang kaki tergantung dan mengayun di depannya. Mbah To langsung bangun dan mengucek mata. Namun, sepasang kaki yang ia lihat telah lenyap, berganti dengan hawa pengap dan angin dingin yang meniup tengkuknya. Seketika, bulu kuduk Mbah To bangun diiringi rasa takut yang menggigit.
ADVERTISEMENT
Tatapan Mbah To merayapi seluruh penjuru kamar. Ia merasa sedang diawasi. Namun, tak ada siapa pun dalam kamar itu kecuali dirinya dan temannya yang tengah pulas. Mbah To kembali merebahkan diri dan menggulung tubuhnya di balik sarung. Ia menutupi kepalanya dengan bantal dan memejamkan mata rapat-rapat. Tiba-tiba, ia mendengar suara memanggil namanya. Kang … Kang To … tolong aku, Kang ….
Suara itu terdengar seperti teriakan dari jauh tapi sangat jelas di telinga Mbah To. Mbah To pun membuka mata dan menajamkan pendengarannya. Kang To, tolong, Kang. Suara itu memanggil lagi. Mbah To akhirnya bangun, lalu membuka pintu. Ia melongok dari celah pintu, mencari siapa yang memanggilnya. Namun, seluruh pintu kamar indekos tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda orang yang masih terjaga karena lampu-lampu kamar tampak padam semua.
ADVERTISEMENT
Mbah To mengorek-ngorek telinganya dengan kelingking. Ia berpikir, mungkin ia cuma salah dengar. Saat berbalik hendak tidur lagi, tiba-tiba ia menabrak sesuatu. Dari cahaya lampu teras yang menyusup lewat ventilasi kamar, Mbah To melihat ada sepasang kaki mengayun tepat di depan wajahnya.
"Tolong lepaskan tali di leherku, Kang …."
Mbah To melihat ke atas. Dua garis cahaya lampu teras yang menembus ventilasi kamar, tercetak jelas di wajah pemilik sepasang kaki itu: Salam. Seketika, Mbah To ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya untuk membangunkan temannya yang masih tidur. Namun, tenggorokannya seperti disumbat sekepal nasi panas. Ia ingin berlari keluar kamar, tapi kakinya seperti mengakar di lantai. Maka, ia hanya bisa terpaku dikunyah ketakutan hingga nyalinya lumat tak bersisa. Malam itu, yang terakhir diingatnya adalah wajah sedih Salam yang mengiba sambil mencengkeram sarung di lehernya sendiri.
ADVERTISEMENT
*
Sejak kamarnya didatangi Salam, Mbah To akhirnya memutuskan pulang kampung. Temannya pun menyusul seminggu kemudian. Awalnya, teman sekamar Mbah To itu tidak mempercayainya. Ia selalu menyangkal bahwa Mbah To mungkin terbayang-bayang karena ia yang pertama kali menemukan jenazah Salam. Dan lagi, yang dilihat Mbah To tergantung malam itu, bukanlah Salam yang minta tolong, tapi jaket temannya yang digantung di kawat jemuran dalam kamar.
"Tenan! Itu benar-benar Salam! Lagian jaketmu itu sebelumnya juga bukan di situ tempatnya!" ujar Mbah To menahan emosi.
"Lha, tapi buktinya jaketku ada di sini to?" balas temannya itu sambil menunjuk jaket yang masih tergantung di kawat.
"Mbuh!" Mbah To akhirnya diam sambil berdoa, semoga temannya itu mengalami sendiri.
ADVERTISEMENT
Dan doa Mbah To itu benar-benar terkabul semalam setelah temannya itu tidur sendirian di kamar.
Sejak pulang kampung, kehidupan Mbah To makin sulit. Ia jarang menghasilkan uang dan istrinya sering uring-uringan. Ia ingin sekali bekerja, tapi pekerjaan itu kerap tak ada. Puncak kesulitannya adalah ketika mertuanya menyuruhnya berpisah dengan istrinya. Kala itu, Mbah To memang masih tinggal serumah dengan mertuanya.
Mbah To jadi sering tak pulang. Ketika ia pulang tak membawa uang, istrinya ogah disentuh dan selalu marah-marah, lalu mereka bertengkar. Saat itu, ibu mertuanya akan turut menuding bahwa Mbah To kurang rajin mencari nafkah. Hal itu membuat Mbah To tak betah di rumah. Ketika malam, ia akan nongkrong di warung, lalu tidur di pos ronda sampai pagi.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, ketika Mbah To baru pulang ke rumah, istrinya tak mau membukakan pintu. Ia sudah mengetuk berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Padahal ia melihat sandal istri dan kedua mertuanya ada di depan rumah. Tandanya, mereka tidak sedang bepergian. Mbah To akhirnya memutar ke samping rumah, lalu mengintip lewat lubang jendela kamar. Ia melihat sang istri tengah meringkuk di atas dipan sambil menutup telinganya dengan kedua tangan.
"Dik, buka pintunya!" Mbah To mengetuk jendela kayu sambil berteriak.
Istrinya menjawab, "Nggak usah pulang ke sini lagi!"
Mbah To terdiam. Hatinya seperti dicubit. Sebagai laki-laki dan sebagai suami, harga dirinya terluka. Ia telah diusir dari rumah itu. Sebenarnya, ia tak terima dan ingin marah. Tapi, ia sadar, dirinya memang belum bisa membahagiakan istrinya selama ini. Maka, Mbah To meninggalkan rumah mertuanya dengan langkah lesu.
ADVERTISEMENT
Matahari semakin tinggi dan perut Mbah To mulai berdendang. Sejak semalam, perutnya belum dihampiri nasi barang sesuap. Ia pun masih melangkah tak tentu arah menyusuri trotoar. Kendaraan lalu-lalang, tak peduli dengan kesedihan yang dialaminya. Ia sudah tak punya orang tua dan tak punya tempat tujuan. Akhirnya, Mbah To berbelok ke area persawahan.
Sambil menyusuri pematang, ia tiba-tiba teringat dengan Salam. Dalam hati, ia akhirnya mengerti kenapa akhirnya Salam memilih mengakhiri hidup: ia tak sanggup menanggung malu karena ditinggalkan istri, pun tak sanggup juga menanggung utang segunung. Mungkin mati memang jalan terbaik mengakhiri penderitaan, pikir Mbah To waktu itu.
Mbah To membelokkan langkah ke kuburan yang berada di tengah-tengah area persawahan. Di tengah kuburan itu ada pohon besar. Suasana di sekitarnya sangat sepi. Waktu itu, desanya sedang dilanda kemarau panjang. Padi-padi di sawah mengering dan tanahnya retak menganga. Kalau tak hati-hati melangkah, siapa saja bisa terperosok dan terluka karena tergores tanah yang membatu.
ADVERTISEMENT
Mbah To merebahkan diri di bawah pohon sambil mengamati daun-daun yang menguning. Semilir angin kemarau yang kering, membuatnya mengantuk. Ia pun tertidur.
*
Mbah To terbangun ketika bayangan pohon lebih panjang ke timur. Perutnya terasa melilit, tenggorokannya pun dicekat dahaga. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah istrinya mencarinya dan berharap ia pulang lagi? Namun, sebagai lelaki, ia tak ingin melukai harga dirinya untuk kedua kali. Ia tak mau pulang ke rumah itu, kecuali istrinya sendiri yang meminta.
Mbah To menatap dahan pohon di atasnya. Memang ada buahnya, tapi buah kepoh tidak bisa dimakan karena rasanya pahit. Tiba-tiba terlintas sesuatu di pikirannya: bagaimana kalau ia gantung diri saja seperti Salam? Iya, sebaiknya aku mati saja menyusul orang tuaku. Aku sudah lelah hidup seperti ini.
ADVERTISEMENT
Saat hari mulai gelap, Mbah To yang sudah bertekad mengakhiri hidup, akhirnya naik ke pohon dan duduk di sebuah dahan yang ia rasa cukup kuat menahan beban. Karena tidak menemukan alat untuk gantung diri, ia akhirnya melepas celana panjangnya. Celana itu ia atur sedemikian rupa sehingga bisa terikat di lehernya. Ia lalu membuat simpul di pohon dengan kedua ujung celana yang tersisa.
Sebelum ia menjatuhkan diri dan menggantung di dahan pohon, ia berdoa, "Semoga setelah ini, penderitaanku akan berakhir."
Krak!
Mbah To menjatuhkan diri dan akhirnya lehernya tergantung di dahan pohon. Saat itu, ia merasa lehernya seperti dijepit. Napasnya seakan hendak dirampas. Namun, ia tak kunjung mati setelah berayun-ayun selama beberapa detik. Lehernya seperti mau patah, tapi tak kunjung patah.
ADVERTISEMENT
Saat ia meronta-ronta menahan sakit, ia melihat banyak sosok mengelilinginya. Sosok-sosok itu memiliki ekspresi yang sama: mata mereka membelalak, lidah mereka terjulur keluar, dan tangan mereka mencengkeram tali yang menjerat leher mereka sendiri. Sosok-sosok itu menatap Mbah To. Dan Mbah To juga melihat sosok Salam berada di antara mereka.
Mulut mereka diam. Namun, tatapan mereka yang tampak mengerikan seolah berkata, "Jangan seperti kami! Jangan mengikuti jalan kami! Ini sangat menyakitkan!"
Tiba-tiba dahan pohon tempat Mbah To menyerahkan hidup dan matinya, patah. Mbah To terbanting di atas makam. Ia terbatuk-batuk sambil memegang leher dan meraup oksigen banyak-banyak. Sosok-sosok menyeramkan itu masih mengelilingi dan menatapnya. Ada wanita muda, laki-laki tua, bahkan remaja. Jumlah mereka mungkin ada puluhan, atau sampai ratusan. Dan mereka semua memegangi leher sambil merintih kesakitan.
ADVERTISEMENT
Mbah To meraung-raung dan membenamkan kepalanya ke tanah. Lehernya masih terasa sakit, bahkan suaranya nyaris tak mau keluar. Ia berteriak, "Aku kesel urip, ngopo kok aku gak mati wae? Kenapa aku tidak mati saja?" Ia membalikkan tubuh hingga telentang. Sosok-sosok itu perlahan menghilang satu persatu. Namun, ada satu sosok tertinggal yang kini berdiri di dekatnya.
Sosok itu menangis keras. Suaranya terdengar bercampur antara kesakitan dan putus asa, seolah menunjukkan bahwa jalan yang ia pilih kini membuatnya menyesal.
*
Saat menceritakan kisah ini kepada saya, Mbah To dalam keadaan sehat dan tampak ceria. Ia kini punya usaha warung kopi dan istri yang setia. Ia bersyukur tak jadi mati kala itu. Untung dahan pohonnya patah. Kalau tidak, mungkin ia akan meratap sampai kiamat karena menyesal.
ADVERTISEMENT
"Saya tidak akan pernah lupa tatapan mereka waktu nyawa saya tinggal satu sentakan. Mereka benar-benar terlihat menyesal."
Mbah To juga berpesan kepada saya, "Apa pun kesulitan yang kamu alami, jangan pernah berpikir untuk gantung diri."
Bojonegoro, 20 Oktober 2022