Membangun Karakter Bangsa di Era Post-Truth

Boy Anugerah
Tenaga Ahli Bidang Politik di DPR / MPR RI Alumnus Studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Konsultan Politik di Literasi Unggul Foundation
Konten dari Pengguna
17 Februari 2021 6:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Boy Anugerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Post-truth Politics
zoom-in-whitePerbesar
Post-truth Politics
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Globalisasi merupakan sebuah fenomena global yang tak terhindarkan saat ini. Suka tidak suka, globalisasi melanda semua bangsa dan negara tanpa kecuali, termasuk Indonesia. Globalisasi menjelma dalam bentuk perubahan di segala aspek kehidupan, mulai dari pola konsumsi, model pakaian, sarana berkomunikasi, hingga cara untuk menentukan moda transaksi pembayaran dan transportasi dalam kehidupan sehari-hari. Disadari atau tidak, globalisasi telah merubah cara pandang dan perilaku bangsa Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
Ada banyak definisi mengenai globalisasi. Waters mendefinisikan globalisasi sebagai sebuah proses sosial, yang mana batas geografis tidak penting terhadap kondisi sosial budaya, yang akhirnya menjelma kepada kesadaran seseorang. Definisi ini kurang lebih sama dengan definisi yang diberikan oleh Giddens. Menurut Giddens, globalisasi adalah adanya saling ketergantungan antara satu bangsa dengan bangsa lain, antara satu manusia dengan manusia lain melalui perdagangan, perjalanan, pariwisata, budaya, informasi, dan interaksi yang luas sehingga batas-batas negara menjadi semakin sempit.
Merujuk pada kedua definisi tersebut, melalui interaksi di bidang sosial budaya, adalah sebuah keniscayaan bahwa tercipta suatu kondisi di mana budaya suatu negara dapat mempengaruhi budaya negara lainnya, begitu juga sebaliknya. Pertukaran budaya ini dapat terjadi melalui kontak secara langsung, namun bisa juga terjadi melalui kecanggihan perangkat informasi dan komunikasi. Penggunaan perangkat tersebut membuat pertukaran atau bahkan penyebaran budaya berlangsung secara cepat dan masif. Sederhananya, anak-anak Indonesia yang tinggal di Jawa Tengah misalnya, dapat melihat dan mempraktikkan budaya K-Pop Korea atau Harajuku Jepang dengan mudah, hanya dengan melihat video di media sosial tanpa harus berkunjung ke kedua negara Asia Timur tersebut.
ADVERTISEMENT
Globalisasi merupakan fenomena bermata dua, ia memunculkan dilema. Di satu sisi globalisasi menyajikan kemudahan yang bermanfaat positif dalam pemenuhan hajat hidup manusia, namun di sisi lain memberikan dampak negatif seperti tergerusnya karakter bangsa. Fenomena globalisasi yang hanya diterima dan dikonsumsi tanpa disaring terlebih dahulu, memiliki potensi besar untuk memberikan dampak negatif terhadap masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda. Indonesia memiliki nilai luhur dan budayanya sendiri yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai bangsa lain. Penerimaan nilai-nilai budaya bangsa lain tanpa filterisasi berdasarkan nilai-nilai kebangsaan, berpotensi besar mendatangkan kemudaratan terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia.
Salah satu anak kandung globalisasi dewasa ini adalah post-truth atau era pasca kebenaran. Menurut J.A. Llorente, post-truth merupakan iklim sosial politik di mana objektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak ke keyakinan, meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda. Ada tiga situasi yang menyebabkan era post-truth disambut hangat oleh masyarakat, yakni pertama, suatu bentuk devaluasi kebenaran yang berlangsung sebagai dampak dari narasi politisi penebar demagogi. Kedua, banyak orang atau kelompok merasa nyaman dengan informasi yang telah dipilih, dan ketiga, media lebih menekankan sensasi, sehingga hanya berita baru, spektakuler, dan sensasional yang layak disebut worth news.
ADVERTISEMENT
Ada banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh era post-truth. Salah satunya adalah keberlimpahan informasi di berbagai media, utamanya media sosial, namun informasi tersebut lebih banyak menyesatkan dan menggiring opini publik untuk suatu maksud atau tujuan tertentu. Sebagai contoh, post-truth berpengaruh terhadap dinamika politik bangsa menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan legislatif tahun ini. Kedua hajatan rakyat tersebut lebih didominasi oleh hal-hal yang sifatnya destruktif, penuh berita kebohongan, saling fitnah, kampanye hitam, dan masih banyak lagi aktivitas yang ditujukan untuk mendekonstruksi lawan demi meraih keuntungan politik.
Fenomena tersebut di atas tidak bisa dianggap sebagai suatu hal yang ringan untuk dibiarkan begitu saja merujuk pada dampak negatif yang ditimbulkannya. Post-truth memiliki potensi besar untuk menggiring opini masyarakat dengan emosi kepada hal-hal yang belum benar adanya, yang tentu saja dapat berdampak negatif terhadap karakter bangsa Indonesia secara keseluruhan. Oleh sebab itu, penulisan kali ini menggunakan perumusan masalah sebagai berikut; “Bagaimana Membangun Karakter Bangsa di Era Post-Truth?”.
ADVERTISEMENT
Kerangka Teoretis
Istilah Post-Truth menjadi kata yang booming pada 2016. Kata ini begitu terkenal sehingga dinobatkan oleh Oxford Dictionary sebagai “World of The Year” pada tahun tersebut. Menurut Oxford Dictionary sendiri, istilah post-truth pertama kali digunakan pada 1992. Istilah ini diungkapkan oleh Steve Tesich di majalah The Nation ketika merefleksikan kasus Perang Teluk dan kasus Perang Iran yang terjadi pada periode tersebut. Ia mendefiniskan post-truth sebagai sebuah kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Dengan kata lain, masyarakat dalam menerima informasi dan menentukan suatu keputusan lebih berdasarkan pada dorongan emosi, serta apa yang diyakininya saja dengan mengabaikan fakta-fakta yang sesungguhnya.
Berbicara tentang post-truth juga tidak terlepas dari fenomena globalisasi yang menjadi landasan kemunculan post-truth itu sendiri. Menurut Roland Robertson, globalisasi mengacu pada penyempitan dunia secara intensif dan peningkatan kesadaran kita akan dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi global dan pemahaman kita akan koneksi tersebut. Di sini penyempitan dunia dapat dipahami dalam konteks institusi modernitas dan intensifikasi kesadaran dunia dapat dipersepsikan refleksif dengan lebih baik secara budaya. Globalisasi memiliki banyak penafsiran dan sudut pandang. Sebagian menafsirkan sebagai pengecilan dunia yang menjadikan dunia ibarat kampung kecil. Sebagian lagi berpandangan bahwa globalisasi adalah penyatuan masyarakat dunia dari sisi gaya hidup, orientasi, dan budaya.
ADVERTISEMENT
Pembahasan
Indonesia adalah sebuah entitas sosial budaya, selain tentu saja sebagai sebuah entitas politik. Sebagai sebuah entitas sosial budaya, Indonesia memiliki nilai-nilai luhur dan cara pandang yang berasal dan mengakar dari budaya tersebut. Seperti apa kontekstualisasi nilai-nilai luhur dan cara pandang bangsa Indonesia tersebut dapat dilihat pada apa yang menjadi konsensus dasar kebangsaan Indonesia, yakni Pancasila, UUD NRI 1945, Sesanti Bhinneka Tunggal Ika, dan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, hingga Tan Malaka sangat mengutamakan penanaman karakter bangsa pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Pilihan ini bukanlah tanpa dasar atau pertimbangan. Karakter bangsa yang kuat adalah landasan dan pilar bagi proses selanjutnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara. Kondisi Indonesia pada masa itu sangat membutuhkan penguatan karakter kebangsaan dikarenakan Indonesia baru lepas dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme barat. Agar lepas dari mentalitas sebagai bangsa terjajah, dibutuhkan pembangunan hingga penguatan karakter secara berkesinambungan.
ADVERTISEMENT
Apa yang dibangun oleh para pendiri bangsa pada masa lampau menemui tantangan berat dewasa ini. Tantangan ini berwujud sesuatu yang tak kasat mata, namun dampaknya sangat nyata dan mudah dilihat. Jamak ditemui generasi muda Indonesia yang lupa akan budaya bangsa mereka sendiri. Jamak juga ditemui para pejabat negara yang memiliki sifat konsumerisme yang tinggi yang jelas-jelas bukan cerminan kepribadian bangsa Indonesia. Yang lebih menyesakkan adalah berkembangnya aktivitas negatif seperti berita palsu, ujaran kebencian, saling fitnah, kampanye hitam, sebagai produk era pasca kebenaran.
Sebagai akibatnya, terjadi segregasi sosial di masyarakat. Konflik dengan mudah disulut hanya dengan satu hingga dua kalimat propaganda di media sosial. Masyarakat tak lagi menggunakan nalar kritis dalam menerima dan memamah informasi yang mereka terima. Di sinilah terjadi koinsidensi antara bertebarannya para propagandis pemecah belah bangsa dengan masyarakat malas yang tidak teredukasi dengan baik.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini tentu saja tidak bisa dibiarkan. Apa yang terjadi bukanlah suatu hal yang bersifat by accident, tapi lebih cenderung by design. Bahkan besar kemungkinan ada campur tangan pihak asing untuk melemahkan Indonesia melalui piranti tak kasat mata ini. Oleh sebab itu, dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk menanganinya, sebagai berikut;
a) Dibutuhkan penguatan budaya literasi masyarakat. Literasi yang dimaksudkan di sini tentu saja berhubungan erat dengan budaya menerima dan membaca informasi, namun dengan dilengkapi kemampuan untuk mengolah dan mengkritisi informasi tersebut. Solusi ini memang berat. Jangankan untuk berdialektika hingga mengkritisi informasi yang diterima, budaya membaca masyarakat Indonesia saja masih rendah dan harus ditingkatkan secara berkesinambungan. Masyarakat Indonesia juga masih terjerumus pada budaya baca instan, yakni membaca berita pendek di porta berita maya, atau membaca informasi yang diproliferasi melalui media sosial. Mereka enggan untuk membaca dari sumber yang kredibel seperti media massa yang terpercaya ada buku yang menyajikan data yang kredibel. Oleh sebab itu, ada beberapa langkah teknis dalam penguatan aspek literasi di sini. Pertama, menumbuhkan dan menggugah kesadaran membaca kritis dari masyarakat itu sendiri. Kedua, intervensi pemerintah melalui sumber daya atau aparaturnya untuk menstimulus kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca dan bernalar kritis dalam membaca;
ADVERTISEMENT
b) Dunia pers yang persisten dan berintegritas. Dunia pers harus secara konsisten menjalankan apa yang menjadi misi dan mandatnya sebagai pilar keempat demokrasi. Pers seyogianya menemukan kembali jati diri mereka seperti yang ditunjukkan pada era revolusi fisik dan era mempertahankan kemerdekaan. Pada waktu itu pers berfungsi dan berperan sebagai suluh kebenaran dan pedoman bagi para pahlawan untuk terus-menerus berjuang meruntuhkan kolonialisme Belanda dan Jepang. Pers juga menjadi penunjuk kebenaran kepada masyarakat internasional akan eksistensi dan gigihnya masyarakat Indonesia dalam merebut kemerdekaannya. Dewasa ini, di era pasca kebenaran yang menggelinding kencang, pers terjerembab dalam laku mencari oplah dan popularitas saja. Kebenaran dan kontribusi bagi demokrasi yang menjadi moralitas dasar mereka diabaikan. Pers menjadi panggung propagandis dalam mencapai tujuan banalnya. Oleh sebab itu, dibutuhkan revitalisasi dunia pers. Revitalisasi ini harus dilakukan secara lunak oleh pemerintah agar tak timbul kesan adanya represi dan pengekangan pers seperti yang ditunjukkan pada masa orde baru.
ADVERTISEMENT
Simpulan
Era pasca kebenaran yang merupakan anak kandung globalisasi berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap karakter bangsa Indonesia apabila tidak disikapi dengan langkah-langkah yang memadai. Kita semua tentu tak ingin terjadi segregasi sosial, konflik horizontal yang kian melebar di masyarakat, hingga terciptanya generasi instan yang hanya menumpukan pemahaman dan proses konstruksi berfikir mereka pada perangkat informasi yang penuh dengan berita bohong, fitnah, dan propaganda. Oleh sebab itu, tulisan ini menawarkan dua hal sebagai solusinya. Pertama, penguatan budaya literasi masyarakat untuk memberdayakan masyarakat itu sendiri, dan kedua adalah menciptakan dunia pers yang berintegritas dan persisten sebagai pelayan dan pilar demokrasi.