Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menyoal Konflik Antarnegara di Laut Cina Selatan
19 Februari 2021 13:46 WIB
Tulisan dari Boy Anugerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kawasan Laut Cina Selatan secara garis besar terdiri dari perairan dan daratan dari gugusan kepulauan dua pulau besar, yakni Spratly dan Paracel, serta bantaran Sungai Macclesfield dan Karang Scarborough yang terbentang luas dari Singapura yang dimulai dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan. Dikarenakan bentangan wilayah yang sangat luas ini, serta sejarah pergantian kekuasaan yang silih berganti oleh penguasa tradisional negara-negara terdekat, dewasa ini, beberapa negara seperti Cina, Taiwan, Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam, terlibat sengketa dan saling klaim atas sebagian atau seluruh wilayah perairan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dikarenakan sejarah navigasi dan perniagaan yang panjang di sana, yang kemudian diikuti oleh pergantian kekuasaan secara silih berganti atas wilayah, negara-negara di kawasan, bahkan di luar kawasan, memberikan nama yang berlainan untuk wilayah yang diperebutkan tersebut. Para pelaut Eropa, khususnya pelaut asal Portugis yang melayari wilayah tersebut pertama kali, menyebut wilayah tersebut sebagai Laut Cina Selatan (Mar da China). Sedangkan Organisasi Hidrografik Internasional juga menyebutnya sebagai Laut Cina Selatan atau Nan Hai (Laut Selatan) dalam Bahasa Cina.
Secara umum, terdapat sedikitnya tiga hal yang membuat Laut Cina Selatan menjadi wilayah perairan yang rawan konflik besar. Pertama, potensi sumber daya alam yang luar biasa yang terkandung di dalam Laut Cina Selatan, terutama minyak dan sumber energi lainnya. Kedua, karena Laut Cina Selatan memiliki posisi geografis yang strategis yang berada di jalur perlintasan kapal-kapal internasional yang melewati Selat Malaka, yakni jalur penghubung perniagaan dari Eropa ke Asia, dan Amerika ke Asia, serta sebaliknya. Ketiga, kontradiksi antara pertumbuhan ekonomi yang pesat di Asia dan pertumbuhan ekonomi yang menurun di Eropa dan Amerika Serikat, sehingga menjadikan Laut Cina Selatan sebagai wilayah sengketa banyak pihak.
ADVERTISEMENT
Konflik dimulai ketika Pemerintah Cina menyatakan bahwa klaim mereka berasal dari 2000 tahun yang lalu saat kawasan Spratly dan Paracel telah menjadi bagian dari Bangsa Cina. Menurut Pemerintah Cina, pada tahun 1947, Pemerintah Cina telah mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan Cina atas wilayah Laut Cina Selatan. Klaim Cina ini tentu saja mendapat penolakan dari negara-negara lain. Pemerintah Filipina misalnya, menyatakan klaim kedaulatan yang sama dengan mengangkat kedekatan geografis ke kepulauan Spratly sebagai sebagai dasar klaim terhadap sebagian wilayah kepulauan tersebut. Demikian juga halnya dengan Malaysia dan Brunei Darussalam yang menyatakan bahwa Laut Cina Selatan berada di ZEE mereka sesuai dengan UNCLOS 1982.
Rumusan Masalah
Dengan tidak mengurangi tingkat kewaspadaan nasional yang dimiliki, Indonesia pada awalnya memandang bahwa konflik Laut Cina Selatan yang melibatkan Cina, Taiwan, dan beberapa negara sahabat di Asia Tenggara, tidak melibatkan Indonesia sama sekali di dalamnya. Dengan kata lain, Indonesia berstatus sebagai non-claimant state dalam konflik ini. Namun demikian, insiden yang terjadi di penghujung tahun 2019 yang mana kapal-kapal nelayan Cina memasuki wilayah perairan Indonesia di Natuna, telah membuka mata pemerintah bahwa terdapat ancaman terhadap kedaulatan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sejumlah kapal asing penangkap ikan milik Cina diketahui memasuki Perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, pada tanggal 19 Desember 2019. Kapal-kapal tersebut dinyatakan telah melanggar ZEE Indonesia dan melakukan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal. Selain itu, Coast Guard Cina yang mengawal kapal-kapal nelayan tersebut juga dinyatakan melanggar wilayah kedaulatan Indonesia. Merujuk pernyataan pejabat pemerintahan Indonesia, insiden masuknya kapal-kapal Cina tersebut menunjukkan bahwa Indonesia harus lebih memperketat pertahanan, serta pengawasan. Di sisi lain, insiden tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki kekurangan dalam melakukan patrol pengawasan di kawasan ZEE.
Sebelum insiden tahun 2019 tersebut, Indonesia dan Cina sudah sering bergesekan di wilayah Perairan Natuna. Pada tahun 2016, Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P. Marsudi, melayangkan nota diplomatik kepada Pemerintah Cina atas masuknya kapal ikan nelayan Cina ke wilayah Perairan Natuna, serta aksi kapal Coast Guard Cina yang menghalangi KP HIU 11 menangkap KM Kway Fey 10078 yang melakukan pelanggaran wilayah tersebut. Konflik berlanjut hingga tahun 2017 ketika Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menerbitkan Peta NKRI yang baru. Dalam peta tersebut, nama Laut Cina Selatan diganti menjadi Laut Natuna Utara. Langkah Indonesia ini mendapat kritik dari Cina yang menyebut langkah tersebut sebagai upaya yang tidak rasional dan tidak sesuai dengan standar internasional.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada berbagai pergesekan antara Indonesia dan Cina terkait klaim kedaulatan di wilayah Perairan Natuna, adalah penting bagi Indonesia untuk menyikapi konflik ini karena berpotensi menimbulkan ancaman pertahanan dan keamanan, khususnya pelanggaran terhadap wilayah kedaulatan Indonesia. Oleh sebab itu, rumusan masalah dalam penulisan ini adalah: “Bagaimana mengantisipasi konflik di Laut Cina Selatan dengan mengedepankan perspektif pertahanan dan keamanan negara?”. Adapun beberapa hal penting yang harus disikapi untuk merespons permasalahan tersebut antara lain, sebagai berikut: (1) Bagaimana Indonesia menegaskan kembali klaim kedaulatan Indonesia dengan berpijak pada hukum internasional yang berlaku, yakni UNCLOS 1982?, (2) Bagaimana Indonesia menjalankan politik luar negerinya dalam menjaga kedaulatan wilayahnya?, serta, (3) Bagaimana Indonesia melakukan penguatan aspek pertahanan dan keamanan dalam mendukung upaya penegakan kedaulatan di wilayah konflik?
ADVERTISEMENT
Kerangka Teoritis
Konflik antarnegara dapat dilihat dari berbagai perspektif dengan menilik akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik, aktor-aktor yang terlibat, kepentingan yang mereka usung, derajat intensitas dan keluasan konflik. Dalam Studi Hubungan Internasional, terdapat dua pendekatan besar dalam memahami perilaku negara sebagai aktor internasional, yakni pendekatan liberal yang humanis, serta pendekatan realis yang sangat menekankan pentingnya pencapaian kepentingan nasional oleh sebuah negara melalui interaksi yang dilakukannya dengan negara atau aktor internasional lainnya.
Pertama adalah pendekatan liberal. Gagasan utama dari perspektif ini adalah negara-negara cenderung mengedepankan kerja sama dalam meraih kepentingan nasionalnya. Perspektif liberal lebih menekankan pada pendekatan yang rasional dan universal dari pandangan manusia, bahwa manusia atau entitas nasional dalam bentuk bangsa dan negara, selalu menempatkan rasionalitas dalam pengejaran kepentingan mereka. Dalam konteks konflik Laut Cina Selatan, para aktor yang terlibat konflik apabila mengedepankan perspektif liberal, maka mereka cenderung akan menggunakan solusi multilateral atas klaim tumpang tindih di Laut Cina Selatan, bukan solusi yang lebih sempit, yakni bilateral, apalagi aksi unilateral yang sangat sepihak.
ADVERTISEMENT
Kedua adalah pendekatan realis. Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah bahwa negara diargumentasikan selalu dimotivasi oleh kepentingan nasional dalam menjalankan hubungan internasional. Demikian juga halnya dengan kebijakan luar negeri yang dibuat yang selalu dilandasi oleh adanya kepentingan nasional. Oleh sebab itu, pola interaksi antarnegara yang terbentuk karena dorongan perspektif ini selalu bersifat konfliktual atau penuh konflik. Dalam perspektif ini, negara atau pemerintah identik dengan perilaku manusia yang egois, yang mana perilakunya didorong oleh sikap mementingkan diri sendiri. Kerangka berfikir inilah yang dapat menjelaskan mengapa Tiongkok, dalam konflik Laut Cina Selatan, lebih cenderung menggunakan pendekatan unilateral atau realis untuk mencapai kepentingan nasionalnya.
Selain kedua pendekatan tersebut, penting juga untuk memasukkan teori pertahanan dan keamanan sebagai bagian integral dan holistik dalam analisis, mengingat aspek pertahanan dan keamanan tersebut sangatlah penting untuk mewujudkan kepentingan nasional, khususnya menjaga kedaulatan negara. Walter Lippman mengungkapkan bahwa: “a nation is secure to the extent to which it is not in danger of having to sacrifice core values if it wishes to avoid war, and is able, if challenged, to maintain them by victory in such a war”. Pertahanan dan keamanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup suatu negara. Tanpa mampu mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar negeri dan atau dari dalam negeri, suatu negara akan sulit mempertahankan keberadaannya.
ADVERTISEMENT
Pembahasan
Dengan berpijak pada pendekatan liberal dalam Studi Hubungan Internasional yang mengedepankan kerja sama dalam penyelesaian permasalahan antarnegara, serta pendekatan pertahanan dan keamanan untuk mencapai kepentingan nasional, utamanya dalam menjaga kedaulatan NKRI, beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi konflik di Laut Cina Selatan adalah sebagai berikut:
a. Klaim Kedaulatan Indonesia di Wilayah Natuna Utara Berpijak Pada UNCLOS 1982
UNCLOS 1982, merupakan singkatan dari the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, sering disebut juga sebagai Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Indonesia sudah meratifikasi konvensi ini melalui UU No. 17 Tahun 1985. Sejak saat itu, Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat, tunduk kepada rezim UNCLOS 1982. Konvensi ini mempunyai signifikansi penting karena konsep negara kepulauan yang diperjuangkan oleh Indonesia selama 25 tahun secara terus-menerus berhasil mendapatkan pengakuan resmi dari masyarakat internasional. Pengakuan resmi secara internasional ini mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan UNCLOS 1982 ini, negara kepualauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Negara kepulauan dapat menarik garis dasar atau pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau dan karang kering terluar kepulauan itu. Termasuk dalam ketentuan konvensi adalah ZEE Indonesia di wilayah Perairan Natuna Utara. Dengan berpijak pada UNCLOS 1982 ini, Indonesia akan memiliki dasar hukum yang kuat untuk mempertahankan kedaulatannya di Perairan Natuna. Sebaliknya, dengan berpijak pada dasar yang sama, Indonesia menolak secara tegas klaim historis Tiongkok atas ZEE Indonesia di Perairan Natuna.
Pertama, klaim historis Cina bahwa sejak dulu nelayan mereka telah lama beraktivitas di wilayah tersebut bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum, dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Kedua, Indonesia dapat mendesak Cina untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perihal klaim di ZEE Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982 tersebut. Ketiga, berdasarkan UNCLOS 1982, Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih dengan Cina, sehingga dapat berpendapat bahwa tidak relevan adanya dialog tentang delimitasi batas maritim. Apa yang dilakukan Cina dalam empat tahun terakhir, sejak 2016 hingga kini, yang mana kapal-kapal nelayan dan Coast Guard Cina kerap masuk ke wilayah ZEE Indonesia di Natuna Utara, jelas-jelas merupakan tindakan pelanggaran terhadap hukum internasional yang berlaku.
ADVERTISEMENT
b. Mengedepankan Kerja Sama Regional Dalam Menjaga Kedaulatan Wilayah di Natuna Utara
Dengan berpijak pada pendekatan liberal yang mengutamakan kerja sama dalam penyelesaian konflik antarnegara, maka penting bagi Indonesia untuk mencari jalan keluar atas konflik di Laut Cina Selatan melalui pendekatan kerja sama yang berupaya mencari jalan keluar untuk kepentingan bersama, serta cenderung menghindari konflik. Terdapat urgensi bagi Indonesia untuk mengedepankan mekanisme kerja sama regional melalui instrumen ASEAN merujuk pada dua situasi dan kondisi. Pertama, beberapa negara yang berkonflik dalam sengketa ini adalah anggota ASEAN. Kedua, Indonesia memiliki peranan vital dalam organisasi ini sebagai founding father dan negara kunci (key player).
Salah satu tantangan paling signifikan yang dihadapi oleh Indonesia dalam mengarustamakan mekanisme ASEAN dalam konflik Laut Cina Selatan adalah negara-negara ASEAN yang terlibat langsung dalam konflik ini cenderung mengesampingkan mekanisme regional ASEAN dalam penyelesaian permasalahan. Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kepentingan nasional dan masih adanya rasa saling curiga antarnegara anggota ASEAN sendiri. Hal ini semakin diperkeruh oleh adanya anggapan dari negara-negara tersebut bahwa ASEAN tidak memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan permasalahan.
ADVERTISEMENT
Inilah tantangan besar yang dihadapi oleh Indonesia jika hendak mengarusutamakan mekanisme ASEAN. Namun demikian, salah satu modalitas yang dimiliki oleh Indonesia untuk tetap mengedepankan mekanisme ini adalah melalui terbentuknya Komunitas ASEAN pada Desember 2015 yang lalu. Melalui Komunitas Masyarakat Politik dan Keamanan ASEAN khususnya, Indonesia dapat mengajak negara-negara anggota yang terlibat konflik untuk duduk bersama merumuskan solusi secara komprehensif. Hal ini penting karena selain sebagai mekanisme resolusi konflik, juga sebagai upaya untuk memperkuat sentralitas ASEAN di kancah global.
c. Penguatan Aspek Pertahanan dan Keamanan Dalam Mendukung Klaim Kedaulatan RI
Seperti yang disampaikan pada kerangka teoretis, aspek pertahanan dan keamanan merupakan aspek yang sangat menentukan kelangsungan hidup suatu negara, serta menunjukkan seberapa tangguh suatu negara dalam merespons ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan terhadap kedaulatan nasionalnya. Dalam konteks pertahanan dan keamanan Indonesia, TNI memegang peranan yang sangat vital karena berfungsi sebagai alat utama pertahanan negara. Hal yang paling mendasar yang harus dilakukan oleh TNI, baik darat, laut, maupun udara adalah memiliki formula baku untuk memperkuat pertahanan di Natuna.
ADVERTISEMENT
Formula baku tersebut lebih lanjut harus dituangkan dalam berbagai langkah strategis. Pertama, menambah jumlah pasukan untuk memperkuat pangkalan angkatan laut yang ada di sana. Kedua, penempatan alutsista yang representatif dengan objektif yang hendak dicapai di sana. Alutsista di sini dapat berupa pengiriman kapal perang dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan, tentu saja diperkuat dengan pesawat tempur dan didukung personel angkatan udara yang cukup. Ketiga, membangun fasilitas militer untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan. Sebagai contoh, banyaknya pesawat tempur yang dikirim membutuhkan tempat atau lokasi untuk menampung pesawat-pesawat tersebut. Oleh sebab itu, dalam kerangkan formula baku, dibutuhkan sinkronisasi antarkebijakan teknis yang diambil.
Penutup
Simpulan ; Konflik Laut Cina Selatan yang tereskalasi hari ini tidak lagi menempatkan Indonesia sebagai pihak eksternal konflik, tapi semakin menggiring Indonesia ke pusaran konflik mengingat Cina tidak lagi segan untuk melakukan pelanggaran kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di wilayah Natuna Utara yang notabene merupakan ZEE Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk menjaga kedaulatan nasionalnya.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi ; Berpijak pada pendekatan liberal dalam Studi Hubungan Internasional untuk menyelesaikan konflik antarnegara, serta teori pertahanan dan keamanan dalam menjaga kelangsungan hidup sebuah negara, ada tiga hal yang dapat ditempuh Indonesia dalam merespons konflik dengan Cina di Perairan Natuna Utara. Pertama, mengedepankan mekanisme UNCLOS 1982. Kedua, mengarusutamakan instrumen regional ASEAN sebagai ejawantah politik luar negeri bebas dan aktif. Ketiga, memperkuat peran dan kapasitas TNI dalam menopang pertahanan dan keamanan negara.