Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pembangunan Daerah Berbasis Wawasan Nusantara
18 Februari 2021 8:24 WIB
Tulisan dari Boy Anugerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak runtuhnya rezim orde baru melalui gerakan reformasi politik pada 1998 yang silam, Indonesia memasuki sebuah tatanan kehidupan sosial politik yang relatif baru dan lebih reformis. Dalam konteks relasi antara pemerintah pusat dan daerah, salah satu produk reformasi yang cukup monumental adalah kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan dan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan dan pengelolaan daerahnya. Hal ini sebagai bentuk perubahan mendasar dari kebijakan sebelumnya yang berlaku di rezim orde baru, yang mana pemerintah pusat menerapkan kebijakan sentralistik terhadap daerah.
ADVERTISEMENT
Kebijakan otonomi daerah memiliki dasar hukum yang kuat karena diatur dalam sebuah regulasi khusus yang bersifat mengikat, yakni UU. No. 32/2004. Dalam regulasi ini, otonomi daerah didefinisikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara filosofis, otonomi daerah memiliki tiga nilai dasar, yakni nilai kebebasan, nilai partisipasi, serta nilai efektivitas dan efisiensi. Kebijakan otonomi daerah juga memiliki tiga asas utama dalam penerapannya yang meliputi asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
Melalui penerapan kebijakan otonomi daerah tersebut, penyelenggaraan pemerintahan daerah memiliki paradigma baru dengan lebih mengedepankan prinsip desentralisasi ketimbang sentralisasi kekuasaan seperti masa silam. Dalam arus otonomi daerah, posisi pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih bersifat melaksanakan fungsi standardisasi, yakni formulasi sejumlah regulasi atau kebijakan sebagai rujukan bagi daerah untuk melaksanakan pemerintahan daerah, melaksanakan fungsi fasilitasi, yakni membantu daerah untuk melakukan kegiatan tertentu, yang mana dalam kondisi tertentu daerah belum cukup cakap untuk melaksanakannya, serta fungsi supervisi, yakni melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan agar sesuai dengan garis-garis besar yang ditetapkan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dalam tataran ideal (das sollen), merujuk pada konsepsi otonomi daerah, relasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah seyogyanya sinergis dan saling menguatkan. Namun demikian, dalam tataran realitas (das sein), pola interaksi tidak selalu berjalan sesuai harapan. Riset yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap 1.109 peraturan daerah terkait kemudahan berusaha yang berasal dari 153 kabupaten/kota di 32 provinsi berhasil memetakan sejumlah permasalahan, baik di level pusat maupun daerah. Dari seluruh peraturan daerah yang dikumpulkan dalam periode 2010-2015, diketemukan 347 peraturan daerah yang bermasalah. Secara eksplisit hal ini menunjukkan bahwa belum ada sinergi dan harmoni yang kuat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam proses penyelenggaraan pembangunan, terlepas apakah bottleneck-nya ada di pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Apabila dibedah secara mendalam, relasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam rentang waktu pelaksanaan otonomi daerah belum menunjukkan berjalannya fungsi koordinasi, bimbingan, dan pengawasan (korbinwas) yang optimal. Ketidakmampuan masing-masing pemerintahan dalam menjalankan fungsi korbinwas ini berdampak fatal pada pelaksanaan otonomi daerah, sehingga mengakibatkan konsepsi otonomi daerah dalam bingkai NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika tidak bisa membumi. Yang lebih mengkhawatirkan adalah penafsiran dan eksekusi otonomi daerah yang justru menelurkan “raja-raja kecil” di daerah. Kondisi ini sangatlah menyalahi konsepsi dasar otonomi daerah. Alih-alih daerah berkembang menjadi lebih besar, maju, dan makmur, daerah justru menjadi kerdil karena digarap oleh segelintir elite yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri, sementara rakyat tidak tersentuh kesejahteraan sama sekali. Tulisan ini berupaya untuk merumuskan sebuah solusi agar kebijakan otonomi daerah dapat dijalankan dengan baik sehingga mendukung optimalisasi pembangunan di daerah. Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah “Bagaimana mewujudkan otonomi daerah yang mendukung optimalisasi pembangunan daerah dengan berpedoman pada wawasan nusantara?”
ADVERTISEMENT
Pembahasan
Ada beberapa permasalahan mendasar yang menghambat pelaksanaan otonomi daerah sehingga mengakibatkan pembangunan di daerah kurang memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat di daerah. Pertama, sumber kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dipilih melalui proses pemilihan umum yang demokratis yang menempatkan rakyat sebagai pemberi suara secara langsung (direct voters). Pemerintah pusat, dalam hal ini presiden, dipilih melalui mekanisme pemilihan presiden secara langsung. Sedangkan kepala daerah (provinsi/kabupaten/kota) juga dipilih melalui pemilihan umum kepala daerah secara langsung. Sebagai konsekuensinya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah merasa sama-sama memiliki legitimasi pemerintahan di mata rakyat, terutama pemerintah daerah yang otoritasnya diperkuat melalui payung hukum otonomi daerah. Kedua, belum adanya pemahaman yang baik dari masing-masing jenjang pemerintahan mengenai konsepsi otonomi daerah itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Terkait sumber permasalahan kedua, pemerintah pusat masih terlihat belum optimal dalam menjalankan perannya sebagai pemegang kendali dalam menentukan norma, standard, prosedur, dan kriteria (NPSK). Sebagai pemegang kendali NPSK, pemerintah pusat sudah seharusnya berupaya seoptimal mungkin dalam menciptakan kesepahaman dengan daerah akan pentingnya sinergi, harmoni, dan koordinasi dalam pelaksanaan NPSK yang sudah digariskan. Dalam konteks pemerintah daerah, kebijakan otonomi daerah sebagian ditafsirkan oleh pemerintah daerah sebagai kewenangan tanpa batas, bahkan cenderung menegasikan fungsi koordinaasi, bimbingan, serta pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Padahal secara genealogis, kebijakan otonomi daerah merupakan bentuk pendelegasian sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pendelegasian ini tidak serta-merta menihilkan peran dan tanggung jawab pemerintah pusat, karena pemerintah pusat masih memiliki kewajiban dalam menetapkan NPSK yang direalisasikan dalam bentuk koordinasi, bimbingan, serta pengawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya dua sumber permasalahan tersebut, maka adalah suatu keniscayaan akan terjadinya ketidakoptimalan dalam implementasi otonomi daerah. Banyak peraturan daerah yang tumpang-tindih dengan kebijakan pemerintah pusat, bahkan cenderung menegasikan satu sama lain. Selain itu, kebijakan otonomi daerah tidak berkorelasi positif dengan pengentasan kemiskinan, serta terwujudnya kesejahteraan rakyat. Yang terjadi adalah praktik kapitalistik yang mana terjadi kongkalikong antara penguasa dan pengusaha dalam mengeruk sumber daya daerah. Meskipun kondisi ini tidak berlangsung di semua daerah, dalam artian masih banyak daerah-daerah lainnya yang mengejawantahkan otonomi daerah dengan baik seperti Pemkot Surakarta dan Pemrov Jawa Tengah, akan tetapi hal ini merupakan persoalan krusial yang harus segera disikapi dan dicarikan rumusan solusinya.
Kebijakan otonomi daerah pada dasarnya harus diletakkan dalam bingkai negara kesatuan dengan mengedepankan prinsip persatuan dan kesatuan seperti yang termaktub dalam Pancasila. Pembedaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya merupakan bagian dari kebijakan yang ditujukan semata-mata agar administrasi dan tata kelola wilayah berlangsung dengan baik, efektif, efisien, dan tepat sasaran dalam memenuhi hajat hidup masyarakat. Pembedaan administratif ini tidak sepatutnya menjadi celah terjadinya pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan yang berdampak kurang positif bagi terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Distingsi cara pandang dan penafsiran, terlebih lagi adanya ego sektoral, hanya akan mengakibatkan proses pembangunan daerah menjadi tersumbat. Hal ini yang mengakibatkan adanya ketimpangan antardaerah, bahkan dalam satu provinsi yang sama.
ADVERTISEMENT
Menyikapi permasalahan tersebut, bonggol besar solusi yang bisa diketengahkan untuk mengatasi permasalahan ini adalah pemaknaan otonomi daerah dan pelaksanaan pembangunan daerah dengan berlandaskan pada wawasan nusantara. Dalam bahasa yang sederhana, wawasan nusantara merupakan pemikiran dan konsepsi nasional yang berisi ajaran dan doktrin yang bersifat filosofis dengan visi jauh ke depan yang dijadikan pedoman dan rambu-rambu, serta dorongan bagi bangsa Indonesia dalam proses pembangunan untuk mencapai tujuan nasional. Sebagai ajaran dan doktrin, wawasan nusantara memuat pandangan tentang pengelolaan, pemanfaatan, serta upaya-upaya untuk mempertahankan ruang hidup bangsa Indonesia yang secara geografis merupakan negara kepulauan. Konsepsi wawasan nusantara sudah seharusnya dijadikan sebagai paradigma pembangunan nasional yang harus diketahui, dipahami, dan dilaksanakan secara konsisten dan terpadu oleh segenap jajaran pemerintahan, mulai dari pusat, provinsi, hingga kabupaten dan kota.
ADVERTISEMENT
Pengejawantahan wawasan nusantara dalam praktik pemerintahan di Indonesia dapat diterapkan pada proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang sinergis, harmoni, dan saling menguatkan dalam rentang pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, bahkan hingga level desa, dalam mencapai cita-cita dan tujuan nasional, yakni masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke-4. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah yang mengadaptasi konsep wawasan nusantara hendaknya mencakupi tiga prinsip atau asas wawasan nusantara dalam tataran operasional yang meliputi; prinsip kepentingan bersama, keadilan, serta kesetiaan terhadap kepentingan bersama. Dengan berpedoman pada ketiga prinsip tersebut, diharapkan tidak ada distingsi dan disharmoni antarjenjang pemerintahan yang berekses negatif terhadap hajat hidup masyarakat.
Dalam tataran teknis, pada hemat penulis selaku pemangku kepentingan daerah yang belajar banyak dari potret realitas kehidupan dan kebutuhan masyarakat Surakarta, ada tiga langkah yang dapat diterapkan guna mewujudkan otonomi daerah, khususnya pembangunan daerah yang berpedoman pada wawasan nusantara sebagai haluannya. Pertama, penguatan fungsi koordinasi, bimbingan, dan pengawasan (korbinwas) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, termasuk dari pemerintah provinsi terhadap pemerintah kabupaten dan kota. Kedua, penguatan partisipasi masyarakat dan kelompok-kelompok sipil peduli (civil societies) dalam proses pembangunan daerah. Ketiga, adalah perbaikan pada sistem politik nasional yang mencakupi sistem pemilihan umum dan reformasi partai politik, sehingga eksekutif pemerintahan yang terpilih benar-benar figur atau tokoh yang berjuang demi kepentingan rakyat.
ADVERTISEMENT
Langkah pertama, penguatan fungsi korbinwas antarjenjang pemerintahan, dari pusat ke daerah, termasuk dari provinsi ke kabupaten dna kota, hingga desa. Ciri utama otonomi daerah yang dianut oleh Indonesia adalah adanya relasi yang hierarkis antara pusat dan daerah. Meskipun pemerintah pusat mendelegasikan sebagian kewenangannya pada pemerintah daerah, yang harus digarisbawahi adalah daerah otonom dibentuk oleh pemerintah pusat, dan keberadaan daerah otonom tersebut dapat dihapus apabila tidak mampu melaksanakan fungsi otonominya. Sumber otoritas daerah berasal dari pemerintah pusat, serta tanggung jawab pemerintahan yang berada di tangan presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi sebagaimana dibunyikan dalam Pasal 4 Ayat 1 UUD NRI 1945.
Kebijakan otonomi daerah sejatinya berada pada ranah politik dan ekonomi. Secara politik, otonomi daerah bertujuan untuk memperkuat kapasitas pemerintahan di daerah, meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah dan masyarakat daerah, serta mempertahankan integrasi nasional. Secara genealogis atau awal formulasinya, sangat terlihat jelas bahwa kebijakan otonomi daerah sudah mengandung muatan wawasan nusantara. Hanya saja tafsir dan implementasi di lapangan yang menjadi kendala. Munculnya beragam peraturan daerah yang tumpang-tindih dengan peraturan pusat merupakan satu dari sekian banyak permasalahan. Pemerintah pusatpun terlihat terlalu kaku dan sentralistik dengan situasi dan kondisi yang ada, sehingga menempuh jalur omnibus law (mekanisme hukum sapu jagat untuk penyelarasan regulasi) yang sedikit banyak menggerus kewenangan daerah. Oleh sebab itu, agar tercipta harmoni dan sinergi antarjenjang pemerintahan, fungsi korbinwas antarjenjang pemerintahan perlu diperkuat kembali untuk merekat kesepahaman dan persatuan dalam pelaksanaan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Langkah kedua, penguatan partisipasi masyarakat dan kelompok-kelompok sipil peduli dalam pembangunan daerah. Sejak reformasi politik melanda pada 1998, demokrasi Indonesia bergerak semakin matang (mature democracy). Demokrasi yang pada hakikatnya adalah sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, telah menjadi landasan dalam proses pembangunan nasional, termasuk proses pembangunan daerah. Demokrasi yang bertumpu pada daulat rakyat telah menempatkan rakyat tidak sekadar sebagai objek pembangunan, melainkan subjek aktif dalam pembangunan itu sendiri. Artinya, pembangunan yang dilaksanakan di segala bidang kehidupan, harus melibatkan rakyat sejak dalam proses perumusan, implementasi, hingga monitoring dan evaluasi kebijakan. Secara regulatif, hal ini merupakan amanat Pasal 28 UUD NRI 1945 yang memberikan jaminan kebebasan bagi rakyat. Dalam konteks wawasan nusantara, partisipasi publik selaras dengan tiga prinsip utama wawasan nusantara, yakni prinsip kepentingan bersama, keadilan, serta kesetiaan terhadap kepentingan bersama. Partisipasi publik akan terus mengalami penguatan karena ditopang oleh masyarakat sipil yang juga semakin terus mengalami penguatan peranan.
ADVERTISEMENT
Langkah ketiga adalah pembenahan secara struktural dan kultural pada sistem politik nasional. Pembangunan nasional dan daerah yang menyejahterakan masyarakat hanya dapat terlaksana apabila ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah sebagai pelaksananya. Pembangunan daerah yang optimal dan tepat guna hanya dapat terjadi apabila pemerintah sebagai pelaksana benar-benar menjalankan amanah rakyat yang mereka emban. Hal inilah yang menjadi persoalan mendasar. Tidak dimungkiri bahwa tidak semua kepala daerah memiliki kompetensi dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Hal ini tercermin dari pembangunan daerah yang berjalan di tempat, bahkan banyak kepala daerah yang terjerumus korupsi politik sehingga dibui di penjara. Hal ini terjadi karena dua persoalan utama. Pertama, sistem pemilihan umum langsung yang berbiaya tinggi, sehingga kepala daerah terpilih kerap melakukan korupsi yang mengabaikan pembangunan daerah dan hajat hidup masyarakat banyak untuk mengembalikan dana yang mereka keluarkan. Kedua, pendidikan politik masyarakat yang masih rendah, sehingga kurang cakap dalam memilih kepala daerah yang kompeten dan berintegritas.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, perlu dilakukan pembenahan terhadap sistem politik tanah air, khususnya dalam pemilihan kepala daerah. Pembenahan yang dimaksudkan di sini akan bertumpu pada partai politik sebagai pilar demokrasi. Partai politik diharapkan menerapkan prinsip kepentingan bersama, keadilan, serta kesetiaan terhadap kepentingan bersama dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, khususnya pada rekrutmen, pendidikan, dan kaderisasi politik, hingga pencalonan untuk mengikuti kontestasi dalam pemilihan umum. Apabila ketiga prinsip tadi dijalankan secara konsisten dan persisten, niscaya akan terpilih kepala daerah yang memiliki rekan jejak yang baik, kompetensi, serta integritas yang memadai dalam menjalankan roda pembangunan daerah yang efektif, memaknai otonomi daerah secara bijak, melibatkan partisipasi publik dalam setiap perumusan kebijakan, dan tentunya menjadikan daerah sebagai wilayah yang tidak sekadar otonom, tapi juga makmur, adil, dan sejahtera. Hal-hal tersebut merupakan modalitas dasar dalam mewujudkan otonomi daerah yang mendukung pelaksanaan pembangunan daerah berdasarkan prinsip-prinsip wawasan nusantara.
ADVERTISEMENT
Penutup
Otonomi daerah merupakan bentuk pembaharuan demokrasi pascareformasi 1998 yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat di daerah melalui pemangkasan rentang kendali dan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah agar pemerintah daerah mampu mengurus dan mengatur sendiri pemerintahannya. Namun demikian, kebijakan otonomi daerah tidak selalu berjalan mulus. Hal ini tercermin pada pelaksanaan pembangunan daerah yang belum mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Masih banyak peraturan daerah yang tumpang-tindih dengan peraturan di level pusat, sehingga berdampak pada tersendatnya pembangunan tersebut. Pemerintah daerah juga kerap bertindak sebagai “raja-raja kecil”, sehingga corak pemerintahan yang dilakukan tidak mengedepankan kepentingan rakyat. Permasalahan menjadi bertambah kompleks tatkala pemerintah pusat kurang mampu secara proaktif menjalankan perannya sebagai pemegang kendali norma, prosedur, standard, dan kriteria yang harus dipatuhi dalam implementasi pemerintahan oleh semua jenjang pemerintahan, Inilah yang menjadi silang-sengkarut mengapa pembangunan daerah kurang optimal meskipun kebijakan otonomi daerah sudah diberlakukan hampir dua dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan otonomi daerah dan kebijakan pembangunan daerah yang memegang teguh nilai-nilai persatuan dan kesatuan, serta konsisten berkiblat pada wawasan nusantara merupakan solusi konkret untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Otonomi daerah bukan merupakan kebijakan atau faktor yang menciptakan distingsi antarjenjang pemerintahan, melainkan mekanisme kebijakan untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan agar terwujud masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Penyelenggaraan pembangunan daerah juga harus dilaksanakan dengan kepatuhan pada prinsip-prinsip dasar wawasan nusantara, yakni prinsip kepentingan bersama, keadilan, serta kesetiaan pada kepentingan bersama, sehingga benar-benar memberikan manfaat yang maksimal bagi rakyat. Ada tiga saran dan rekomendasi yang penulis berikan merujuk pada berbagai literatur akademik dan pembelajaran sebagai unsur pemerintahan daerah di Pemkot Surakarta. Pertama, penguatan fungsi korbinwas antarjenjang pemerintahan, dari pusat ke daerah, termasuk dari provinsi ke kabupaten dan kota, hingga desa. Kedua, penguatan partisipasi masyarakat dan kelompok-kelompok sipil peduli dalam pembangunan daerah. Ketiga, pembenahan secara struktural dan kultural pada sistem politik nasional.
ADVERTISEMENT