Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Polemik Komponen Cadangan
22 Maret 2021 14:53 WIB
Tulisan dari Boy Anugerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Melalui PP No.3/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.23/2019 tentang Pengelolaan Potensi Sumber Daya Nasional (PSDN), Pemerintah Indonesia akhirnya membentuk Komponen Cadangan (Komcad). Adapun basis formulasi kebijakan yang digunakan oleh pemerintah adalah objektif untuk memperbesar dan memperkuat kapasitas dan kemampuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai Komponen Utama (Komput) dalam sistem pertahanan negara semesta yang dianut. Kebijakan ini menuai pro dan kontra, serta menjadi diskursus panjang di mimbar-mimbar akademik dalam satu tahun terakhir pascadisahkannya UU PSDN. Seberapa relevankah pembentukan Komcad ini dalam mendukung pertahanan negara?
ADVERTISEMENT
Tolok ukur
Untuk menakar urgensi dan relevansi pembentukan Komcad ini bagi pertahanan negara, setidaknya ada tiga tolok ukur yang bisa digunakan. Pertama, perlu dilakukan pembedahan terhadap unsur-unsur intrinsik kebijakan serta kesinambungannya dengan pencapaian objektif dari diformulasikannya kebijakan. Kedua, perlu analisis secara mendalam dan jujur mengenai postur dan kapasitas TNI sebagai Komput yang disinyalir “kurang besar” dan “kurang kuat” dalam menjalankan tugas pertahanan negara sehingga menjadi Raison d’etre munculnya Komcad. Ketiga, dibutuhkan pemetaan derajat ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT, singkat saja sebagai ancaman) yang dihadapi oleh Indonesia sebagai objek tugas yang harus direspons baik oleh Komput maupun Komcad dalam sistem pertahanan negara.
Kita masuk pada analisis unsur intrinsik dari kebijakan ini. Dalam UU PSDN disebutkan bahwa yang termasuk ke dalam Komcad adalah warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional. Artinya, sekup Komcad sangatlah luas, meskipun banyak pihak yang melakukan simplifikasi Komcad hanya sebatas pada sumber daya manusia saja. Setiap warga negara yang memenuhi syarat bisa menjadi Komcad dengan bata usia minimal 18 tahun dan maksimal 35 tahun. Aparatur Sipil Negara (ASN), mahasiswa, pekerja dan buruh, juga dimungkinkan untuk menjadi Komcad selama memenuhi persyaratan dalam Pasal 33 Ayat (2) UU PSDN.
ADVERTISEMENT
Poin yang menarik pada level unsur intrinsik kebijakan ini ada pada dua hal, yakni pembekalan kompetensi sebagai Komcad dan mekanisme pelaksanaan tugas atau masa pengabdian. Sebagai peserta program Komcad, mereka akan mendapatkan pendidikan dasar kemiliteran selama tiga bulan. Jika lulus, mereka akan ditetapkan dan diangkat sebagai Komcad. Pelaksanaan tugas Komcad dikelompokkan ke dalam dua masa, yakni masa aktif dan masa tidak aktif. Masa aktif merujuk pada pelatihan penyegaran dan kegiatan mobilisasi (Operasi Militer Perang / Operasi Militer Selain Perang), sedangkan masa tidak aktif adalah periode ketika mereka kembali ke profesi semula.
Tolok ukur selanjutnya adalah terkait dengan postur dan kapasitas TNI. Pemilihan frasa “memperbesar” dan “memperkuat” dalam UU PSDN tentulah secara sederhana membuat siapa pun yang membaca UU tersebut akan menganggap bahwa TNI dalam situasi dan kondisi “kurang/tidak besar” dan “kurang/tidak kuat”. Pada hemat saya, ada semacam cara pandang atau mekanisme berpikir yang kurang presisi di sini. Persoalan TNI hari ini adalah pada kurang tangguhnya kualitas dan kapasitas. Berbicara kualitas dan kapasitas, secara umum sangat terkait dengan kompetensi personel, profesionalisme personel dalam pelaksanaan tugas, kesiapan dan ketangguhan alat utama sistem persenjataan (Alutsista), penguasaan teknologi dalam kerja-kerja institusional, kesejahteraan prajurit, hingga corak dan wujud kerja sama yang dijalin dengan institusi nasional lainnya, termasuk kerja sama eksternal dengan pihak lain dalam mengamankan pertahanan negara.
ADVERTISEMENT
Kurang tangguhnya kualitas dan kapasitas TNI akan bertaut dengan tolok ukur ketiga, yakni postur ancaman yang dihadapi oleh Indonesia sebagai sebuah entitas politik dan sosial budaya yang berdaulat. Pada level domestik, Indonesia banyak sekali menghadapi ancaman non-militer, baik yang sifatnya laten maupun nyata. Hingga saat ini Papua masih bergejolak menuntut ketidakadilan politik dan ekonomi yang dihadapi oleh sebagian besar masyarakat. Persoalan lainnya, paham ekstremisme dan aksi radikalisme dan terorisme berkembang sangat cepat dari sisi metode dan taktik yang digunakan. Celakanya, mereka tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, berbaur, sehingga menimbulkan efek kontaminasi yang masif. Terlebih lagi situasi pandemi COVID-19 yang menimbulkan kerentanan sosial dan ekonomi menjadi bahan bakar kebencian terhadap negara dan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang menghadirkan digitalisasi di segala lini hingga disrupsi tak sepenuhnya positif karena masih membawa ekses negatif seperti kejahatan transnasional di ranah siber, berkembangnya hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian yang menimbulkan segregasi nasional. Pada level eksternal, major states seperti AS dan Tiongkok masih terpancing untuk menjalankan kebijakan luar negeri yang unilateral dan ekspansionis sehingga memicu ketegangan dan konflik dengan negara lain, khususnya di Laut Cina Selatan di mana Indonesia juga terkena imbasnya. Pada tataran Asia Tenggara, Indonesia masih disibukkan oleh pengawasan wilayah perairan yang luas yang sangat mungkin dilanggar oleh pihak asing, termasuk pelanggaran wilayah perbatasan darat, laut, dan udara oleh negara-negara jiran Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Timor Leste.
ADVERTISEMENT
Pandangan
Dengan melakukan pemetaan melalui ketiga tolok ukur tersebut, setidaknya ada beberapa benang merah dan kesimpulan yang bisa diambil. Pertama, AGHT yang dihadapi oleh Indonesia sifatnya adalah militer dan non-militer, baik dari domestik maupun eksternal. Kedua, kompleksitas dan tingginya derajat AGHT tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab yang harus dituntaskan oleh TNI sebagai Komput, yang mana pada hari ini, kualitas dan kapasitas TNI belum cukup memadai. TNI belum memenuhi Minimum Essential Forces (MEF) khususnya dari sisi anggaran, alutsista yang dimiliki masih tertinggal, teknologi yang belum mutakhir, serta bentang geografis yang sangat luas sebagai wilayah pertahanan yang harus diamankan. Ketiga, Pemerintah Indonesia merespons kompeksitas dan tingginya derajat AGHT, serta kurang tangguhnya kapasitas TNI dalam sistem pertahanan negara melalui pembentukan Komcad sebagai salah satu respons kebijakan terhadap sirkumstansi permasalahan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dengan berpijak pada pemetaan masalah sedemikian, pada hemat saya, pembentukan Komcad terasa kurang tepat. Merespons berbagai macam AGHT tersebut melalui mobilisasi Komcad yang hanya dilatih selama tiga bulan adalah blunder fatal, terlebih lagi mereka juga masih disibukkan dengan profesi asal mereka. Akan lebih tepat apabila pemerintah melakukan penguatan secara terpadu, terencana, dan berkesinambungan pada TNI sebagai Komput. Pembenahan militer adalah sebuah kerja jangka panjang, apalagi merujuk pada fakta historis, militer Indonesia telah sekian lama digunakan sebagai alat penguasa pada masa Orde Baru. Melepaskan mindset dan culture set dari tentara politik dan bisnis menjadi tentara profesional tidak bisa dilakukan secara instan. Tentunya untuk mewujudkan hal tersebut, perlu didukung oleh program terukur, komitmen presiden sebagai panglima tertinggi, anggaran yang memadai, serta pengawasan yang ketat dari kalangan masyarakat. Memperkuat pertahanan negara dengan memobilisasi Komcad hanya akan menimbulkan persoalan baru yang akan berdampak buruk terhadap profesionalisme militer yang terus terang masih terseok-seok hingga hari ini.