Problematika Demokrasi Indonesia

Boy Anugerah
Tenaga Ahli Bidang Politik di DPR / MPR RI Alumnus Studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Konsultan Politik di Literasi Unggul Foundation
Konten dari Pengguna
15 Februari 2021 14:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Boy Anugerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Oligarki partai politik
zoom-in-whitePerbesar
Oligarki partai politik
ADVERTISEMENT
Demokrasi secara konseptual diyakini sebagai bentuk pemerintahan dan sistem politik terbaik oleh sebagian besar masyarakat global, meskipun tersedia alternatif bentuk pemerintahan dan sistem politik lainnya seperti monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, hingga plutokrasi. Berbeda dengan model-model pemerintahan tersebut,demokrasi meletakkan rakyat sebagai elemen utama dalam tata kelola pemerintahan. Demokrasi dipandang sebagai bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (from people, by people, and for people). Dalam demokrasi, kedaulatan tertinggi sebuah negara sebagai entitas politik dan sosial budaya berada di tangan rakyat (people sovereignty).
ADVERTISEMENT
Ada banyak sekali pemaknaan terhadap demokrasi. Arend Lijphart (1984) mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang ditujukan untuk rakyat, sebuah sistem pemerintahan yang mampu mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan rakyat. Roberth Dahl (1956) memaknai demokrasi sebagai suatu interaksi sosial yang dikonstruksikan melalui sikap keterbukaan, adanya partisipasi publik dalam pemilihan umum, serta eksistensi institusi-institusi yang toleran yang memungkinkan perbedaan di masyarakat dapat disesuaikan dan diakomodasi dalam regulasi yang berlaku. Samuel P. Huntington (1995) berpandangan bahwa demokrasi dapat didekati melalui tiga pendekatan umum, yakni: (1) sumber kewenangan bagi pemerintah, (2) tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah, dan (3) prosedur untuk membentuk sebuah pemerintahan.
Dalam konteks Indonesia, harus diakui bahwa demokrasi tidak dinyatakan secara eksplisit dan tersurat, baik pada dasar negara Pancasila, maupun UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusional. Akan tetapi, apabila merujuk pada batang tubuh dua konsensus kebangsaan tersebut, akan ditemukan irisan (titik temu) antara demokrasi sebagai sebuah pemikiran (thought) yang berasal dari Barat dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Di dalam Pancasila, demokrasi secara lugas tersirat dalam sila keempat yang mengutamakan pentingnya musyawarah mufakat dalam proses pengambilan keputusan (decision making process). Dalam UUD NRI 1945, khususnya konstitusi yang telah diamandemen, demokrasi tercermin dalam sistem politik, sistem hukum dan peradilan, serta sistem perekonomian yang dianut oleh Indonesia yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
ADVERTISEMENT
Penerapan demokrasi di Indonesia menganut sistem representasi atau perwakilan, bukan demokrasi secara langsung. Pemilihan demokrasi secara perwakilan ini merupakan bentuk jalan khidmat bangsa Indonesia dalam mematuhi Pancasila sebagai dasar negara. Demokrasi perwakilan juga sangat selaras dengan tekstur geografis Indonesia dan postur demografis yang sangat besar. Bentuk konkret dalam penerapan demokrasi secara perwakilan dalam ranah politik adalah pemilihan wakil-wakil rakyat yang akan duduk di eksekutif dan legislatif melalui instrumen pemilihan umum yang berlangsung secara bersih dan demokratis. Sedangkan dalam perspektif ekonomi, demokrasi perwakilan ini terwujud dalam pengelolaan sumber kekayaan alam yang diselenggarakan oleh pemerintah sebagai aparatur negara guna mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Dinamika Demokrasi

Kontekstualisasi demokrasi di Indonesia tidak selalu berjalan dengan mulus atau selaras dengan prinsip-prinsip universal demokrasi. Dikatakan demikian karena ada banyak sekali problematika demokrasi yang dihadapi oleh Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bahkan hingga kini. Pada masa orde lama (1945-1965), di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, demokrasi sempat mengalami “penyelewengan” ketika Presiden Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin dan mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup tanpa limitasi periode kekuasaan sama sekali. Yang berlaku dalam demokrasi terpimpin bukanlah demokrasi yang sesungguhnya, melainkan pseudo-demokrasi, karena segala aktivitas pemerintahan dan tata kelola negara ditentukan oleh presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Penetapan status sebagai presiden seumur hidup juga mengindikasikan pada apa yang disebut oleh Lord Acton sebagai “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”.
ADVERTISEMENT
Pada periode orde baru (1966-1998), ketika Indonesia berada di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, perverted democracy atau demokrasi yang diselewengkan mencapai puncaknya. Apa yang terjadi pada era Presiden Soekarno, yakni periodisasi kepemimpinan kepala negara yang tidak dibatasi, juga terjadi pada era orde baru sehingga menjadikan Soeharto sebagai presiden selama tiga dekade, yang terpilih melalui skema pemilihan umum yang jauh dari demokratis. Kedaulatan rakyat “dikebiri” karena partai politik sebagai wadah artikulasi dan agregasi aspirasi dan kepentingan rakyat “dibonsai” demi melanggengkan kekuasaan. Pemilihan presiden dikemas dalam skema representatif yang melanggar prinsip-prinsip utama sistem presidensial karena presiden dipilih oleh lembaga legislatif bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, bukan oleh rakyat secara langsung.
Kehidupan pada masa orde baru makin kental dalam suasana yang tidak demokratis ketika Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai alat pertahanan negara justru digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menakut-nakuti rakyat. ABRI bahkan melenceng dari tugas pokok dan fungsinya ketika turut berpolitik praktis dalam kehidupan bernegara (Dwi Fungsi ABRI). ABRI menjadi tentara yang tidak profesional dan semata-semata sebagai alat kekuasaan. Kehidupan pers-pun setali tiga uang. Pers yang di masa sekarang menjadi pilar penting demokrasi, pada era orde baru mendapatkan tekanan keras dari rezim penguasa ketika bersuara vokal dan mengkritik kebijakan pemerintah. Hal yang paling kita ingat bersama adalah bagaimana Tempo, Detik, dan Editor sebagai media massa dibredel oleh pemerintah karena dianggap membahayakan rezim.
ADVERTISEMENT
Angin perubahan berembus ketika reformasi politik melanda Indonesia pada 1998. Krisis moneter yang melumpuhkan perekonomian Indonesia, ditandai dengan melambungnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika, naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok, meningkatnya angka kemiskinan dan tingkat pengangguran pada waktu itu, menjadi pemicu meletupnya aksi-aksi menolak rezim Presiden Soeharto. Massa aksi hadir di seluruh penjuru negeri menyerukan agar Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya. Alhasil, pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaannya. Sesuai dengan Pasal 8 UUD NRI 1945 (sebelum amandemen pertama), wakil presiden pada waktu itu, Prof. Dr. B.J. Habibie, melanjutkan sisa waktu jabatan sebagai Mandataris MPR RI Periode 1998-2003.
Setelah lengsernya Presiden Soeharto, upaya-upaya untuk menegakkan kehidupan yang demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terus mengalami penguatan. Momen yang paling krusial dan menjadi momentum pembalikan dari rezim otoriter menjadi rezim demokratis adalah ketika terjadinya amandemen UUD NRI 1945 yang dimulai secara bertahap sejak 1999 hingga 2002. Dalam empat kali amandemen tersebut, terdapat banyak sekali perubahan atau reformasi terhadap sistem politik dan sistem pemerintahan. Perubahan ini sebagai bentuk koreksi dan langkah sadar pemerintah pasca reformasi untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih bersih dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
ADVERTISEMENT
Perubahan pertama adalah perubahan kedudukan MPR RI dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga tinggi negara lainnya. Hal ini secara konstitusional telah memperkuat kembali sistem presidensial yang menjunjung tinggi sistem check and balances di antara eksekutif dan legislatif. Perubahan kedua adalah perubahan skema pemilihan presiden dari dipilih oleh MPR RI menjadi dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang demokratis. Perubahan mekanisme pemilihan ini secara langsung atau tidak telah mengembalikan lagi kedudukan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Pada tataran lebih lanjut, mekanisme langsung ini juga diadopsi untuk pemilihan kepala daerah melalui undang-undang khusus sehingga rakyat di daerah dapat memilih langsung wakil-wakilnya.
Perubahan ketiga adalah pembatasan masa jabatan presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan maksimum dua periode saja. Pembatasan ini tentu saja merupakan lesson learned dan otokritik terhadap apa yang berlaku pada rezim sebelumnya. Perubahan keempat adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) RI sebagai lembaga tinggi negara yang bertanggung jawab dalam mengawal tegaknya konstitusi. Ketiadaan lembaga khusus seperti MK RI di masa lampau menjadi celah terjadinya pelanggaran terhadap konstitusi. Beberapa tugas pokok dan fungsi lembaga tinggi ini antara lain menguji kesesuaian UU terhadap UUD NRI 1945 melalui skema Judicial Review (JR), serta memutuskan sengketa hasil pemilihan umum.
ADVERTISEMENT
Masih banyak lagi perubahan-perubahan dalam kehidupan politik dan pemerintahan pasca reformasi sebagai derivasi dari amandemen tersebut. Pemerintah pasca reformasi memberlakukan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus dan mengatur sendiri pemerintahannya. Kehidupan pers jauh lebih bergairah dengan munculnya pers dengan beragam platform, termasuk juga munculnya jurnalisme warga negara (citizen journalism) dan media sosial yang sangat masif. Hal ini dapat memperlebar rentang partisipasi publik. Tak ketinggalan adalah meningkatnya kuantitas partai politik. Pasca reformasi, muncul partai politik dengan beragam platform yang berkompetisi dalam pemilihan umum dengan mengusung calonnya masing-masing. Pertumbuhan jumlah partai politik ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi dengan melakukan tugas pokok dan fungsinya sebaik-baiknya sebagai pilar demokrasi (rekrutmen politik, pendidikan politik, sosialisasi dan komunikasi politik, dan lain-lain).
ADVERTISEMENT

Problematika Demokrasi

Reformasi politik 1998 telah menelurkan berbagai perubahan yang signifikan secara konstitusional dan regulatif demi perbaikan kualitas demokrasi. Namun demikian, yang perlu digarisbawahi adalah mandat secara konstitusional dan regulatif tersebut belum tentu bisa diimplementasikan secara paripurna. Dengan kata lain, resultansi implementasi perubahan-perubahan yang ditetapkan belum tentu ideal. Beragam permasalahan masih dimungkinkan terjadi sehingga memberikan distraksi atau hambatan terhadap tercapainya cita-cita ideal dari demokrasi itu sendiri, yakni rakyat Indonesia yang aman, adil, sejahtera kehidupannya. Permasalahan dan hambatan yang ada perlu dipetakan, terlebih-lebih lagi disikapi dengan cepat dan tepat sehingga tidak mengganggu konsolidasi demokrasi yang dilakukan, terlebih lagi apabila berpotensi mendorong Indonesia ke arah mobokrasi, yakni demokrasi yang kacau.
Tidak dipungkiri bahwa meskipun demokrasi bergerak lurus mengikuti arah orientasi yang diharapkan, Indonesia belum berada dalam situasi dan kondisi demokrasi yang ideal. Sebagian kalangan, termasuk pemikir utama demokrasi Samuel P. Huntington, menyebut fenomena ini sebagai transisi demokrasi. Ada banyak realitas empiris yang mendukung pernyataan ini. Pertama, meskipun pemilihan umum (Pilpres dan Pilkada) sudah digelar secara langsung dengan menempatkan rakyat sebagai direct voters, akan tetapi proses dan resultansinya belum selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi. Apa yang terjadi pada Pilpres langsung sejak digelar pada 2004, begitu juga dengan Pilkada, adalah maraknya praktik oligarki partai politik, politik uang (money politics) untuk mendulang suara rakyat, masifnya produksi hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye hitam, serta penggunaan politik identitas sebagai strategi untuk memecah belah masyarakat. Belum lagi jika memperhitungkan adanya kecurangan dalam proses pemilihan umum yang berlangsung.
ADVERTISEMENT
Dalam tataran hasil, banyak kepala daerah produk Pilkada langsung yang terjerat kasus korupsi. Merujuk pada catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak Pilkada langsung digelar pada 2005, sedikitnya sudah 300 orang kepala daerah produk Pilkada langsung yang menjadi tersangka korupsi. 124 di antaranya ditangani oleh KPK. Hal ini menimbulkan kegundahan di banyak kalangan, apakah model pemilihan umum secara langsung ini tidak sesuai dengan kaidah demokrasi? apakah masalahnya ada pada konseptualnya atau kontekstualnya sehingga proses dan resultansinya kurang sesuai dengan cita-cita demokrasi?
Kedua, partai politik adalah pilar utama demokrasi. Fungsi partai politik pascareformasi semakin vital tatkala sirkulasi elite dalam pemilihan umum “mewajibkan” para kandidat disokong oleh partai politik. Artinya, siapa pun yang hendak menjadi bupati, wali kota, anggota parlemen, hingga presiden, harus dicalonkan melalui partai politik. Memang dalam skema Pilkada terdapat posibilitas pencalonan dari calon independen, tapi skalanya masih kecil dan belum dimandatkan secara konstitusional pada pemilihan presiden. Namun demikian, terdapat jurang yang lebar antara kondisi ideal (das sollen) dengan realitas (das sein). Masih banyak partai politik yang terjebak pada oligarki dan oportunistik politik, sehingga lebih mengutamakan kepentingan elite dan pertimbangan finansial dalam hajatan demokrasi seperti pemilihan umum. Partai politik masih mementingkan preferensi elite, serta pertimbangan akan elektabilitas dan kapasitas finansial calon dalam pemilihan umum, ketimbang aspek kompetensi, ideologi, visi-misi, dan integritas sang calon.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kunci utama agar demokrasi tidak terjerumus ke arah mobokrasi adalah penguatan pada sistem hukum dan peradilan. Artinya, segala bentuk proses politik dan pemerintahan, termasuk sistem ekonomi yang dijalankan, harus patuh pada kaidah hukum-hukum positif yang berlaku, utamanya UUD NRI 1945 sebagai sumber hukum tertinggi. Akan tetapi realitas yang terjadi masih jauh dari gambaran ideal. Masih banyak regulasi yang tumpang-tindih antara pusat dan daerah menunjukkan bahwa aspirasi rakyat yang diserap mengalami sumbatan. Overlapping regulasi ini tak akan mungkin terjadi apabila perumusannya melibatkan suara dan kepentingan rakyat. Pemerintah pusat dan daerah juga kerap tidak kompak dalam menyikapi permasalahan seperti yang tampak dalam penanganan pandemi COVID-19 akhir-akhir ini. Yang paling fatal yang terjadi saat ini adalah aparat hukum yang melanggar hukum itu sendiri. Kasus keterlibatan petinggi Polri dan Kejagung RI dalam kasus Djoko Tjandra merupakan “tamparan” keras terhadap demokrasi yang berjalan.
ADVERTISEMENT
Keempat, kehidupan yang berjalan lebih demokratis ternyata tak selalu berkorelasi lurus dengan kesejahteraan. Muncul pertanyaan, apakah demokrasi mampu mewujudkan kesejahteraan? atau jangan-jangan ada model pemerintahan lainnya yang mampu mewujudkan harapan tersebut? Problematika ini dapat kita temui pada kehidupan sosial politik dan ekonomi di Papua. Meskipun sudah diberikan otonomi khusus, bahkan diberikan keleluasaan untuk membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP), daerah Timur Indonesia ini masih terus bergolak. Sebagian tuntutan pemisahan yang disuarakan dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi dan kesejahteraan yang belum membaik. Sudah barang tentu realitas ini perlu dibedah dari perspektif demokrasi untuk mengurai benang kusut dan mencari solusi atas permasalahan yang ada.
Kelima, eksistensi masyarakat sipil atau masyarakat madani yang mulai terdistraksi kepentingan elite dan politik. Masyarakat madani merupakan kunci penting purifikasi demokrasi yang sedang berjalan. Keberadaan masyarakat madani yang fokus pada isu-isu reformasi seperti peradilan yang bersih, pemilihan umum yang LUBER dan JURDIL, penghormatan terhadap HAM, serta tata kelola pemerintahan yang demokratis menjadi kunci penting dalam arah gerak reformasi. Namun demikian, keberadaan masyarakat madani saat ini perlahan tapi pasti mulai kehilangan elan vitalnya. Makin banyak figur penting masyarakat madani yang masuk ke lingkaran kekuasaan sehingga berdampak pada pelemahan kelompok masyarakat madani tersebut. Yang tak kalah krusial adalah banyaknya kelompok masyarakat madani yang “gulung tikar” karena permasalahan pendanaan operasional. Fenomena ini penting dikaji dari kacamata demokrasi.
ADVERTISEMENT
Ada banyak lagi kendala-kendala demokrasi lainnya yang belum tuntas hingga hari ini, seperti isu-isu pelanggaran HAM masa lampau yang belum selesai, kecenderungan penguatan TNI dalam kehidupan politik sehingga dianggap membahayakan demokrasi, dual legitimacy antara eksekutif dan legislatif sehingga menimbulkan inefektivitas dalam perumusan kebijakan, yang mana semua problematika tersebut bermuara pada belum berjalannya demokrasi yang sesuai dan mengadopsi nilai-nilai luhur yang termaktub dalam Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagai dasar negara dan konstitusi. Inilah yang menjadi tugas penting pemerintah dan masyarakat hari ini untuk membawa demokrasi, baik secara proses dan resultansi agar dapat memenuhi mandat reformasi dan konstitusi, yakni kehidupan sosial politik yang bersih dan demokratis, serta rakyat yang adil, makmur, dan sejahtera.
ADVERTISEMENT