Konten dari Pengguna

Seni Kejadian Berdampak dan Kraton Ngiyom? Apa Itu?

25 Oktober 2017 11:35 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bramantyo Prijosusilo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seni Kejadian Berdampak dan Kraton Ngiyom? Apa Itu?
zoom-in-whitePerbesar
Sejak akhir 2014, setelah menyelesaikan pagelaran seni kejadian berjudul “Bagus Kodok Ibnu Sukodok Dhaup Peri Rara Setyowati” (yang lebih dikenal sebagai “Mbah Kodok Rabi Peri” atau “Mbah Kodok Kawin Dengan Peri”), muncullah di dalam wacana yang kami olah, istilah seni kejadian berdampak. Bukan hanya sekedar “happening art”, melainkan “impact generating happening art”.
ADVERTISEMENT
Suatu paradigma “baru” di dalam kesenian. Saya sebut “baru” di dalam tanda kutip adalah karena gagasan kami sesungguhnya adalah bahwa yang kami kembangkan, adalah seni upacara. Seni upacara adalah salah satu bentuk seni yang sangat berkembang di dalam banyak tradisi Nusantara. Ia adalah bentuk kesenian yang berkembang sejak zaman purbakala, bahkan menjadi ibu dari kesenian-kesenian lain.
Namun dalam sejarah kebudayaan beberapa abad terakhir, di Tanah Air Nusantara, nampaknya sudah jarang muncul inovasi atau kreatifitas sadar di bidang seni upacara. Sebaliknya yang disaksikan adalah matinya banyak bentuk seni upacara karena ditinggalkan, kehilangan relevansi, atau dianggap membawa nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakni generasi sekarang.
Seni Kejadian Berdampak dan Kraton Ngiyom? Apa Itu? (1)
zoom-in-whitePerbesar
Banyak bentuk seni upacara yang diyakini berdampak positif bagi mereka yang melaksanakan dan meyakini. Di kalangan antropolog ada yang menjelaskan bahwa seni upacara adalah suatu kegiatan di mana komunitas mengeratkan kohesinya, mendekatkan batin satu dengan yang lain. Dikatakan bahwa seni upacara yang dilaksanakan bersama-sama, berfungsi antara lain untuk mengeratkan kohesi sosial.
ADVERTISEMENT
Manakala kohesi sosial itu diterapkan untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat yang misalnya berproduksi padi di sawah, maka kohesi itu akan menghasilkan kemampuan lebih untuk bertahan hidup dari ancaman hama, musim, dan kejahatan. Keyakinan masyarakat bahwa melakukan upacara berakibat tidak terjadinya wabah dan bencana, selain berunsur doa, dapat juga dijelaskan secara rasional. Nenek moyang yang menyipta berbagai bentuk seni upacara bukan orang bodoh ataupun ngawur.
Seni Kejadian Berdampak dan Kraton Ngiyom? Apa Itu? (2)
zoom-in-whitePerbesar
Seni upacara pada umumnya akan melakukan dua hal kepada satu komunitas. Baik diniatkan ataupun tidak, ketika satu komunitas mengadakan suatu upacara maka akan terjadi gejala yang dapat dinamai “dinamisasi nilai”, dan “dinamisasi struktur”.
Setiap upacara akan menguatkan atau melemahkan suatu nilai. Demikian pula dengan struktur atau relasi kekuasaan yang ada di dalam komunitas, akan ada yang dikuatkan dan akan ada yang dilemahkan.
ADVERTISEMENT
Ketika terjadi proses pelemahan nilai dan relasi kekuasaan maka terjadi pula konflik di tingkat individual. Pihak-pihak yang merasa posisinya di struktur dilemahkan, dan pihak-pihak yang merasa nilai yang dijunjung dilemahkan atau nilai yang dibenci dikuatkan, akan bersikap antagonistik. Ada rasa tidak senang, melawan, memusuhi. Merangkul dan mengarahkan antagonisme yang muncul di dalam proses menyusun upacara tersebut, agar dapat menjadi suatu kekuatan yang tidak mengoyak kohesi sosial, adalah salah satu tugas (para) seniman penyipta upacara tersebut.
Seni Kejadian Berdampak dan Kraton Ngiyom? Apa Itu? (3)
zoom-in-whitePerbesar
Kearifan menyiptakan upacara yang menguatkan kohesi sosial dapat kita simak di dalam narasi dakwah Wali Sanga di tanah Jawa. Di kisahkan, di awal berdirinya Demak, masyarakat terpecah-belah dan sulit bersatu. Konflik-konflik vertikal di masa-masa keruntuhan Majapahit telah menjelma menjadi kekerasan horisontal, kebencian antar sesama kawula. Kawula Demak terbelah menjadi dua golongan yang cenderung saling antagonistik, yakni para penganut agama baru dan penganut agama yang lama.
ADVERTISEMENT
Secara politik, golongan Islam telah menguasai Jawa, tetapi secara budaya dan sosial, masyarakat masih terpecah. Untuk itu Wali Sanga menyiptakan upacara memeringati Maulud Nabi yang kini kita kenal sebagai Sekaten. Di Sekaten itulah pancaindera seluruh kawula Demak, baik yang berislam secara santri maupun yang berislam secara abangan maupun yang masih mengugemi keyakinan-keyakinan nenek moyang, diberi asupan keindahan yang menyenangkan di dalam konteks nilai-nilai yang diagungkan.
Ada prosesi gunungan-gunungan bahan pangan dan juga sandang yang diberikan dari kemurahan hati Raja kepada para kawulanya yang diharapkan memerebutkannya sebagai berkah. Ada musik gamelan istimewa yang mutunya beberapa tingkat di atas mutu gamelan yang didengar sehari-hari. Ada kebo keramat yang tainya dikeramatkan sebagai penyubur lahan dan pelindung dari serangan hama. Ada telor yang diwarna merah untuk jajan anak-anak kecil. Ada keramaian di dalam suasana suka cita pasar malam di mana warga berpakaian indah-indah dan saling memandang menikmati kehadiran satu sama lainnya.
ADVERTISEMENT
Penyelenggaraan Garebeg Maulud, demikian Wali Sanga mungkin menyebut “seni kejadian berdampak” yang mereka ciptakan itu, diyakini karena dirasakan sungguh, sukses membuat rakyat Demak damai bersatu menghargai sesamanya walaupun berbeda keyakinan.
Seni Kejadian Berdampak dan Kraton Ngiyom? Apa Itu? (4)
zoom-in-whitePerbesar
Ya, upacara tentunya diciptakan, ada seniman-seniman pemrakarsanya, dan pada masa penyiptaannya memang terkait secara nyata dengan kebutuhan dan tantangan kehidupan komunitasnya. Akan tetapi sejak satu dua abad terakhir, bangsa-bangsa Nusantara makin jarang mengadakan inovasi di dalam seni upacara.
Inovasi yang terjadi, terjadi dengan sendirinya, tanpa saringan akal dan nurani, tetapi lebih karena gelombang tehnologi yang maha dahsyat yang mengubah kehidupan tanpa banyak menyadari yang sedang terjadi. Contohnya dapat kita lihat pada sampah plastik dan stiropom bungkus mie-instan yang berserakan dengan merdeka di sekitar tempat-tempat bangsa kita berkumpul di dalam jumlah besar. Prosesi buang sampah dengan merdeka tidak pernah jadi bagian resmi dari urut-urutan kejadian di dalam suatu prosesi upacara, namun selalu dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Penyampuran antara yang suci dan sampah inipun terinternalisasi sebagai sesuatu yang bernilai, suci, menyenangkan, perlu diulang dan dibiasakan. Rasa senang menyampur antara yang suci dengan sampah itupun akan dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Maka, kita lihat perubahan budaya tata ruang hidup di masyarakat. Misalnya kita amati peletakan kakus, sumur, kamar mandi, tempat wudlu dan tempat shalat, di generasi tradisional adalah terpisah-pisah oleh jarak.
Beda dengan penempatan mushala dan toilet di banyak pom bensin dewasa ini. Sejak maraknya mushala berjajar dengan budaya toilet berbayar yang belum berbukti menjadi toilet bersih dan tidak kumuh, maka terjadilah sesuatu yang mungkin belum pernah terjadi sejak masa Nabi Muhammad S.A.W, yakni dengan sengaja dan biaya membuat tempat shalat di sisi kakus.
Seni Kejadian Berdampak dan Kraton Ngiyom? Apa Itu? (5)
zoom-in-whitePerbesar
Akibatnya sekarang ketika banyak upacara yang mati dihidupkan kembali, yang didapat hanyalah semacam klise dari masa lalu, suatu kejadian mahal yang dampaknya tidak seperti yang diharapkan. Dinamisasi nilai dan struktur terjadi tanpa kesadaran mana nilai yang perlu dikuatkan dan mana nilai yang perlu dilemahkan, mana fungsi di struktur yang perlu ditambahkan atau dikurangi.
ADVERTISEMENT
Sebagai pengerat kohesi sosial pun sangat kurang karya seni upacara yang dewasa ini menguatkan kohesi sosial kita sebagai bangsa, bukan hanya sebagai anggota desa tertentu, kekerabatan tertentu, etnis atau agama tertentu, melainkan lebih dari itu sebagai bagian dari bangsa, bahkan bagian dari umat manusia, dari kehidupan ini.
Upacara Kebo Ketan dibangun untuk menyiptakan kohesi sosial yang memungkinkan warga menyelamatkan hutan dan mata-air, yang terancam karena pengolahan lahan menyimpang dari ketentuan, dengan menyiptakan keekonomian alternatif yang tidak berbasis lahan, sehingga air dari mata air tidak digunakan menyetak sawah di lahan hutan dan mematikan tegakan pohon yang ada demi menyambung hidup. Upacara Kebo Ketan, dengan tema Penawar Racun Divide et Impera adalah upaya mengolah kenyataan, membuat masa depan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Tandai tanggalnya: 2 dan 3 Desember 2017, Upacara Kebo Ketan Penawar Rracun Divide et Impera di Sekarputih, Widodaren, Ngawi.