Konten dari Pengguna

TikTok dan Ilusi Pengetahuan: Dimana Letak Logika Ilmiah Kita?

Bre Bramantyo
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
20 April 2025 11:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bre Bramantyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret seseorang mencari informasi dari konten viral tiktok. Foto: Bre Bramantyo
zoom-in-whitePerbesar
Potret seseorang mencari informasi dari konten viral tiktok. Foto: Bre Bramantyo
ADVERTISEMENT
Seiring dengan perkembangan teknologi, sistem memaksa manusia untuk menggunakan media online secara masif, pada era digital saat ini, banyak bertebaran media online yang dapat memudahkan manusia untuk mencari informasi, salah satunya TikTok. Saat ini, jempol seringkali lebih cepat bekerja daripada akal manusia. Dalam hitungan detik, video yang hanya berdurasi 30 detik di TikTok bisa menyebar ke jutaan orang di seluruh dunia, membentuk opini, bahkan memengaruhi pengambilan keputusan penting seseorang baik dalam gaya hidup, kesehatan, kultur sosial, bahkan ideologi. Mirisnya tak sedikit konten yang menyamar sebagai edukasi namun pada hakikat sebenarnya hanya menyebarkan misinformasi.
ADVERTISEMENT
Di tengah gegap gempita algoritma dan euforia TikTok, viralitas menjadi hal yang paling dicari oleh content creator, segala daya upaya dikerahkan hanya untuk mencari viral, tak banyak dari mereka yang melegalkan segala cara hanya untuk mendapatkannya. Di tengah problematika ini munculah sebuah pertanyaan “bagaimana publik dapat membedakan mana pengetahuan yang benar dan mana yang hanya konten sesat belaka?”
Artikel ini dibuat untuk mengajak pembaca melihat fenomena TikTok dan konten viral dari sudut pandang logika penyelidikan ilmiah-sebuah pendekatan yang penting di tengah banjir informasi era digital.

Viralitas Vs Validitas: Siapa Yang Menang?

Dalam dunia ilmiah, validitas adalah segalanya. Kebenaran diuji, dipertanyakan dan dikonfirmasi lewat metode yang Panjang dan melelahkan. Namun di platform sosial seperti tiktok, konten yang paling viral seringkali justru menjadi yang paling dipercaya, tanpa peduli apakah ia valid secara ilmiah atau tidak.
ADVERTISEMENT
yang menjadi permasalahan adalah saat ini viralitas telah menggantikan validitas sebagai tolak ukur kebenaran di benak banyak orang. Ketika ini terjadi, logika ilmiah yang telah dibangun sejak lama dapat perlahan terkikis.

Sumber Ilmu: Siapa Yang Kita Dengar?

Dahulu, kita belajar dari guru, dosen,buku, dan jurnal ilmiah. Hari ini, sumber ilmiah bergeser ke tangan content creator, influencer dan algoritma. Memang, tidak semua konten creator membawa informasi yang salah-banyak juga yang membawa manfaat dan pengetahuan. Tapi permasalahannya adalah apa dasar ilmunya? Dari mana informasinya? Apakah sudah diverifikasi?
Banyak dari kita yang tidak lagi menilai isi, tapi menilai siapa yang berbicara dan seberapa menarik penyampaiannya. Akibatnya, ilmu yang seharusnya dipahami lewat proses berpikir rasional, kini lebih banyak ditelan mentah-mentah hanya karena dikemas secara menarik
ADVERTISEMENT
Ini bukan lagi soal siapa yang punya hak bicara, tapi siapa yang punya dasar bicara. Dan sayangnya, logika ilmiah seringkali tak diberi tempat dalam tren-tren TikTok yang cepat dan dangkal.

Mati Rasa Pada Proses Ilmiah

Logika ilmiah tidak muncul begitu saja. Ia dibangun dari banyak proses: mulai dari rasa ingin tahu, menyusun hipotesis, menguji lewat eksperimen atau pengamatan, lalu menyimpulkan berdasarkan data. Tapi di dunia TikTok, proses ini jarang sekali terlihat.
Orang lebih tertarik pada “hasil akhir” yang cepat dan instan. “kata dia begitu”,”di video itu bilang gitu kok”, atau “ini viral, mesti bener lah”, menjadi kalimat kalimat yang lazim terdengar. Padahal logika ilmiah justru mengajarkan kita agar tidak langsung percaya dengan narasi narasi yang beredar, untuk bertanya lebih jauh, dan untuk menguji ulang informasi
ADVERTISEMENT
Sayangnya, pola pikir ini dianggap terlalu ribet untuk era informasi cepat. Maka, kita pun terbiasa percaya pada narasi daripada data pada gaya bicara daripada bukti, pada cara penyampaian daripada validitas

Logika Ilmiah: Bisa Jadi Trend

Berdasarkan argumen diatas, mungkin Sebagian besar pembaca berpikir bahwa TikTok merupakan aplikasi yang dapat merusak mindset berpikir masyarakat. Hal ini bisa memang dapat dibenarkan namun, disisi lain TikTok justru memiliki peluang lain juga. Platform media online justru bisa menjadi alat ampuh untuk menyebarkan cara berpikir ilmiah-asal dikemas dengan cara yang menarik. Saat ini sudah ada beberapa- banyak konten creator yang mencoba menjembatani dunia ilmu dan dunia digital misalnya menjelaskan teori fisika dengan gaya lucu, membongkar mitos Kesehatan dengan Bahasa yang ringan, atau membahas hoaks dalam Sejarah menggunakan narasi yang rasional
ADVERTISEMENT
Tapi ermasalahannya adalah konten konten bermanfaat seperti ini belum tentu viral, hal ini menyebabkan menurunnya minat content creator untuk membuat konten dikarenakan rendahnya penonton. oleh karena itu, Dunia informasi membutuhkan orang orang yang mau mengabdikan dirinya untuk menyebarkan konten berdasarkan logika ilmiah.

Kesimpulan: Jangan Hanya Tahu, Tapi Pahami

Platform media online seperti TikTok memberi kita akses ke banyak informasi. Sayangnya kemudahan akses tidak selalu linear dengan pemahaman, kita harus menyadari bahwa melihat satu video bukan berarti menguasai satu topik. Bahwa tahu bukan berarti paham. Dan bahwa kebenaran bukan soal popularitas, tapi soal proses berpikir.
Pada era digital ini, logika ilmiah harus tetap relevan-bahkan semakin penting. Bukan untuk melawan teknologi, tapi untuk menuntun kita dalam memilah, memahami, dan akhirnya menjadi manusia yang bukan hanya tahu, tapi benar benar paham.
ADVERTISEMENT

Referensi

Silalahi, R. R., & Sevilla, V. (2020).Rekontruksi Makna Hoaks Di Tengah Arus Informasi Digital.GlobalKomunika,1(1),9.https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/GlobalKomunika/article/view/1722
Xu, L. (2019). Research on the Causes of the “Tik Tok” App Becoming Popular and the Existing Problems. Journal of Advanced Management Science, 7(2), 59–63. https://doi.org/10.18178/joams.7.2.59-63
Fujiarti, C. (2021). Fenomena Penyebaran Hoax dan Hate Speech pada Media Sosial. Diskominfosan.https://kominfo.bengkulukota.go.id/fenomena-penyebaran-hoax-danhate-speech-pada-media-sosial/
Setyawan, A. (2019). Pengaruh Persepsi Dan Penggunaan Media Sosial Terhadap Terpaan Berita Hoax Tagar #Justiceforaudrey Di Kalangan Pelajar Sma Negeri Di Kecamatan Pesanggrahan. JurnalKomunikatio, 5(2), 47–54.https://doi.org/10.30997/jk.v5i2.2172
DJKN.(2024a).Kemenkeu.go.id.https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-jambi/baca-artikel/17009/Pentingnya-Mempelajari-Ilmu-Logika-Untuk-Menghindari-Kekeliruan-Berpikir.html