Memilih Sekolah TK Anak di Waktu Pandemi

kurnia dewi
A full time mother and ecstatic diplomat with Business Management background. Sesdilu72. Es oyen and tekwan are my all time favorite :)
Konten dari Pengguna
17 Mei 2022 12:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari kurnia dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mengantar anak sekolah.  Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mengantar anak sekolah. Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
Beradaptasi bukanlah suatu hal yang mudah, baik bagi orang dewasa maupun anak kecil. Kesulitan inilah yang dirasakan oleh saya dan anak sekembalinya ke tanah air setelah selesai penugasan di luar negeri selama 3 tahun. Kesulitan terbesar bukanlah membongkar barang kargo, membersihkan rumah yang sudah ditinggalkan bertahun-tahun, tetapi berkaitan dengan pemilihan sekolah anak, terutama di masa pandemi.
ADVERTISEMENT
Menemukan sekolah anak yang pas di masa pandemi seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Banyak lapisan faktor yang menjadi pertimbangan dalam memilih sekolah. Terlebih lagi bagi anak usia TK di bawah 6 tahun yang belum dapat mengakses vaksin covid-19.
Pertimbangan pertama tentu saja adalah biaya. Kaget juga setelah melihat metode pembelajaran sekolah yang pada awal pandemi masih didominasi dengan daring, tapi ternyata pemotongan biaya atau SPP ternyata tidak terlalu signifikan. Bagi kami yang tinggal di daerah penyangga ibukota, biaya sekolah tersebut cukup membuat terkejut, namun hal ini lama kelamaan dapat dimaklumi karena setelah mencari tahu dan diskusi dengan pihak sekolah, ternyata sekolah juga masih membutuhkan biaya untuk membayar tenaga pengajar, paket data, perawatan sekolah, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Setelah menemukan biaya yang sesuai, ternyata juga perlu mengecek komitmen penerapan protokol kesehatan di sekolah, bagaimana screening saat pembelajaran tatap muka serta mitigasi risiko bila ada yang terpapar covid-19.
Ilustrasi Suasana Belajar di Sekolah dengan Protokol Kesehatan yang Ketat. Sumber: Dokumentasi Pribadi
Fleksibilitas sekolah dalam kegiatan pembelajaran juga patut menjadi pertimbangan. Apakah sekolah menerapkan kombinasi tatap muka dengan luring (hybrid), daring, ataupun luring dalam pembelajaran sehari-hari. Apa pun pilihan orang tua, seharusnya dapat difasilitasi oleh sekolah, karena orang tua yang paling memahami tentang kondisi si anak.
Saya sendiri termasuk orang tua yang mengizinkan anak untuk mengikuti pembelajaran tatap muka, sepanjang protokol kesehatan yang ketat dilaksanakan. Karena rasanya berat juga ya memantau dan mendampingi anak belajar secara daring sekaligus bekerja dari rumah. Apalagi ketika ada rapat dan sekolah yang jadwalnya bersamaan, bisa dipastikan nada suara akan sering naik 2 oktaf.
Ilustrasi Mengikuti Sekolah Daring sambil Mengantar Bunda yang Piket Work From Office (WFO). Sumber: Dokumentasi Pribadi
Setelah ketiga hal di atas dipenuhi, baru saya memikirkan soal kurikulum yang ditawarkan oleh sekolah. Banyaknya variasi pilihan dari kurikulum nasional, Cambridge, dan sekolah islam, dua bahasa (billingual) hingga sekolah internasional membuat saya harus lebih selektif untuk menentukan mana yang terbaik untuk si kecil.
ADVERTISEMENT
Alhamdulillah pandemi sekarang mulai membaik dan terkendali. Sekolah anak pun perlahan diberlakukan secara hybrid. Anak-anak pun semakin bersemangat menuntut ilmu dan merasakan pengalaman bermain, bersosialisasi, tidak lagi terkungkung melihat layar komputer yang meletihkan mata. Terkadang terharu juga ketika mengingat upaya adaptasi anak untuk membiasakan duduk tenang di depan komputer selama sekolah daring, mengingat usia anak 5 tahun seharusnya lebih banyak bergerak karena belum memiliki daya konsentrasi dan ketenangan yang maksimal.
Senang rasanya melihat staf pengajar sudah lengkap vaksin bahkan hingga booster. Kami para orang tua ribet pun bisa semakin tenang mempercayakan anak mengikuti pembelajaran tatap muka.
Komitmen pemerintah untuk menyediakan vaksin bagi masyarakat patut diacungi jempol. Mengingat jumlah warganya yang mencapai ratusan juta, Pemerintah Indonesia sangat gencar melakukan diplomasi vaksin untuk menjamin ketersediaan vaksin. Di Kementerian Luar Negeri sendiri, Ibu Menlu bersama para diplomat dalam setiap kerja sama bilateral maupun multilateral (skema COVAX) selalu melakukan upaya diplomasi vaksin, selain untuk mengendalikan pandemi, juga untuk turut mengejar target WHO yang mengharapkan agar semua negara setidaknya telah memberi vaksinasi lengkap kepada 70 persen warga negaranya pada pertengahan tahun 2022. Hingga bulan April 2022, tercatat sudah setengah milliar dosis vaksin yang diterima oleh Indonesia.
ADVERTISEMENT