Konten dari Pengguna

Suka Duka Peliputan Proses Evakuasi Korban Tenggelam di Cileungsi

Brian Hikari Janna
Udah punya pacar walaupun tampangnya biasa aja.
5 November 2017 12:26 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Brian Hikari Janna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suka Duka Peliputan Proses Evakuasi Korban Tenggelam di Cileungsi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Liputan kemarin benar-benar di luar rencana. Awalnya kukira akan jadi liputan biasa, tapi siapa sangka, pengalamannya sungguh luar biasa!
ADVERTISEMENT
Hari itu berawal dengan rasa lelah yang teramat sangat. Aku bangun kesiangan—tertidur lagi—baru akhirnya bangun beraktivitas. Itu pun masih dalam kantuk yang cukup berat. Yah bagaimana tidak, semalam aku sampai sekitar pukul 23.00, dan baru dapat tidur pukul 1 dini hari.
Untungnya, kupikir, tema yang kukerjakan hari itu tidak menuntut aktualitas atau mengejar agenda narasumber yang super sibuk. Kalau dapat agenda macam itu, matilah aku yang masih mengumpulkan nyawa pada pukul 8 pagi ini.
Singkat cerita, kemarin aku dapat tema “Si Penakluk Api” dengan sudut pandang bebas. Tema ini luas, dan banyak yang bisa digali dari sisi humanisnya, dan itulah yang awalnya menjadi acuan liputanku.
“Ah bakal cepat liputan hari ini, cari anekdot menarik, garap, jadi,” kataku kepada diri sendiri yang sejujurnya masih bingung mau angkat angle apa. Tapi ya sudahlah, berangkat dulu saja, nanti juga ketemu. Akhirnya, aku berangkat ke stasiun pemadam terdekat yang kebetulan tidak jauh dari rumah.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di sana, aku agak kebingungan. “Lho, kok sepi?” ucapku dalam hati. Hanya ada 3 orang yang sedang duduk sambil menyeruput nikmatnya kopi di pagi hari. Salah satu dari mereka, yang melihatku celingak-celinguk di depan markas, datang menghampiriku.
“Ada apa ya Mas?” kata pria berseragam itu kepadaku. Matanya merah, mukanya kusut. Dia belum tidur. Lalu kujelaskanlah kepadanya kalau aku wartawan dari kumparan (kumparan.com) yang sedang bertugas untuk meliput kegiatan pemadam kebakaran. Tanpa banyak basa-basi, dia mengajaku masuk untuk bertemu dengan yang lain.
Aku kaget, ketika aku disambut dengan hangat oleh para anggota pemadam pagi itu, karena sejujurnya kupikir akan terasing karena aku bukan siapa-siapa. Aku bahkan dibuatkan kopi oleh mereka ketika sedang berbincang santai dengan komandan regu Abraham, yang mengepalai regu piket hari itu.
ADVERTISEMENT
“Kamu kalau mau wawancara sama dia nih,” kata Abraham sambil menunjuk anak buahnya yang bernama Nirawan. “Dia masih muda, tapi banyak pengalaman dan prestasinya hebat,” ujar pria paruh baya itu sambil mengacungkan jempol. Aku pun langsung berkenalan dengan anak buahnya itu dan Nirawan bersedia diwawancara.
Sejak dia berbicara, aku terkesan dengan apa yang dia ceritakan. Prinsip hidupnya, mengapa dia memilih jadi pemadam kebakaran—setidaknya bagiku—sangat inspiratif. “Jadi petugas damkar itu, kalau kita bicara soal gaji ya, memang tidak seberapa, bahkan di bawah UMR, tapi kan bukan karena itu saya memilih pekerjaan ini, saya jadi petugas karena memang suka dengan pekerjaan semacam ini,” kata Nirawan.
Dia pun berujar, tak pernah sekalipun selama 2 tahun bekerja, dia mengalami titik jenuh. “Jenuh dalam pekerjaan itu karena apa yang dikerjakan tidak sesuai dengan kata hati dan ilmu yang dipelajari. Anak otomotif jadi pegawai restoran, atau pegawai bank, kan sayang ilmunya,” ucapnya. Saat itulah aku tersentil, di lingkungan sekitarku, banyak yang ambil pekerjaan tidak sesuai dengan bidang dan minatnya.
ADVERTISEMENT
Tapi kalau kupikir, mungkin karena tuntutan hidup, mereka jadi tidak punya banyak pilihan. Yah, kita pun tidak punya hak untuk menghakimi kehidupan orang lain, tapi apa yang dikatakan Nirawan ada benarnya.
Di tengah wawancara, tiba-tiba Danru Abraham menghampiri kami. “Wan, siap-siap, bantu evakuasi mayat tenggelam di Cileungsi,” kata sang Komandan dengan nada perintah. Lalu hanya satu kata yang terlontar dari mulut Nirawan, “siap”. Setelah itu kami memutuskan untuk melanjutkan wawancara sebentar lagi karena memang sedang menunggu panggilan dari Markas Komando (MaKo) Depok.
Lalu, 30 menit kemudian, kami berangkat dengan motor menuju MaKo untuk bergabung dengan tim penyelamat.
Sampai di sana, Nirawan berkata kepadaku. “Mas motornya parkir di dalam saja, ikut kami di mobil rescue nanti,” ucapnya. Aku gembira bukan main. Kapan lagi naik mobil pemadam kebakaran? Sembari menunggu persiapan selesai, aku bertanya ke sana kemari untuk mengumpulkan data korban. Ada Danru Mulyadi yang sedang senggang setelah mengarahkan regunya, kuhampiri saja dia, dan hasil perbincangannya lumayan sebagai data awalan.
ADVERTISEMENT
“Yuk, Mas, naik ke atas,” kata Nirawan. Aku bingung, dia menunjuk ke atas truk.
“Di atas Mas kita?” tanyaku memastikan.
“Iya, mari Mas,” ajak Nirawan. Makin gembiralah aku. Ini sensasi yang benar-benar beda. Makin gagah pula rasanya dilihat orang-orang di atas truk pemadam yang sirinenya sedang berkumandang.
Ketika truk mulai berjalan, aku yang belum punya pengalaman ini melakukan satu kesalahan fatal. Yakni tidak melihat ke depan alias meleng. Bah meleng sekali itu benar-benar kusesali. Mukaku dihajar oleh ranting pohon yang cukup besar. Lumayan sakit rasanya, tapi kagetnya itu yang bukan main.
Lalu benarlah, sepanjang perjalanan, ketika melewati jalan-jalan kecil yang rindang, kami harus bertindak bak tentara yang sedang perang.
ADVERTISEMENT
“Awas kepala Mas!” teriak Nirawan yang ada di depanku. Lalu kami merunduk, bahkan tiarap tidak bisa bangun karena begitu banyaknya ranting dan truk berjalan sangat cepat. Kalau kena ranting sekarang, bonyoklah muka ini.
Sampai area Cileungsi, kegiatan itu tidak kami alami lagi. Bukan karena tidak ada pohon, tapi kondisi jalan yang begitu macet sehingga sulit bagi truk untuk berjalan normal—setidaknya normal untuk ukuran truk pemadam yang selalu tancap gas. Kami berjalan perlahan, menembus kemacetan Cileungsi yang mengular sekitar 4 km.
Nasib sial kami alami ketika sudah dekat lokasi. Ada pengecoran jalan sehingga truk regu penyelamat tidak bisa lewat dan kami harus putar balik sangat jauh. Sekali lagi menembus kemacetan itu sampai titik awal kami masuk tadi.
ADVERTISEMENT
Regu menepi sebentar untuk memastikan rute sekaligus mengambil napas sejenak. Kemacetan tadi cukup menguras tenaga mereka, sekarang, harus mereka lalui lagi. Setelah rute ditentukan, regu penyelamat kembali berangkat. Mereka tidak banyak mengeluh, bahkan kesulitan yang dihadapi regu dijadikan bahan guyonan.
“Bakwan enak nih bakwan,” ujar Bayu ke handy talky yang dia pegang. “Luar biasa,” saut rekannya yang ada di dalam truk, bukan lewat HT, tapi megaphone truk sehingga gurauan mereka terdengar ke mana-mana. Ada-ada saja cara mereka untuk membunuh rasa jenuh kemacetan.
Sudah jatuh tertiban tangga. Ternyata kesialan regu damkar MaKo Depok tidak berhenti sampai di situ. Kali ini mereka tersasar cukup jauh, dan sekali lagi pula, mereka harus menembus kemacetan. Kali ini, ada beberapa anggota regu yang mengeluh, tapi tidak dengan Nirawan. Dia tetap menanggapi tragedi kesasar ini dengan santai.
ADVERTISEMENT
Setelah menembus sedikit lagi menembus kemacetan, akhirnya regu sampai di pintu masuk area permukiman tempat mayat hilang. Masuk ke perkampungan merupakan satu tantangan tersendiri bagi regu penyelamat yang menaiki truk besar. Namun, karena pengalaman dan kemampuan yang cukup mumpuni dari sang pengendara (operator) unit, regu bisa sampai ke TKP.
Sampai di sana, aku langsung mohon izin kepada regu untuk berpisah sementara untuk mencari narasumber yang bisa kuwawancara. Untungnya, Pelda Sukarpin sebagai kepala operasi, dan keluarga korban masih ada di lokasi. Perjalanan yang sulit tadi tidak berujung sia-sia. Meskipun juga harus berjuang ke sana kemari mencari sumber listrik untuk mengisi daya baterai gawaiku, laporan bisa cepat sampai ke kantor. Akhirnya, aku bisa bernapas lega.
ADVERTISEMENT
Meskipun sudah bisa bernapas lega, hal yang tak sempat kupikirkan sejak tadi siang akhirnya muncul juga. Perutku keroncongan. Begitupun dengan anggota regu damkar lainnya. Mereka semua kelaparan karena belum makan sejak siang.
Dalam perjalanan pulang, kami mampir ke stasiun pemadam Tapos untuk makan bersama. Tertawa, bercanda, ditambah nikmatnya indomie rebus dengan telor yang menghangatkan perut setelah kerja keras seharian penuh sungguh momen yang tidak akan pernah kulupa. Aku diterima layaknya keluarga di sana.
Hari itu memang melelahkan, tapi rasa puas dalam hati ini sungguh luar biasa. Sebuah pengalaman yang tak tergantikan, yang kuharap dapat kualami lagi di masa depan. Terima kasih para penakluk api, atas kebersamaan dan kekeluargaan yang kalian berikan.
ADVERTISEMENT