Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memaknai Hidup Stephen Hawking
14 Maret 2018 14:28 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Brian Hikari Janna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Stephen Hawking meninggal hari ini. Dia tutup usia di umur 76 tahun setelah bertarung dengan penyakit ALS yang menggerogotinya sejak 1963.
ADVERTISEMENT
Saat itu, dia diprediksi hanya punya dua tahun untuk hidup. Mengingat penyakitnya terbilang berbahaya karena mempengaruhi seluruh sistem syaraf dan otot, termasuk paru-paru.
Dia pantang menyerah. Didukung oleh istri pertamanya, Jane Wilde, Hawking memutuskan untuk menolak takdir. Mereka berdua pun akhirnya menikah pada 1965 dan memiliki 3 anak yang sehat. Hawking bertahan hingga hari ini, sampai akhirnya ajal menjemput.
Sebelum hari ini tiba, Hawking banyak berkontribusi bagi ilmu pengatahuan dunia. Dia mendorong pemahaman manusia tentang alam semesta ke wilayah yang belum pernah dijamah.
Beberapa pencapaian yang dia raih di antaranya berhasil merumuskan teori singularitas, serta mengembangkan ide lubang hitam yang populer sejak Einstein masih hidup. Hawking adalah sosok di balik revolusi paradigma ilmuwan soal lubang hitam.
ADVERTISEMENT
"Kita hanya jenis monyet yang lebih maju di planet kecil yang terletak di tata surya yang tak begitu besar. Tetapi kita dapat mengerti alam semesta. Itu membuat kita sangat spesial," ujar Hawking seperti dikutip harian Der Spiegel 17 Okteber 1988.
Semua pencapaian itu tidak akan ada, kutipan itu tidak akan pernah sampai ke telinga kita, jika Hawking menyerah pada nasib ketika dokter memvonisnya hanya punya hidup 2 tahun lagi.
Entah mana yang lebih kuat. Semangat hidup Hawking atau kegigihannya untuk mempelajari alam semesta. Namun satu hal yang pasti, semangat itulah yang terus mendorong Hawking untuk tetap hidup.
Hidup yang dijalani Hawking tak dapat dibilang mudah. Dia ditinggal cerai istrinya yang seiring waktu jemu dengan kehidupan pernikahannya dengan Hawking. Dia memang menikah lagi, tapi itu pun tidak bertahan lama.
ADVERTISEMENT
Hawking pun harus menerima kenyataan pahit kalau penyakit yang diidapnya tidak dapat diobati. Berbagai macam cara telah dia tempuh, tapi yang ada penyakitnya semakin parah. Hingga akhirnya, Hawking lumpuh total pada 2009. Dia hanya dapat menggerakan dagunya dan menulis 1 kata per menit dengan bantuan asisten komputer.
Terlepas dari keterbatasan itu, Hawking tetap mengajar. Kuliah dia siapkan beberapa waktu sebelum kelas dilaksanakan sehingga kegiatan mengajar berjalan lancar. Dia pun masih rutin menghadiri berbagai macam acara. Penyakitnya tidak dia jadikan alasan untuk berhenti berkarya.
"Harapanku telah habis ketika aku berumur 21 tahun (ketika divonis ALS). Semua yang terjadi setelah itu adalah bonus," kata Hawking seperti dikutip The New York Times pada 2004.
ADVERTISEMENT
Hawking bukan sekadar fisikawan. Dia tak hanya menjelaskan tentang lubang hitam dan teori ruang & waktu. Lebih dari itu, dia memberi dunia pelajaran berharga tentang mengapa kita hidup.
"Tujuanku (hidup) sederhana. Memahami seutuhnya alam semesta, mengapa bentuknya seperti itu, dan mengapa semesta diciptakan,"
-Stephen Hawking, Stephen Hawking's Universe: The Final Question
Semoga tujuan itu telah terjawab. Selamat jalan, Hawking.