Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Ojek Online: Kaum Proletar Sesungguhnya Masa Kini
27 Maret 2018 11:02 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Brian Hikari Janna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aku tak pernah merasa begitu dekat dengan isu yang kudalami. Hampir setengah tahun menjalani karier sebagai jurnalis, ini pertama kalinya emosiku ikut bicara selama proses peliputan.
ADVERTISEMENT
--
Beberapa waktu lalu, aku ditugaskan meliput sengkarut ojek online di Indonesia. Tentang regulasinya, status "kemitraan", keadilan antara pengemudi dan pelanggan, sampai bagaimana hadirnya transportasi online membuat seseorang melek teknologi.
Bagiku, ada yang beda dalam liputan kali ini. Sejak ide liputan itu dibicarakan di dalam tim sampai detik-detik tenggat penulisan, aku sama sekali tak merasakan beban. Dengan kata lain, aku sangat senang menjalaninya. Alasannya tak lebih karena beberapa tahun terakhir, sebelum bekerja di kumparan, aku hidup dari keringat Ibuku yang mengaspal di jalan seharian.
Ya, Ibuku adalah salah satu dari segelintir pengemudi ojek online wanita. Sejak Bapak sakit keras dan meninggal 3 tahun lalu, aku dan Ibu harus putar otak untuk bayar tagihan ini itu.
ADVERTISEMENT
Aku memanfaatkan bakat gambar yang kumiliki untuk membuka jasa desain kecil-kecilan, sedangkan Ibu, yang hanya lulusan SMA, sulit dapat pekerjaan. Terlebih di usia yang tak lagi muda dan fisiknya yang mulai melemah, membuatnya makin tersisihkan dari kerasnya persaingan mencari pekerjaan.
Terlepas dari keterbatasannya, Ibuku masih punya satu aset. Dia pekerja keras. Ibuku juga sadar, kalau dia diam saja, keluarga kami tidak bisa hidup.
Beruntung, kami tidak melarat-melarat amat, masih ada motor peninggalan Bapak yang sedia digunakan kapan saja. Nasib kami pun akhirnya terselamatkan karena saat itu, profesi ojek online mulai marak di Indonesia --dan Ibu dibukakan pintu rezekinya di sana.
Dia sempat dilarang. Keluarga Ibu tak terlalu senang dengan keputusannya untuk menjalani profesi yang pada dasarnya bukan untuk wanita itu. Mengemudi seharian mengantar penumpang ke sana kemari bukan perkara ringan, sekalipun untuk laki-laki.
ADVERTISEMENT
Namun Ibu sudah berkeras hati. Demi menghidupi aku dan adik, dia rela menanggung beban berat itu.
Sekarang, hampir tiga tahun Ibu mengaspal. Aku memang jarang pulang, tapi yang kutahu, tiap aku di rumah dan menyambut Ibu pulang narik, dia selalu berbagi cerita tentang harinya.
Dari ceritanya, aku membayangkan bagaimana beratnya hidup seorang pengemudi ojek online.
Suatu waktu dia pernah mengeluhkan pelanggan yang membuatnya menunggu lebih dari setengah jam dan tidak dapat insentif apa-apa atas kesediaannya. Padahal kalau dia batalkan pesanannya, bisa saja Ibu dapat pesanan lain yang mungkin lebih untung.
Di lain kesempatan, Ibu harus merugi ketika pesanan makanannya dibatalkan begitu saja oleh pelanggan karena menurutnya kelamaan. Padahal makanan yang dia pesan berasal dari tempat makan yang ramai dan antreannya panjang.
ADVERTISEMENT
Pendapatannya pun tak selalu banyak seperti yang perusahaan iming-imingkan. Ada saat ketika dia harus pulang dengan tangan kosong. Ibu yang baru kenal teknologi itu kalah bersaing dengan driver lain yang menggunakan tuyul (fake GPS). Semua pesanan dicaplok oleh para pengemudi nakal yang memakai aplikasi ilegal.
Selain sulit dapat pesanan karena para pengguna "tuyul", jumlah pengemudi yang meningkat tajam juga menjadi faktor utama seretnya pendapatan Ibu dan puluhan ribu pengemudi lain di luar sana --secara khusus di Jakarta.
Pengalaman tak mengenakan terakhir dan paling parah adalah ketika akun pengemudi Ibu di-suspend oleh perusahaan karena ada pelanggan yang melaporkan dia. Alasannya? karena Ibu dianggap tak memenuhi kemauan sang pelanggan.
Di situ aku marah besar. Aku tahu betapa Ibu sangat menghargai pelanggannya. Dia bukan tipe yang suka memperlakukan orang seenaknya. Betapapun sulitnya “titah” pelanggan, dia selalu berusaha untuk memenuhi ekspektasi mereka.
ADVERTISEMENT
Namun terkadang orang memang kurang ajar. Seperti pelanggan yang membuat akun Ibu di-suspend, dia melapor ke perusahaan hanya karena Ibu sulit mencari alamat --dan dia tidak kolaboratif alias sangat sulit dihubungi.
Pelanggan tersebut tidak senang karena harus menunggu beberapa waktu, yang dia tahu, begitu memesan, tanpa alasan apapun, pengendara harus sudah siap menjemputnya.
Parahnya, perusahaan mengamini laporan pelanggan tersebut tanpa konfirmasi lebih dulu kepada Ibu. Karena akunnya di-suspend, Ibu terpaksa tidak punya pemasukan selama beberapa hari.
Kebijakan seperti itulah yang membuatku sejujurnya geram. Namun apa daya, kami orang kecil, tak bisa menentang satu-satunya sumber rezeki kami.
Apalagi semenjak liputan, aku tahu bahwa Ibu tidak sendiri. Masih banyak pengemudi lain yang mengalami hal serupa, namun tak tahu harus mengadu ke mana. Mereka hanya bisa pasrah ketika dapat perlakuan semena-mena.
ADVERTISEMENT
Teruntuk para penikmat keringat para pengemudi ojek online, kalian memang dapat beragam kemudahan --bahkan keuntungan-- dari kerja keras mereka. Lewat hasrat dan pemikiran kalian pula, pintu rezeki puluhan ribu orang terbuka lewat pekerjaan sebagai pengemudi ojek online.
Namun ingat baik-baik, yang kalian pekerjakan di luar sana adalah manusia. Orang-orang yang rela tidak dapat asuransi dan keuntungan lain meski statusnya kalian anggap mitra. Sekumpulan manusia yang manut apa kata kalian, walaupun kadang berontak tak setuju tanpa hasil yang begitu nyata.
Kalau kalian masih punya muka untuk memerah keuntungan dari para pekerja keras itu, paling sedikit, hargai usaha mereka. Bukan dengan tip yang banyak, tapi penghargaan yang pantas, layaknya sesama manusia menghargai manusia lainnya.
ADVERTISEMENT