Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Kota Tak Kasat Mata di Selatan Jawa
16 November 2021 20:46 WIB
·
waktu baca 15 menitTulisan dari BriiStory tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Entah bagaimana cara dan prosesnya, berjalan lintas dimensi bisa saja terjadi. Siapa pun bisa mengalami, gak pandang bulu.
ADVERTISEMENT
Malam ini, satu teman akan bercerita pengalaman seramnya, lintas dimensi merasakan kekacauan garis ruang dan waktu. Hanya di sini, di Briistory..
***
~Circa 2003, selatan Jawa~
Aku dan Virgo akhirnya menyerah, kami sudah gak kuat menahan kantuk.
“Asri, kita istirahat sebentar ya, gue ngantuk banget ini, Virgo juga tuh keliatannya, hehe,” aku bilang begitu, setelah menghentikan mobil di pinggir jalan, di dekat sebuah gapura yang ukurannya cukup besar, kelihatan seperti jalan masuk ke satu pemukiman atau malah kota kecil.
Gapura ini agaknya merupakan satu-satunya bagunan yang kami temukan sepanjang beberapa puluh menit perjalanan sebelumnya.
Aku sempat memperhatikan sebentar, gapuranya berbentuk dua tembok tinggi berwarna gelap namun masih kelihatan jelas.
ADVERTISEMENT
“Iya, Mas. Gapapa. Istirahat aja dulu, dari pada kenapa-kenapa kan, hehe.” Asri bilang begitu.
Ya sudah, kurebahkan kursi supaya gak terlalu tegak, cari posisi enak untuk terlelap barang sejenak, niatnya seperti itu.
Tapi sebelum terlelap, sekilas aku melirik jam tangan, menunjuk ke angka 01.00.
Aneh, padahal sering kali lebih dari jam jam satu malam aku masih kuat berkendara, tapi kali ini lelah dan kantuknya gak terkira.
Sekali lagi aku menoleh ke kursi sebelah, Virgo malah sudah nyenyak tanpa basa basi. Asri? Dia masih duduk tenang di belakang, sepertinya masih terjaga, aku gak bisa melihatnya dengan jelas karena kabin dalam keadaan gelap.
Setelah semua itu, akhirnya aku terlelap.
ADVERTISEMENT
***
Langit yang awalnya gelap, berubah jadi jingga kemerahan, pemandangan yang tadinya gak kelihatan sekarang sudah jelas terlihat.
Sudah bukan malam lagi, sudah terang, tapi bukan terang tengah hari bolong, malah terasa seperti sore menjelang malam.
Memperhatikan sekeliling, pepohonan rapat jadi pemandangan yang terlihat, aku gak bisa melihat lebih jauh karena tertutup pepohonan itu.
Mengucek-ngucek mata sebentar, aku terus memperhatikan semuanya, sambil berusaha mengumpulkan nyawa karena baru saja terjaga.
“Sukurlah, udah bangun, hehehe,”
Suara Asri dari luar mengagetkanku. Sebelum tidur tadi, jendela memang sengaja aku buka sedikit. Asri berdiri persis di samping jendela.
“Jam berapa deh ini? Kamu dari mana, Sri?” tanyaku.
“Udah jam 10, Mas. Ini aku baru banget dateng, tadi jalan kaki sebentar ke rumah teman yang gak jauh dari sini.
ADVERTISEMENT
Walau masih belum sadar sepenuhnya, tapi aku mulai mudeng semuanya. Ini sudah jam 10 pagi, berarti kami tertidur kurang lebih 9 jam. Kok lama banget?
“Waah, udah sore ternyata, lama banget kita tidur, Fer. Buset, deh.”
Virgo ikut bangun juga,
“Belum sore, masih jam 10,” aku menimpali.
“Eh, tetep aja kita masih lama banget tidurnya. Gila lo ya, knapa gak bangunin gw, sih?”
“Lah, gw aja baru bangun.”
“Ya, udah. Jalan lagi yok, udah seger nih, kan.”
Ya sudah, kemudian kami memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan. Tentu saja, harus menuju rumah Asri terlebih dahulu, lalu kemudian baru lanjut lagi menuju Lumajang.
***
“Asri, ini gak nyasar nih?” tanyaku.
ADVERTISEMENT
“Gak, Mas. Benar, kok”
Aku melirik sedikit, Asri tersenyum tipis, sumringah menggurat bahagia terlihat di wajahnya.
“Tenang aja, gak lama lagi masuk perkotaan, gak akan sesepi ini,” ucap Asri lagi.
Ingat dua tiang besar berbentuk gapura yang aku ceritakan tadi? Ternyata Asri menuntun kami untuk masuk melintas melalui gapura itu, Asri bilang itu adalah gerbang masuk ke kota tempat tinggalnya.
Agak aneh, tapi aku dan Virgo tentu saja mengikuti ke mana jalan yang Asri tunjuk.
Memang, paling baru sekitar lima menit waktu yang kami tempuh sejak lewat gapura tadi, tapi tetap saja aku penasaran karena jalan ini sama sekali belum pernah aku lalui sebelumnya, ditambah suasana dan pemandangannya agak berbeda dengan sisi jalan lintas jawa pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Jalanan yang sedang kami susuri ini juga bukan jalan besar, tapi jalan yang hanya cukup untuk dua kendaraan kecil berpapasan, tapi sangat bagus, aspal hitam mulus sama sekali gak ada lubang.
Langit masih Jingga kemerahan, sinarnya sama sekali gak menyilaukan, malah menyejukkan, menenangkan.
Jendela sengaja aku buka setengah, karena udara sejuk berhembus langsam, dingin juga tapi bukan dingin yang menusuk tulang.
Pokoknya nyaman, sangat nyaman suasana alamnya.
Matahari sama sekali gak terlihat, aku gak tahu pasti apakah tertutup awan atau memang pandangan terhalang pepohonan.
“Enak ya, Mas, udaranya. Hehehe.” Asri bilang begitu tiba-tiba, membuyarkan lamunanku dan Virgo.
“Iya, ini namanya daerah apa ya, Sih? Gue sama sekali belum pernah ke sini” Virgo menjawab, sambil membetulkan posisi duduknya.
ADVERTISEMENT
“Bener, enak banget, sejuk. Apa ada deket-deket gunung ya sekitar sini?” aku bertanya begitu, karena sejak awal sama sekali gak bisa melihat pemandangan sampai jauh, gak bisa melihat apakah ada pegunungan di sekitar sini.
“Hehe, emang gini, Mas. Gak ada pegunungan sama sekali.” Jawab Asri.
“Trus, ini pohon-pohon banyak gini, apa emang hutan di sini?” tanyaku lagi.
“Bukan hutan, Mas. Memang begini, banyak pohon di pinggir jalan.”
“Tapi, pohonnya rapet banget ya, sampe susah untuk ngeliat apa yang ada di belakangnya,” Ucap Virgo.
Dan yang agak aneh, sejak tadi kami sama sekali gak melihat ada kendaraan lain, entah itu motor atau mobil, hanya ada kami yang menyusuri jalan. Aku pikir karena mungkin masih pagi, atau bisa juga karena ini hari kerja, jadi gak banyak orang dan kendaraan lalu lalang.
ADVERTISEMENT
“Bentar lagi kita masuk perkotaan, Mas.” Lagi-lagi Asri membuyarkan lamunanku.
“Sukurlah, akhirnya,” jawabku, sedikit lega.
Sekali lagi, padahal belum lama perjalanan kami, paling baru sekitar 10 menit dari gapura tadi, tapi perjalanan terasa lama, terasa sudah seperti berjam-jam, rasanya seperti itu.
Jalanan sejak awal hanya lurus dan lurus saja, sama sekali gak ada belokan,tapi akhirnya di kejauhan aku melihat persimpangan, ada dua arah jalan, ke kanan dan ke kiri. Persimpangan yang di sekelilingnya masih sama, dipenuhi dengan pepohonan yang rapat.
“Belok kanan, Mas.”
Asri seperti mengerti kebingunganku, dia lalu mengarahkan untuk berbelok ke kanan.
Kendaraan pun berbelok.
Dari sini, kelihatan di beberapa puluh meter di depan ada yang berbeda, pemandangan gak lagi didominasi oleh pepohonan, tetapi sudah kelihatan ada bangunan.
ADVERTISEMENT
Kendaraan yang sejak tadi memang gak terlalu cepat, aku membuatnya lebih lambat lagi, kuangkat pedal gas perlahan.
Langit masih sama, jingga kemerahan, udara juga masih sejuk. Matahari belum juga kelihatan, hanya sinarnya saja yang masih menyebar hangat.
***
Jalanan yang tadinya aspal hitam, berubah menjadi jalan tanah kecoklatan, tapi kelihatan dan terasa keras ketika roda mobil berputar menggelinding di atasnya.
Itu yang pertama kali aku lihat ketika sepertinya kami sudah masuk ke wilayah “Perkotaan”, agak aneh memang, kenapa jalanannya malah jalan tanah?
“Terus aja, Mas. Lurus” Asri bilang begitu.
Kendaraan berjalan pelan, aku memang sengaja membuatnya seperti itu, karna banyak alasan, banyak pertanyaan di kepala ketika pemandangan pepohonan sudah berganti jadi bangunan rapat yang nyaris semuanya sambung menyambung jadi satu.
ADVERTISEMENT
Banyak bangunan, rapat.
Semuanya bangunan permanen, dinding tembok tebal yang nyaris seluruhnya berwarna putih. Ornamen-ornamen tambahan menghiasi setiap sudut kota ini, ada lampu taman klasik di pinggir jalan, ada beberapa kursi cantik berbahan besi kayu menghias trotoar.
Nah, dari semuanya, yang paling mencolok adalah desain bangunan dan segala ornamen yang ada, aku sangat memperhatikan ini, dan melihatnya sungguh takjub bercampur aneh, Karena semua desainnya tahun 1960/70an, klasik, arsitektur eropa namun masih ada banyak sentuhan budaya Jawa.
Indah, sungguh indah kota ini, ditambah dengan sentuhan sinar jingga kemerahan dari langit yang masih terus setia menghias hari.
Saking fokusnya memperhatikan keadaan sekitar, aku jadi lupa dengan waktu, lalu melirik jam tangan.
ADVERTISEMENT
“Hah? Sudah jam tiga sore? Kok cepet banget?”
Iya, aku terkejut ketika sadar kalau ternyata sudah jam tiga.
“Knapa, lo?” akhirnya Virgo bersuara.
“Ini beneran udah jam tiga?” tanyaku.
“Beneran, jam gue juga jam tiga. Nih, liat aja,” Virgo menunjukkan jam yang ada di tangannya.
Benar, sudah jam tiga.
“Mas-mas ini terlalu asik menikmati pemandangan kali, jadinya lupa waktu, hehehe,” tawa tipis Asri mengakhiri kalimat yang keluar dari mulutnya.
Mungkin Asri benar, aku dan Virgo bisa saja terlalu asik menikmati dan memperhatikan sekitar, tapi seharusnya gak selama itu, gak secepat itu waktu bergulir.
Taksiranku, harusnya kami berjalan sejak dari gapura gak lebih dari satu jam, harusnya sekarang masih di kisaran jam sebelas atau setengah dua belas.
ADVERTISEMENT
Sesekali aku melirik dari kaca spion, Asri terlihat terus tersenyum dengan mata berbinar cerah, asik memperhatikan suasana kampung halamannya, seperti orang yang sudah bertahun-tahun gak pulang.
“Emang biasanya kayak gini ya, Sri?, gak ada orang sama sekali, sepi amat.”
Aku akhirnya bertanya kepada Asri perihal keanehan selanjutnya. Keanehan itu adalah: sejak sampai di kota kecil ini, sama sekali gak ada orang yang lalu lalang, gak ada.
Ditambah, gak ada suara yang terdengar, desir hembus angin pun gak ada, hanya suara mesin mobil kami saja yang menggema pelan terpantul dinding rapat bangunan.
Seperti sedang melewati kota mati..
“Kalo siang emang begini, Mas. Sepi. Nanti menjelang sore ke malam, mulai rame,” Jawab Asri.
ADVERTISEMENT
“Kenapa begitu? Apa emang kayak gini dari dulu?” Virgo ikut penasaran.
“Iya..” Asri menjawab pendek.
“Eh, tapi gak juga. Itu ada orang di dalam toko,”
Aku bilang begitu ketika akhirnya melihat ada tanda-tanda kehidupan.
Di salah satu bangunan berbentuk toko, aku melihat ada pergerakan orang beraktivitas di dalamnya, di dalam bangunan agak gelap jadi yang aku lihat hanya berbentuk siluet.
Berikutnya, beberapa kali aku melihat aktivitas yang sama pada bangunan yang berbeda.
Ya begitu, sepertinya warga kota ini aktivitasnya di dalam ruangan, sama sekali gak ada yang kelihatan bergerak lalu lalang di luar, jadinya jalanan kota sangat sepi.
“Nanti, di depan belok kiri ya, Mas” Asri bersuara.
ADVERTISEMENT
Benar yang Asri bilang, gak jauh di depan terlihat ada persimpangan ke kiri dan ke kanan. Aku ikuti arahan Asri.
Selanjutnya, setelah berbelok, suasananya tetap sama, masih berjajar bangunan desain klasik yang berjajar rapat satu sama lain, pemadangan sama persis.
Masih lambat aku melajukan mobil, semakin lambat, karena semakin banyak pertanyaan di kepala.
Jalan kembali lurus, aku ikuti terus, dengan pemandangan dan suasana yang nyaris sama.
Masih juga, beberapa kali aku melihat pergerakan warga yang beraktivitas di dalam bangunan, entah itu toko atau rumah, aku dapat melihatnya dari jendela mereka,
ya tentu saja aku masih saja melihat mereka dalam bentuk siluet, gak jelas.
Oh iya, kenapa aku bisa melihat mereka? Karena jarak jalanan dan bangunan cukup dekat, hanya dipisahkan oleh trotoar yang lebarnya kira-kira tiga meter.
ADVERTISEMENT
Kira-kira beberapa belas menit kemudian, aku melihat di kejauhan kalau bangunan yang berbaris ini akhirnya ada ujungnya.
“Itu udah ujung kota, Sri?” tanyaku.
“Oh, iya, Mas. Rumahku memang di ujung itu, sebelah kiri jalan.” Asri jawab begitu.
Sekali lagi, aku melirik kaca spion, pada saat itu aku melihat kalau mata Asri berkaca-kaca, seperti menahan tangis, namun terlihat bahagia. Aku berpikir, mungkin karena Asri terharu bahagia akhirnya bisa pulang setelah sekian lama.
***
“Rumah yang ini, Sri?”
“Iya, Mas.” Jawab Asri.
Aku lalu memarkirkan kendaraan tepat di depan rumah yang letaknya memang di paling ujung, setelah rumah ini kembali yang ada pepohonan rapat, persis seperti pemandangan ketika datang sebelum masuk kota tadi.
ADVERTISEMENT
Sama dengan bangunan lain di kota ini, rumah Asri juga bentuknya berdesain kuno, seperti bangunan eropa jaman dulu.
Setelah turun dari kendaraan, Asri mengajak kami untuk langsung masuk ke rumahnya.
Aku dan Virgo, masih dengan banyak pertanyaan di kepala, mengikuti Asri dari belakang. Lalu kami masuk ke rumah, rumah yang kalau dari luar terlihat besar.
Eh, sebentar, ternyata ketika sudah di dalam, aku melihat rumah ini ternyata gak besar-besar amat, gak sebesar ketika dilihat dari luar, tergolong kecil malah.
Ketika baru masuk, kami langsung menemui ruang tengah, ada kursi sejenis sofa, dengan meja panjang di depannya.
“Ini Bapakku, Mas.”
Asri memperkenalkan kami dengan seorang lelaki yang ketika kami datang sudah ada, duduk di ujung sofa.
ADVERTISEMENT
Iya, itu ayahnya Asri. Lelaki berumur 50 tahunan, mengenakan batik lusuh bercelana hitam.
Kami bersalaman, Virgo juga. Sempat kaget, karena tangan Bapak ini terasa dingin sekali, seperti es.
Setelah itu kami dipersilakan duduk.
Selain si Bapak, ada anak kecil yang sejak tadi sudah berdiri di pintu yang menuju belakang. Anak perempuan ini rambutnya pendek, wajahnya terus tersenyum dari sejak kami datang.
“Ini adik aku, Mas.” Akhirnya Asri memperkenalkan.
Dengan adiknya Asri, kami gak bersalaman, karena dia seperti malu-malu, gak mau mendekat, namun masih terus tersenyum.
Nah, di dalam rumah, makin banyak kejanggalan, yang membuat aku dan Virgo mulai makin merasa ada yang salah, ada yang aneh.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali kami berpandangan ketika melihat atau merasa ada yang janggal, contohnya adalah tangan ayah Asri yang sedingin es tadi.
Yang aneh berikutnya, Asri jadi sangat sangat pendiam. Setiap aku dan Virgo bertanya, dia menjawab hanya dengan isyarat, entah mengangguk atau menggeleng.
Ditambah, ayah Asri juga sama sekali gak berbicara, hanya tersenyum-senyum saja. Begitu juga adik Asri, hanya berdiri di pintu, sambil terus tersenyum.
Aku mulai merasa semakin yakin ada yang janggal ketika ayah Asri (dengan menggunakan tangan) memberi isyarat, seperti mempersilakan kami untuk menikmati hidangan di meja.
Aku dan Virgo jelas kebingungan, karena di meja gak ada makanan dan minuman sama sekali, yang ada hanya beberapa piring dan gelas yang dalam keadaan kosong!
ADVERTISEMENT
“Fero..” berbisik Virgo memanggilku, sambil jarinya menunjuk ke jam di tangannya.
Aku mengerti isyarat itu, lalu melirik ke jam tanganku sendiri.
Astaga, ternyata sudah jam setengah tujuh, kok bisa? Secepat itu? Perasaan baru sebentar kami di rumah ini, tapi kenapa tiba-tiba sudah malam?
Aku dan Virgo lagi-lagi saling berpandangan, ada yang gak beres.
Sementara Asri, ayah serta adiknya, tetap berada di tempatnya masing-masing, gak ada pergerakan, yang mengerikan, mereka semua terus tersenyum dengan ekspresi kosong.
Siapa sebenarnya Asri ini?, itu pertanyaan yang ada di kepala.
Masih sangat kebingungan, aku melihat kalau Virgo tiba-tiba memandang ke luar rumah, melalui jendela ruang tengah yang sejak tadi memang sudah dalam keadaan terbuka. Tentu saja aku langsung ikut melihat ke luar.
ADVERTISEMENT
Di luar sudah gelap, gak ada lagi terang jingga kemerahan yang kami lihat seharian. Gelap malam, jalanan kota hanya diterangi lampu taman yang berdiri di trotoar, lampu ini gak terang menerangi, namun cahaya redupnya masih bisa membantu kami untuk melihat keanehan selanjutnya.
Apa keanehan selanjutnya?
Tadi aku sudah ceritakan, kalau jalanan kota sangat sepi, gak ada orang yang terlihat sama sekali, tapi anehnya setelah hari sudah berganti malam satu persatu mulai ada orang lalu lalang.
Benar seperti apa yang Asri bilang tadi, kota ini akan mulai ramai ketika malam tiba.
Cukup lama, aku dan virgo melihat dan memperhatikan luar, seperti terhipnotis terus-terusan seperti itu.
Sampai ketika, lamunan kami akhirnya terhenti ketika melihat ada sesuatu yang menyeramkan.
ADVERTISEMENT
“Ayok kita pergi, Fer. Gila ini..” begitu Virgo bilang.
Aku ikuti ajakan Virgo tanpa pikir panjang, kami berdua langsung bergegas menuju kendaraan, tanpa sedikit pun memperdulikan Asri dan keluarganya.
Tapi ketika aku baru sampai pintu, ini jarak terdekat dengan tempat Asri berdiri, Asri mengucap kalimat pendek.
“Terima kasih, Mas,” begitu dia bilang.
Aku mengabaikan, menatapnya pun nggak berani. Terus berjalan cepat menuju mobil, berniat untuk pergi keluar dari kota seram ini segera.
Tahu kenapa aku dan Virgo beberapa detik sebelumnya langsung kompak buru-buru ke luar rumah? Itu karena kami melihat ada pemandangan menyeramkan.
Di jalanan kota, banyak orang lalu lalang, tapi ada sebagian sosok yang kelihatan sangat seram, sebagian sosok itu berjalan seperti melayang, kakinya seperti gak menyentuh tanah, kami terpaku melihatnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian beberapa detik kemudian, kami juga melihat kalau ayahnya Asri (lagi-lagi tanpa suara) dia memberi isyarat dengan tangan, seperti pamit hendak meninggalkan ruangan.
Ternyata benar, beliau pergi meninggalkan ruang tengah, menuju belakang rumah. Yang mengerikan, ternyata beliau bergerak melayang juga, gak berjalan seperti manusia normal.
Pada detik itulah aku dan Virgo memutuskan untuk segera pergi.
Setelah sudah di mobil, aku langsung menyalakan mesin, memutar kendaraan menuju arah kami datang tadi.
Kali ini aku mengendarai mobil agak cepat, ingin segera pergi jauh-jauh dari tempat ini.
Lewat kaca spion, aku melihat dari kejauhan, Asri melambaikan tangan ke arah kami.
Meraba-raba aku menyusuri jalan kota seram ini, sepanjang jalan ini pula kami terus melihat pemandangan seram, banyak sosok yang lalu lalang berjalan bergerak melayang.
ADVERTISEMENT
Entah kota apa ini..
Beruntung, aku gak menemui kesulitan mencari jalan, gak lama kemudian kami sudah berada di luar kota itu, sudah kembali menemui pepohonan rindang.
“Lo mual gak, sih? Pusing kepala gue,” ucap Virgo.
Iya, aku juga merasakan hal yang sama, tiba-tiba aku merasa gak enak badan teramat sangat, perut mual, kepala pusing seperti berputar, keringat dingin bercucuran.
“Kita minggir dulu aja ya,” aku bilng begitu, karena sudah gak tahan lagi.
Setelah mobil sudah terparkir di pinggir jalan, aku merebahkan tubuh, kemudian gak ingat apa-apa lagi.
***
“Fero, bangun Fer. Bangun..”
Suara Virgo membut aku terbangun.
Aku terjaga, seperti baru sadar dari pingsan. Kepalaku masih pusing, baju basah keringat, masih terasa mual juga.
ADVERTISEMENT
Suasana di luar masih gelap, sangat gelap. Aku lalu memperhatikan sekitar, ternyata kami sudah berada kembali di tempat yang sama, parkir di dekat gapura besar yang Asri bilang merupakan gerbang masuk ke kota asal dia.
Kami kembali ke awal, tapi tanpa Asri, gak ada Asri.
“Jam berapa ini?” tanyaku.
“Jam setengah dua,” Jawab Virgo.
Masih jam setengah dua dini hari. Ternyata hanya setengah jam yang lalu ketika aku, Virgo, dan Asri memutuskan untuk istirahat sejenak.
“Ayok, kita cabut, ah. Gila serem banget,” aku bilang begitu sambil menyalakan mesin mobil.
“Asri gimana?” Tanya Virgo.
“Asri bukan orang,” jawabku.
Lalu kami buru-buru pergi dari tempat itu, melanjutkan perjalanan menuju Lumajang.
ADVERTISEMENT
***
Jadi begini awal ceritanya, sebelumnya aku kenal Asri karena kami tinggal di tempat kost yang sama.
Kebetulan aku anak baru, baru sebulan tinggal di situ. Sedangkan Asri, katanya sudah lama kost di situ.
Pada suatu hari, satu minggu sebelum kejadian seram itu, aku dan Virgo ditugaskan oleh perusahaan tempat kami bekerja untuk berkunjung ke kantor cabang di Lumajang.
Entah tahu dari mana, Asri bisa menebak kalau aku akan ada perjalanan ke Lumajang.
“Mas, aku boleh numpang gak ya? aku mau pulang kampung, sudah lama banget gak mudik,” Begitu Asri bilang, ketika kami berbincang di tempat kost pada suatu malam.
“Memang kampung halamannya di mana?” tanyaku penasaran.
ADVERTISEMENT
“Pokoknya beberapa jam sebelum Lumajang. Di selatan Jawa,”
“Oh, ya udah, ikut aja, gapapa, sekalian. Emang gue dan teman kantor mau lewat selatan, sih” Begitu jawabku.
Akhirnya ya itu tadi, Asri beneran ikut aku dan Virgo, menumpang sampai kampung halamannya, di sebuah kota kecil nan menyeramkan.
Setelah kejadian misterius itu, aku gak pernah lagi melihat Asri di tempat kost.
***
Hai, Balik lagi ke gw ya, Brii.
Sekian cerita malam ini, InsyaAllah ada cerita lain lagi minggu depan.
Tetap sehat, jaga hati dan perasaan diri sendiri dan orang lain, supaya bisa terus merinding bareng.
Salam,
~Brii~