Perempuan di Teras Rumah

BriiStory
Jangan baca sendirian..
Konten dari Pengguna
29 Mei 2020 13:09 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BriiStory tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dok: Pixabay.
Perempuan itu terlihat lagi..
Duduk seperti biasanya, menghadap ke depan memandang ke halaman rumah. Duduk sendirian di atas kursi goyang berbahan rotan yang diletakkan di teras depan. Jarang sekali aku melihatnya ditemani oleh orang lain, nyaris selalu sendirian.
ADVERTISEMENT
Semakin hari aku melihatnya, tubuhnya semakin bertambah kurus dengan wajah yang pucat pasi, bibirnya berwarna kehitaman, kedua matanya yang cekung terlihat sayu tak bercahaya. Aku menebak, kalau perempuan itu sedang sakit yang berkepanjangan.
Tapi walaupun begitu, dia tetap berusaha untuk tersenyum ramah ketika melihatku lewat depan rumahnya. Memperlambat laju sepeda, lalu aku balas tersenyum.
Setelah melewati rumahnya, aku melanjutkan perjalanan menuju rumah salah satu teman sekelas, Henri namanya.
#briistory #briikecil #ceritahoror #ceritamisteri
#1
Aku tidak mengenal perempuan itu, tapi menurutku dia hampir seumuran dengan ibuku.
Rumah tempat dia tinggal letaknya tidak terlalu jauh dari sekolah, tapi bukan di jalur yang biasa aku lalui ketika pergi dan pulang sekolah.
Rumahnya berada di dalam kawasan perumahan yang berisikan rumah-rumah besar, penghuninya adalah orang-orang yang memiliki jabatan tinggi di suatu perusahaan atau instansi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Rumah-rumah dengan model tahun 70/80an, yang hampir semuanya ber-cat warna putih. Jalan di dalamnya cukup lebar namun sangat sepi, jarang ada mobil ataupun motor yang melintas, sehingga sering kali aku bisa memacu laju sepeda BMX silver kesayangan dengan cepat.
Pohon-pohon besar berdiri kokoh pada sisi kanan dan kiri jalan, membuat suasana perumahan agak sedikit teduh walaupun sinar matahari cukup menyengat.
Pintu masuk perumahan hanya ditandai dengan portal besi yang sudah tua dan berkarat, itupun aku tidak pernah melihatnya dalam keadaan tertutup.
Jarang sekali aku melihat penghuni rumah-rumah besar itu berkeliaran di luar rumah sekitaran komplek, aku juga tidak pernah melihat ada satpam atau hansip yang berkeliling menjaga keamanan. Intinya, komplek perumahan ini sangat sepi, seperti perumahan yang tidak berpenghuni.
ADVERTISEMENT
Perumahan yang menyeramkan..
Yang pasti, aku harus masuk dan melalui perumahan ini apabila sedang menuju ke rumah Henri. Ada alternatif jalan lain, tapi akan memutar lebih jauh, akan memakan waktu lebih banyak.
***
#2
Sudah beberapa bulan terakhir aku harus berkunjung ke rumah Henri selepas jam sekolah, kebetulan pada waktu itu kami berada satu kelompok dalam mata pelajaran IPA.
Ada satu tugas dari Pak Wasidi yang mengharuskan kami menanam tanaman dan memperhatikan perkembangannya. Kebetulan juga, di rumah Henri tersedia lahan yang cukup luas untuk bercocok tanam.
Untuk alasan itulah kenapa aku menjadi sering berkunjung ke rumah Henri, dua kali dalam satu minggu bisa dipastikan aku akan datang ke sana.
ADVERTISEMENT
Terkadang aku baru pulang malam hari, selepas isya.
Dan tentu saja, dengan begitu aku juga harus melewati perumahan yang cukup menyeramkan itu dua kali seminggu.
***
#3
"Brii, sudah hampir jam delapan malam loh ini.."
Ayahnya Henri mengingatkanku untuk pulang, mungkin karena aku terlihat masih asik bermain PlayStation bersama anaknya.
"Iya om, ini sudah mau pulang," aku langsung membereskan tas dan bersiap untuk pulang
Seperti biasa, sebelum pulang aku meminjam telepon untuk menghubungi Bapak/Ibu di rumah, untuk mengabarkan kalau aku sudah akan pulang.
Setelah beres semuanya, aku pamit dan jalan pulang..
***
#4
Masih berseragam putih merah dengan tas gendong menempel di punggung, aku pulang dengan mengayuh pedal BMX silver yang selalu menemani kemanapun aku pergi.
ADVERTISEMENT
Ku kayuh sepeda dengan kecepatan sedang.
Jalan kampung yang tidak terlalu besar menjadi pemandangan awal yang harus kulalui. Pada bagian perjalanan ini suasana masih ramai, masih banyak orang lalu lalang atau sekadar berbincang di luar rumah. Aku masih cukup tenang selama melewatinya.
Tapi, sekitar 15 menit kemudian, tiba saatnya aku untuk masuk dan melewati komplek perumahan yang cukup menyeramkan itu. Perumahan yang sangat sepi walaupun pada siang hari, apalagi malam seperti ini.
Laju sepeda sengaja aku perlambat ketika akan melewati gerbangnya, gerbang yang hanya di tandai oleh portal besi yang sudah tua dan berkarat, portal besi yang tidak pernah tertutup.
Akhirnya aku memasuki komplek itu..
Jam sudah menunjukkan hampir di pukul sembilan malam, namun suasana sudah sangat sepi, lebih sepi dari biasanya.
ADVERTISEMENT
Beberapa rumah terlihat lampunya menyala semua, lampu taman, lampu teras, dan juga lampu yang ada di dalam. Beberapa rumah lain ada yang hanya terlihat lampu terasnya saja yang menyala, malah ada pula yang gelap gulita, tidak ada satupun lampu yang menyala.
Aku mengayuh pedal dengan perlahan, menyusuri jalan aspal yang terkadang berlubang pada beberapa bagian.
Penerangan hanya bersumber dari lampu jalan yang terletak di atas trotoar, tidak terlalu terang namun cukup membantu penglihatanku untuk berjalan membelah sepinya perumahan itu.
Angin malam mulai bertiup menerpa wajah, angin yang sudah mulai terasa dingin walaupun belum terlalu malam.
Suara yang terdengar hanyalah suara ban sepedaku yang bergesekan dengan aspal jalan, tidak ada suara lain.
ADVERTISEMENT
Sepi..
Beberapa menit kemudian, akhirnya aku tiba di depan rumah yang biasanya ada perempuan setengah baya yang sedang duduk di teras.
#5
Rumah dalam keadaan sepi seperti biasanya, hanya lampu taman dan lampu teras yang menyala.
Lampu taman berbentuk bola kaca ~yang disanggah oleh sebatang tiang besi~ itu menyala cukup terang untuk menerangi sekitarnya, sedangkan lampu teras terlihat redup.
Di dalam rumah tidak ada lampu yang menyala, gelap gulita.
Tapi, lampu teras yang redup itu cukup buatku untuk dapat melihat suasana teras, cukup membantuku untuk melihat kalau ternyata perempuan itu ada. Segera aku memperlambat laju sepeda, berjalan nyaris berhenti sambil memperhatikannya.
“Ini sudah malam, kenapa Ibu itu masih saja duduk di luar rumah?” Begitu gumamku dalam hati.
ADVERTISEMENT
Perempuan itu tetap duduk seperti biasa, duduk di atas kursi goyangnya, yang bergoyang perlahan ke depan dan ke belakang.
Mengenakan jaket tipis berwarna gelap, dengan kain selendang yang melilit di lehernya.
Rambut panjangnya terurai tidak seperti biasanya, namun walaupun begitu wajahnya masih dapat terlihat, wajah yang terus mengikuti pergerakanku yang tengah melintas di depan rumahnya.
“Hati-hati nak, sudah malam..”
Tiba-tiba dia menyapaku dengan suara pelan, tapi masih terdengar cukup jelas. Menyapa dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
“Iya Bu..”
Aku menjawab sambil tersenyum juga.
“Kasihan Ibu itu, terlihat sakit namun malam-malam masih di luar rumah,” aku bergumam dalam hati seraya terus melanjutkan perjalanan, mempercepat laju sepeda agar segera sampai di rumah.
ADVERTISEMENT
***
#6
Satu minggu kemudian, seperti biasa aku kembali harus ke rumah Henri, melanjutkan mengerjakan tugas sekolah yang hampir selesai.
Kali ini aku berjalan berdua dengan Henri menuju ke rumahnya, mengendarai sepeda masing-masing kami berjalan menyusuri jalur seperti biasanya. Jalur yang harus melewati komplek perumahan yang sepi itu.
Ketika sudah memasuki perumahan itu, lagi-lagi aku tertarik dengan rumah yang biasanya ada perempuan duduk di kursi goyang di teras rumah.
Aku memperhatikan rumah itu ketika kami benar-benar sedang melintas di depannya.
Rumah dalam keadaan kosong, perempuan itu tidak terlihat, di teras rumah juga tidak ada siapa-siapa.
Sepi..
“Kamu melihat apa sih Brii?”
Suara Henri mengagetkanku.
“Gak kok Hen. Aneh saja, biasanya di depan rumah itu ada Ibu-ibu sedang duduk di kursi goyang, dan biasanya kami saling melempar senyum. Tapi kali ini Ibu itu tidak ada.”
ADVERTISEMENT
Aku menjawab panjang lebar.
Seketika itu pula tiba-tiba Henri menghentikan sepedanya secara mendadak, aku terkejut dan ikut berhenti di sampingnya.
“Kamu tidak sedang bercanda kan Brii? Rumah itu kan kosong sudah lama.”
Henri bilang seperti itu dengan mimik wajah yang serius.
“Ah kamu salah rumah mungkin Hen, aku benar-benar sering melihat Ibu itu kok.”
Aku bersikeras mempertahankan pendapat, karena memang aku yakin kalau ibu itu benar-benar ada.
“Ya sudah kalau tidak percaya. Pokoknya yang aku tahu rumah ini sudah lama kosong, pokoknya kamu hati-hati kalau lewat sini,”
Apa yang Henri bicarakan ada benarnya juga, rumah itu memang terlihat kosong. Suasananya juga memang terasa kalau rumah itu tidak berpenghuni.
Tapi pada akhirnya aku berpikir kalau Henri yang salah, aku yakin kalau Henri membicarakan rumah yang berbeda di komplek itu.
ADVERTISEMENT
“Yuk Ah.., jalan lagi Brii.”
Lalu kami melanjutkan perjalanan.
Selama perjalanan kami masih saja berdebat mengenai rumah itu, masih bersikukuh dengan pendapat masing-masing.
***
#7
Brii, ada telepon dari Bapak tuh.”
Wajah ayahnya Henri muncul dari balik pintu kamar, memberi tahu kalau Bapakku menelpon ke rumahnya untuk mencariku.
“Ini sudah jam delapan lewat, kamu pulang sekarang ya. Berani pulang sendiri atau mau Papa jemput?"
Suara Bapak di ujung telepon menyuruhku untuk segera pulang, karena hari sudah semakin malam.
"Tidak usah jemput Pa, aku pulang sendiri saja.."
Memang, malam itu aku terlalu asik bermain game sampai lupa waktu, ternyata sudah jam delapan lewat beberapa menit.
Setelah itu aku bersiap untuk pulang.
ADVERTISEMENT
Berpamitan, aku langsung naik ke atas sepeda dan mengayuhnya cepat-cepat.
***
#8
Malam jumat itu, suasananya sedikit berbeda, ditambah tiba-tiba rintik hujan kecil mulai turun dari langit, hanya beberapa puluh meter setelah aku meninggalkan rumah Henri.
Kayuhan kaki pada pedal sepeda semakin kupercepat, fakta bahwa Jas hujan tidak ada di dalam tas gendong, semakin membulatkan tekadku untuk segera sampai di rumah.
Aku memilih untuk hujan-hujanan di atas sepeda dari pada harus berteduh menunggu hujan reda, lagi pula hujannya juga tidak besar, hanya gerimis kecil.
Sekitar beberapa puluh menit kemudian, akhirnya sampai juga di depan komplek perumahan yang sepi itu.
Karena teringat oleh omongan Henri pada sore sebelumya, sempat terbersit niat untuk memilih jalan lain yang lebih jauh, tapi aku urungkan niat itu, rasa khawatir apabila hujan akan semakin deras memaksaku untuk memilih jalur yang lebih pendek dan cepat, melewati perumahan sepi itu.
ADVERTISEMENT
Sudah jam sembilan tepat, ketika kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Sempat ragu, tapi akhirnya aku memaksa diri untuk melintas masuk ke dalam komplek.
Air hujan membasahi aspal jalanan, membuat jalan menjadi sedikit licin, aku lebih berhati-hati lagi walaupun laju sepeda tetap berjalan cukup cepat.
Beberapa kali aku harus membasuh wajah yang basah tersiram air hujan, karena hujan turun semakin deras.
Seperti biasa, suasana perumahan sangat sepi. Yang aku rasakan, malam itu lampu rumah lebih banyak yang dalam keadaan mati, lebih banyak rumah gelap gulita dari pada yang terang benderang.
Lampu jalan yang berbaris di atas trotoar lagi-lagi membantu penglihatanku menelusuri jalan sepi itu. Suara gesekan ban sepeda tidak sendirian lagi, kali ini ditemani oleh suara rintik hujan yang semakin deras.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, beberapa belas meter di depan, di sebelah kanan jalan, aku melihat rumah yang biasanya ada perempuan duduk di terasnya. Yang menurut Henri rumah itu sudah lama kosong.
#9
Lampu taman terlihat menyala, karena memang lampu itu yang paling pertama terlihat olehku.
Beberapa meter kemudian baru aku dapat melihat terasnya..
Perempuan itu ada..
Dari kejauhan, aku lihat dia duduk di atas kursi goyangnya seperti biasa..
Aku mengayuh sepeda secara perlahan, membuat jarakku dengan rumah itu semakin dekat dengan perlahan juga.
Dari kejauhan, kelihatan kalau dia sudah memandang ke arahku. Seperti biasa, tubuhnya tetap bergoyang pelan ke depan dan ke belakang, mengikuti ayunan kursi.
Ketika jarak kami sudah cukup dekat, tiba-tiba dia berdiri dari kursinya..
ADVERTISEMENT
Berdiri menatap ke arahku sambil tersenyum, kemudian melambaikan tangannya.
“Nak mampir dulu sini, jangan hujan-hujanan.”
Dia memanggilku, dia mengundangku untuk mampir ke rumahnya.
Aku semakin memperlambat laju sepeda, sampai nyaris berhenti.
“Terima kasih Bu, aku pulang saja.”
Aku membalas ajakannya dengan sopan.
“Mampir dulu sebentar, sampai hujan reda. Tidak apa-apa.”
Hujan yang sudah mulai cukup deras memaksaku untuk berhenti dan mempertimbangkan ajakannya untuk mampir.
Iya, pada akhirnya aku memutuskan untuk mampir, kemudian membelokkan sepeda ke arah kanan untuk masuk ke halaman rumahnya.
Perempuan itu berdiri di samping kursi goyangnya, dengan rambut panjang terurai hingga sebatas pinggang. Berpakaian daster panjang berwarna putih, tubuh bagian atasnya memakai jaket wol tipis berwarna gelap, ditambah dengan selendang yang cukup tebal melilit di lehernya seperti biasa.
ADVERTISEMENT
Kemudian aku menyandarkan sepeda di tembok garasi, dan mendekat ke tempat ibu itu berdiri.
“Sudah, berteduh dulu di sini sampai Hujan reda. Kamu pulang ke mana? Di mana rumah kamu?”
Suara lirih dan pelan terdengar keluar dari mulutnya.
#10
Ada yang aneh, perempuan ini terlihat lebih segar dari biasanya, wajahnya tidak terlihat pucat, tubuhnya sudah tidak terlalu kurus lagi. Terlihat seperti sudah sembuh dari sakitnya.
“Rumah saya di Ramanuju Bu..”
“Tuh kan, masih cukup jauh dari sini. Sudah, kamu di sini saja dulu sampai hujan reda.”
Mimik wajah perempuan itu terlihat cemas..
Setelah perbincangan singkat itu, kami hanya diam tanpa berbicara satu sama lain. Kami sama-sama memandang ke halaman rumah yang masih diguyur hujan, ibu itu duduk di kursi goyang, sementara aku berdiri di sebelah kanannya.
ADVERTISEMENT
Cukup lama kami dalam situasi yang saling terdiam itu, sampai pada akhirnya dia berkata..
“Ibu ambil teh hangat dulu ke dalam ya, kamu tunggu di sini saja."
Kemudian dia berdiri dan berjalan pelan masuk ke dalam rumah, sementara aku akhirnya memutuskan untuk duduk di atas tembok teras yang letaknya ada di sebelah garasi.
Suasana kembali hening, hanya suara rintik hujan yang masih turun yang terdengar.
Cukup lama aku berdiri sendirian, menunggu ibu itu keluar rumah..
Hingga tiba-tiba lampu teras dan lampu taman mati, keadaan menjadi gelap gulita, hanya lampu jalan yang sedikit membantu penerangan.
Perasaanku menjadi sangat tidak enak, aku langsung berdiri dan memperhatikan sekitar.
“Bu..?"
Aku memanggil perempuan itu dari dalam rumahnya, namun tidak ada jawaban.
ADVERTISEMENT
Aku mulai merinding ketakutan, karena ketika aku mengintip dari jendela depan rumah, aku melihat kalau rumah benar-benar kosong, tidak ada orang sama sekali.
Mundur beberapa langkah, aku berniat untuk bergegas naik ke atas sepeda dan pergi dari situ.
Namun tiba-tiba dari kejauhan terlihat ada kilatan cahaya, kilatan cahaya lampu yang muncul dari sebelah kanan jalan.
Ternyata itu adalah lampu motor, motor yang semakin mendekat dan akhirnya berhenti tepat di depan rumah.
#11
Aku dorong sepeda sambil berjalan menuju pagar rumah dan kemudian keluar dari halamannya.
“Kamu ngapain di dalam rumah itu tadi Dek?”
Bapak pengemudi motor yang melintas tadi bertanya kepadaku.
“Berteduh pak, tadi hujannya deras.”
“Kamu jangan masuk ke rumah itu lagi ya, rumah itu sudah kosong lama, rumah angker, banyak setannya. Sudah, kamu cepat pulang, hujannya sudah berhenti.”
ADVERTISEMENT
“Iya Pak, saya pulang sekarang.”
Setelah mendengar omongan Bapak itu tadi aku jadi semakin ketakutan, langsung bergegas pergi meninggalkan tempat itu, mengayuh sepeda dengan cepat supaya segera sampai di rumah.
Siapa perempuan itu?
Bagaimana kisahnya?
Ternyata itu bukanlah terakhir kali aku bertemu dengannya, dalam beberapa bulan ke depan aku akan bertemu dengan dia lagi..
Sampai jumpa di cerita berikutnya.
Salam.
~Brii~