Rumah Hantu di Perkebunan Karet (6)

BriiStory
Jangan baca sendirian..
Konten dari Pengguna
2 Juli 2020 10:28 WIB
comment
24
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BriiStory tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi rumah angker. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rumah angker. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Lantunan lagu keroncong
Tidak terasa, sudah hampir enam bulan lamanya aku menjalani hidup dan bekerja di tempat terpencil ini, tempat yang mau tidak mau kami harus terbiasa dengan suasana dan keadaannya. Wahyu pun sama, dia berusaha untuk menjalaninya dengan ikhlas dan gembira, di samping harus melakukan kewajiban sebagai pekerja perkebunan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kami membentuk rumah dan lingkungannya senyaman mungkin sebagai tempat tinggal, agar semakin betah tinggal di sini.
Tidak ada pagar sama sekali, menjadikannya tiada sekat pemisah antara rumah dan perkebunan karet. Halaman depan kami tumbuhi rumput jepang yang bagus dan terawat, di sela-selanya tertanam berbagai tanaman hias yang sedap dipandang mata. Sebelah kanan ada pohon singkong dan tanaman cabai juga. Bagian sebelah kiri kami bangun kandang ternak yang tidak terlalu besar, beberapa ekor ayam dan bebek menjadi penghuni tetapnya.
Yang agak sedikit “seru” adalah bagian belakang. Bagian paling belakang ada kamar mandi dan dapur, keduanya saling berhadapan. Di antara dapur dan kamar mandi ada pintu belakang, pintu yang langsung menuju ke luar rumah, yaitu halaman belakang.
ADVERTISEMENT
Halaman belakang ini cukup jarang kami kunjungi, beralaskan tanah merah dan sebagian tertutup rumput liar, banyak juga daun bambu kering yang berserakan.
Iya, daun bambu kering. Pepohonan bambu tumbuh berkelakupok beberapa meter dari pintu belakang, banyaknya pohon bambu yang cukup rapat ini membuat suasana sekitarnya menjadi rindang dan cenderung gelap walaupun pada siang hari. Apa bila angin bertiup, akan terdengar suara dedaunan bambu yang bergesekan satu dengan lainnya, semakin kencang angin bertiup semakin kuat suara yang timbul. Semakin keras angin juga akan menimbulkan suara lainnya, yaitu suara batang bambu yang saling bersinggungan satu dengan lainnya, saling memukul.
Trok., trok, trok.” Begitu kira-kira suaranya.
Suara yang ditimbulkan oleh pepohonan bambu ini akan menjadi agak seram apa bila terdengar pada malam hari.
ADVERTISEMENT
Pepohonan ini cukup luas, kira-kira sampai 100meter persegi. Apa bila kita menyusurinya, masuk ke dalam pepohonan, di ujungnya akan ditemui wilayah yang tanahnya agak menurun, kemudian di bawahnya mengalir sungai kecil yang jernih airnya. Sungai ini akan menjadi agak besar kalau musim penghujan tiba.
Begitulah, bagian belakang rumah ini cukup jarang kami kunjungi, karena memang sudah bukan lagi termasuk bagian perkebunan karet. Di samping itu juga karena memang wilayahnya cukup seram, siang atau pun malam. Kecuali terpaksa, kami tidak pernah masuk ke wilayah ini.
Itulah gambaran rumah dan lingkungan sekitarnya, tempat aku dan Wahyu tinggal. Rumah yang seharusnya menjadi tempat di mana kami bisa beristirahat setelah menghabiskan sebagian besar waktu untuk bekerja di perkebunan.
ADVERTISEMENT
***
“Pak, saya ke kota dulu ya. Sebelum maghrib saya akan sudah sampai di rumah lagi.”
Pada satu kamis siang, Wahyu pamit ke kota untuk berbelanja keperluan rumah. Belanja rutin kali ini hanya dia yang melakukannya, aku tidak bisa ikut serta seperti biasanya karena sedang tidak enak badan. Seharian itu aku hanya bisa terbaring lemas di atas tempat tidur, tidak bisa bekerja, semua pekerjaan perkebunan Wahyu yang melaksanakan.
“Iya Yu, hati-hati ya.”
Wahyu langsung berangkat meninggalkan rumah, lalu suara motornya terdengar menjauh dan menghilang.
Aku tidak merasa was-was atau khawatir karena ditinggal sendirian, karena yakin kalau Wahyu akan pulang sebelum maghrib. Aku hanya ingin istirahat dan tidur saja di sisa hari ini.
ADVERTISEMENT
***
Sudah hampir jam enam sore, Wahyu belum juga kelihatan batang hidungnya. Aku memaksa tubuh yang masih demam tinggi ini untuk berjalan menuju teras rumah, duduk di kursi depan menunggu kedatangan Wahyu.
Suasana sekitar rumah sudah mulai gelap, kemudian aku beranjak masuk ke dalam rumah untuk menyalakan lampu petrakuak di ruang tengah dan lampu templok di setiap kamar.
Setelah isi rumah sudah terang benderang, aku menyalakan radio.
Oh iya, radio ini adalah satu-satunya hiburan yang kami miliki, selalu setia menangkap siaran dengan frekuensi AM. Untungnya, acara siaran yang tertangkap sering memutar lagu-lagu terkini akhir 1980an dan awal 1990an, yang sedang berkibar adalah Guns n’ Roses, White Lion, Bon Jovi, dan lain sebagainya, aku dan Wahyu sangat menyukai music rock.
ADVERTISEMENT
Dengan tidak adanya Masjid atau Musala di dekat perkebunan karet, untuk mengetahui waktu salat pun kami bergantung kepada radio, yang selalu menginformasikan waktu salat dengan mengumandangkan suara azan.
Radio yang kami punya ini bukan radio tua, tapi radio dua band berwarna hitam yang kami membelinya ketika baru saja tinggal di rumah itu. Kami meletakkannya di atas meja kayu di ruang tengah, meja yang dikelilingi oleh kursi tamu panjang dan pendek.
***
Kumandang azan masih belum terdengar juga, memang belum waktunya, walaupun sudah jarum jam sudah lewat dari angka enam.
Sekali lagi aku membuka pintu depan dan melihat ke luar, Wahyu belum juga terlihat datang bersama motornya.
“Ah mungkin dia mampir ke rumah temannya dulu.” Aku bicara sendirian untuk menenangkan hati.
ADVERTISEMENT
Beberapa saat kemudian suara azan akhirnya terdengar di radio, waktu maghrib tiba. Aku langsung menutup pintu dan mematikan radio, lalu ke kamar mandi untuk berwudu dan melaksanakan salat.
Kamis malam jumat, setelah selesai salat aku meneruskan berzikir dan mengaji sambil menunggu waktu Isya. Di dalam benak, aku masih terus memikirkan keberadaan Wahyu yang belum juga pulang sampai nyaris masuk waktu Isya.
Di tengah-tengah kekhusyukan mengaji, ada hal aneh yang terjadi..
Aku mendengar ada suara radio, suaranya sampai ke dalam kamar. Padahal ingat betul, kalau tadi sebelum maghrib aku sudah mematikannya. Melirik ke ruang tengah, aku melihat kalau radio masih berada di tempatnya, hanya saja ada suara yang mengalun keluar dari speaker-nya.
ADVERTISEMENT
Tapi, radio menangkap siaran yang sebelumnya sama sekali belum pernah aku dengar.
Lagu keroncong Jawa dengan aransemen dan kualitas rekaman yang sangat kuno, seperti hasil rekaman tahun 1960an, atau malah lebih kuno lagi, mengalun terdengar memecah keheningan malam itu. Intinya, aku seperti mendengar siaran dari stasiun radio yang mengudara beberapa puluh tahun lalu.
Sebelumnya kami sama sekali belum pernah menangkap dan mendengarkan siaran radio seperti ini.
Kemudian aku berdiri dan berjalan menuju meja tempat radio itu berada, mengubah frekuensinya kembali ke frekuensi kesukaan.
“Siaran radio apa barusan?”
Sambil menggelengkan kepala, aku bicara sendiri. Tidak berapa lama kemudian, azan berkumandang, aku langsung bersiap melaksanakan salat Isya.
***
Aku mulai khawatir dengan keberadaan Wahyu, sampai hampir jam sembilan malam dia belum datang juga, berharap tidak ada hal buruk yang terjadi dengannya. Di satu sisi mengkhawatirkan Wahyu, di sisi lainnya aku mulai merasa was-was sendiri, karena kalau sampai Wahyu tidak pulang berarti aku harus melewati malam jumat ini sendirian di dalam rumah.
ADVERTISEMENT
Iya, sendirian, di tengah-tengah perkebunan karet yang angker..
***
Jam sepuluh malam, Wahyu belum juga datang.
Gelas teh hangat di atas meja sudah kosong sejak tadi, tidak sanggup untuk berjalan ke dapur untuk membuatnya lagi karena kondisi badan yang masih saja demam tinggi.
Aku meringkuk menggigil berbalut kain sarung di kursi ruang tengah, belum mau untuk masuk kamar, masih berharap Wahyu akan tiba di rumah.
Radio masih menyala, penyiarnya masih memutar lagu-lagu kesukaan. Lantunan lagu-lagu rock hits sejenak dapat mengalihkan pikiran, tidak lagi merasa khawatir dan was-was. Tapi ternyata benar-benar hanya sejenak..
Ketika sedang menikmati satu lagu kesukaan, tiba-tiba lagu berhenti di tengah, lalu berganti dengan musik keroncong jawa tempo dulu, dengan kualitas rekaman yang kuno juga. Musik keroncong yang sama persis dengan musik yang mengalun di radio saat maghrib tadi.
ADVERTISEMENT
Kali ini aku mencoba untuk fokus mendengarkan dengan seksama, musik keroncong ini ternyata mengiringi sebuah lagu yang dinyanyikan oleh seorang wanita. Lagu keroncong yang cukup tenar, aku terus mendengarkan sampai lagu selesai.
Setelah lagu selesai, suara yang keluar berganti dengan suara penyiar yang sedang membawakan acara. Seorang laki-laki dengan suara berat, tipikal penyiar radio tahun 1960 sampai 1970an.
Dia berbicara layaknya penyiar yang sedang menemani pendengarnya pada malam hari, dengan lancar mengeluarkan kalimat dengan tutur kata rapi dan jelas. Aku semakin mendengarkan dengan fokus ketika dia terus berbicara panjang lebar, semakin mendekatkan wajah dan telinga ke radio, menunggu informasi yang dapat menjawab banyak pertanyaan di dalam benak.
Ini radio apa? Apa nama acaranya?
ADVERTISEMENT
Kenapa terdengar seperti siaran radio yang mengudara beberapa puluh tahun yang lalu?
Kenapa frekuensinya baru tertangkap malam ini?
“Para pendengar, berjumpa lagi dengan saya, di malam jumat ini saya akan menemani rekan-rekan semuanya. Pada hari ini 21 Maret 1968, bertepatan dengan hari..”
Seketika menjadi tidak fokus mendengarkan kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut sang penyiar, aku langsung terhenyak kaget ketika dia menyebutkan tahun 1968, aku terkejut, karena saat ini adalah tahun 1992.
“Ini radio apa?”
Aku kembali mendengarkan ocehan sang penyiar yang terus menginformasikan berita-berita yang sedang terjadi pada saat itu, tahun 1968.
Tiba-tiba aku merinding, perasaan mulai tidak enak, mulai berpikir kalau siaran radio itu bukanlah siaran radio biasa.
ADVERTISEMENT
Aku langsung mematikan radio lalu masuk kamar..
***
Pintu kamar sudah dalam keadaan terkunci ketika aku masih saja memikirkan tentang siaran radio tadi, di samping itu juga, keberadaan Wahyu masih menjadi kekhawatiran, takut terjadi apa-apa dengan dirinya.
Sedangkan aku, terjebak di rumah tanpa bisa pergi ke mana-mana, Wahyu pergi dengan membawa motor, aku tidak bisa berjalan kaki jauh-jauh dengan kondisi tubuh yang masih demam tinggi. Hanya bisa terbaring lemas di atas tempat tidur, sambil terus berharap semoga Wahyu tiba-tiba datang.
Namun harapan tinggal harapan, sampai nyaris jam dua belas malam Wahyu belum datang juga.
***
Demam tinggi ini semakin menyiksa, aku menggigil kedinginan. Berselimut tebal dan menutup kelambu tidak juga membuat kondisi badan jadi membaik, aku merasa kalau demamnya semakin tinggi.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu aku berpikir, kalau saja kondisi tubuh sehat wal’afiat, aku akan beranjak pergi dengan berjalan kaki mencari keramaian, aku akan meninggalkan rumah. Tapi kondisinya tidak memungkinkan, untuk berdiri saja aku lemah, tidak bisa dipaksakan..
Tapi untunglah, beberapa saat setelah meminum obat pereda demam, badan mulai berkeringat, suhu tubuh berangsur turun.
Suasana di luar rumah terasa mencekam, aku berharap kalau itu hanya sekadar halusinasi karena kondisi tubuh yang sedang tidak fit. Suara binatang malam terdengar bersahut-sahutan, ditambah dengan suara pepohonan karet yang tertiup oleh angin, yang pada malam itu kadang terasa bertiup cukup kencang.
Yang membuat suasana tambah mencekam, terkadang tiba-tiba suasana menjadi sangat hening dan sepi, semua suara menghilang, entah apa penyebabnya. Pada saat itulah aku mulai ketakutan.
ADVERTISEMENT
Dalam kegelisahan, aku tetap berharap supaya malam itu tidak terjadi apa-apa, berharap malam itu tidak ada teror..
Tapi sekali lagi, harapan hanya tinggal harapan, kenyataan yang akan terjadi ternyata tidak seperti itu..
***
Jam 12.30 tengah malam, aku masih juga belum bisa memejamkan mata, perasaan dan isi kepala terus berputar kesana kemari, kegelisahan terus bertambah seiring berjalannya waktu. Aku tidak lagi memikirkan Wahyu, yang ada di kepala adalah bagaimana caranya agar dapat melalui malam secepatnya.
Yang membuat sedikit tenang, sampai hampir jam satu tidak ada tanda-tanda bakal ada kejadian yang aneh dan menyeramkan.
Hmmm, salah, seharusnya aku tidak berpikir seperti itu.
***
Sreek, srek, srek..”
Suara nenek dengan sapu lidi itu terdengar lagi, menyapu pekarangan di sebelah kanan rumah. Dalam keheningan, aku mendengarkannya dengan seksama.
ADVERTISEMENT
Suaranya kadang menjauh, kadang mendekat jendela kamar. Ketika suaranya sedang dekat dengan jendela, muncul juga suara pelan tawa cekikikan si nenek, suara tawa yang sepertinya sedang menertawai aku yang sedang sendirian.
Aku hanya terdiam di atas tempat tidur, sama sekali tidak ada niat mengintip dari jendela untuk melihat keadaan di luar. Seperti biasa, aku tidak mengacuhkannya, tapi walaupun begitu aku tetap merasa ketakutan dan terus berharap semoga dia tetap beraktifitas di luar rumah.
Cukup lama nenek itu menyapu dengan sapu lidinya, hingga akhirnya sekitar jam satu lewat beberapa menit, dia sepertinya berhenti, aku tidak mendengar lagi suaranya. Lega, selanjutnya aku berharap semoga rasa kantuk akan datang agar aku bisa terlelap.
ADVERTISEMENT
Kondisi tubuh sudah mulai membaik, demamnya sudah tidak terlalu tinggi, kantuk pun berangsur mulai menyerang. Sepertinya aku akan tertidur sebentar lagi.
***
Suara binatang malam yang awalnya terdengar bersahut-sahutan tiba-tiba menghilang, suasana menjadi sangat hening dan sepi. Tidak ada angin yang terdengar bertiup di luar rumah.
Sangat sepi, mulai semakin mencekam..
Aku terhenyak, bulu kuduk berdiri ketika tiba-tiba terdengar suara lantunan musik keroncong, suara yang berasal dari ruang tengah.
Aku yakin kalau suara musik itu berasal dari radio di ruang tengah, yang aku yakin kalau sudah mematikannya sebelum masuk ke dalam kamar tadi.
Radio itu hidup dengan sendirinya..
Musik keroncong terdengar dengan jelas, mengalun syahdu dengan volume suara yang tidak terlalu keras. Saat itu yang terdengar adalah lagu keroncong yang sangat terkenal, dinyanyikan dalam bahasa Indonesia oleh seorang penyanyi perempuan, tentu saja aransemen lagunya adalah aransemen keroncong tempo dulu, kedengarannya menjadi sangat menyeramkan.
ADVERTISEMENT
Aku hanya terdiam di atas tempat tidur sambil terus mendengarkan dengan seksama. Ketika lagu selesai, berganti dengan suara penyiar laki-laki, suara penyiar yang sama persis dengan yang aku dengar sebelumnya.
“Selamat malam, pada malam jumat yang syahdu ini saya akan menemani pendengar semua dengan lagu-lagu keroncong yang sangat digemari..”
Kira-kira seperti itu sebagian ocehan penyiar radio zaman dulu itu.
Di sela-sela “siaran radio”, terdengar suara lolongan panjang anjing hutan dari kejauhan, suara lolongan yang biasanya menandakan akan kehadiran sesuatu.
***
Sudah tiga lagu keroncong yang diselingi dengan suara penyiarnya terdengar dari ruang tengah, aku masih saja terjaga tanpa merasakan kantuk sedikit pun.
Lalu, ada hal aneh terjadi ketika lagu terakhir berkumandang..
ADVERTISEMENT
Aku mengernyitkan dahi, menajamkan pendengaran, ketika merasa kalau lagu keroncong yang terakhir ini sepertinya bukan bersumber dari radio, tapi dinyanyikan langsung oleh panyanyinya, di ruang tengah!
Hanya suara perempuan bernyanyi, tidak ada musik yang mengiringinya..
Aku semakin ketakutan..
Suara lolongan anjing yang masih saja terdengar, manambah kengerian..
Perempuan itu terus menyanyikan lagu keroncong di ruang tengah, kali ini dalam bahasa jawa.
Aku tetap dalam posisi berbaring, tanpa berani bergerak sedikit pun, tidak mau menimbulkan suara yang dapat menarik perhatian sang “penyanyi”.
Namun tiba-tiba gagang pintu kamar bergerak-gerak, seperti ada yang hendak membukanya dari luar!
Aku masih diam menatap pintu.
Pintu yang aku yakin dalam keadaan terkunci, perlahan mulai terbuka. Lantunan suara perempuan yang tengah menyanyikan lagu keroncong masih terus saja terdengar.
ADVERTISEMENT
Yang tadinya tertutup rapat dan terkunci, perlahan pintu mulai terbuka, mulai ada celah yang semakin lama semakin lebar.
Pada akhirnya pintu terbuka dengan sepenuhnya..
Barulah aku dapat melihat dengan jelas apa penyebab sehingga pintu terdorong terbuka.
Dengan bantuan sinar lampu templok dari dalam kamar, aku melihat sosok perempuan berdiri di depan pintu, dia berbadan agak gemuk, mengenakan kebaya warna merah dan kain berwarna hijau, lengkap dengan sanggulnya.
Perempuan berumur sekitar 40 tahun yang cantik, dia terus menyanyikan lagu keroncong dengan mata terus menatapku yang masih berbaring di atas tempat tidur.
Sangat ketakutan, aku tidak mengenalnya sama sekali, baru malam ini aku melihatnya gentayangan di dalam rumah.
Akhirnya, perlahan dia mulai memalingkan tubuh ke arah kanan, berjalan pelan menuju ke sisi belakang ruang tamu, nyanyiannya tetap terdengar walaupun sosoknya mulai menghilang dari pandanganku.
ADVERTISEMENT
Sambil menahan takut dan nyaris menangis, aku memaksa tubuh untuk bangun dari tempat tidur, berniat untuk ke luar rumah, entah akan ke mana, yang penting aku harus pergi saat itu juga.
Aku tidak tahan lagi..
***
Nyanyian perempuan itu masih terdengar dari ruang tengah, tapi tidak peduli, aku harus meninggalkan rumah, memaksa tubuh untuk berjalan keluar kamar, selanjutnya ke luar rumah.
Ketika sudah tepat berada di pintu kamar, aku dapat melihat keadaan ruang tamu, selain ada radio yang sudah dalam keadaan mati di atas meja, aku juga melihat sesuatu yang menyeramkan..
Ada sosok yang sedang berada di ruang tengah, ternyata bukan hanya satu sosok, tapi ada dua!
Perempuan berkebaya dan bersanggul berdiri diam tanpa suara, akhirnya berhenti bernyanyi. Dia berdiri di sebelah kanan kursi yang tengah diduduki oleh sosok yang satu lagi.
ADVERTISEMENT
Dia ditemani oleh sosok laki-laki yang duduk diam, mengenakan pakaian serba hitam dengan tutup kepala yang berwarna hitam juga. Laki-laki berkumis tebal dan melengkung pada bagian ujungnya..
Menyeramkan, laki-laki itu tersenyum lebar ke arahku namun matanya melotot, mengerikan.
Mereka berdua menatap dengan tajam, aku terperangah ketakutan.
Tidak mau membuang waktu, aku buru-buru berlari ke pintu dan mencoba membukanya, sama sekali tidak berani menoleh ke belakang, ke tempat dua sosok itu berada.
Pintu berhasil dibuka, aku berlari ke luar rumah dan menjauh secepatnya.
Di tengah malam buta tanpa bantuan penerangan sedikit pun, dengan kondisi tubuh yang sedang sakit, aku mencoba berjalan membelah perkebunan karet.
Sangat ketakutan..
Sampai akhirnya, dari kejauhan samar-samar ada kilatan cahaya, ketika semakin dekat barulah terlihat kalau itu adalah lampu motor.
ADVERTISEMENT
Syukurlah, ternyata itu Wahyu..
Aku terduduk lemas, bersandar pada pohon karet yang berada di sisi jalan setapak.
“Maaf pak, tadi motor dipinjam oleh teman, dia baru pulang jam sebelas tadi. Pak Heri kenapa kok ada di sini malam-malam?”.
Wahyu meminta maaf sambil memberikan penjelasan, aku hanya diam.
“Kita kembali ke kota saja Yu, menginap di rumah temanmu saja.”
Tanpa banyak tanya, Wahyu langsung memutar motor dan tancap gas ke kota kembali ketika aku sudah duduk di jok motornya.
***
Jeng jeng....
Gimana kelanjutannya yhaaa...Kalo gak sabar nunggu, yuk acak2 post dan threadnya di Twitter @briistory atau IG @brii_story.
Atau....kalau mau versi tuntas tas tassssnya hanya bisa dibaca di bukunya, ada kok di toko buku terkemuka, atau bisa cari di online shop/marketplace terkemuka di tanah air dengan kata kunci "Rumah di Perkebunan Karet".
ADVERTISEMENT
Jaga kesehatan, jaga kewarasan, biar bisa merinding bareng terus.
Salam.
*Brii*