Rumah Horor di Bogor

BriiStory
Jangan baca sendirian..
Konten dari Pengguna
21 April 2021 14:40 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BriiStory tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Malam hari dan sendirian, saat-saat seperti inilah ketika seluruh indera bekerja dengan maksimal. Malah terkadang indera keenam juga berjalan tanpa perintah, merasakan apa yang seharusnya gak dirasakan.
ADVERTISEMENT
Simak cerita seram di bulan Ramadan ini, hanya di sini, di Briistory.
***
“Sahuuurrr, sahur, sahuuurrr, sahur..”
Teriakan anak-anak kecil diiringi dengan suara tetabuhan bertalu-talu terdengar dari luar, ramai jadinya.
Pada jam setengah tiga dini hari akhirnya aku bisa bernafas lega, selesai semuanya, walaupun mungkin hanya untuk sementara.
Setelah sudah cukup waktu untuk menenangkan diri, aku bangkit dari duduk dan melangkah ke luar kamar.
Tapi tetap saja langkahku masih agak tertahan, keberanian masih berpacu melepas dari belenggu ketakutan yang satu atau dua jam yang lalu memenuhi pikiran dan perasaan.
Ruang tengah yang besar ini, sepi dan kosong seperti seharusnya, ruang tengah yang menyambung jadi satu dengan meja makan serta dapur kering.
ADVERTISEMENT
“Seperti seharusnya” tadi kubilang? Iya, memang sudah seharusnya sepi dan kosong, karena di dalam rumah besar ini hanya ada aku saja, gak ada orang lain.
Dua jam sebelumnya, aku mengalami peristiwa seram di sini. Peristiwa yang cukup membuat goyah nyali.
Aku mendengar langkah kaki gak bertuan, yang seperti berjalan ke sana ke mari ke setiap sudut lantai atas dan bawah. Ditambah dengan sesekali ada suara pintu terbuka, aku yang sedang sendirian di rumah besar ini jadi semakin tenggelam dalam ketakutan di situasi mencekam.
Untungnya, malam bergulir menjadi dini hari, kemudian tiba waktu sahur, situasi mendadak tenang kembali.
***
“Gimana Rom? Aman kan? Hehe”
“Aman om, aman, hehe. Udah sampe rumah nih?”
ADVERTISEMENT
“Ah sukurlah. Udah Rom, ini baru aja sampe. Jangan lupa kasih makan Leon ya.”
“Ok, Om, tenang aja, gak usah mikirin rumah dan kucing. Selamat menikmati mudik di kampung halaman, hehe”
Itu percakapan telpon dengan Om Gilang, adik dari Ibuku yang nomor empat. Beliau ini adalah seorang pengusaha cukup sukses, di umurnya yang baru menginjak awal 40an tahun.
Bersama istri dan seorang anak perempuannya, Om Gilang tinggal di satu rumah besar di kawasan Bogor, di satu perumahan di sekitaran Baranangsiang. Rumah ini baru sekitar satu tahun dimiliki oleh Om Gilang, jadi masih terhitung rumah baru.
Oh iya, aku Romi, mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jakarta, akan menceritakan satu peristiwa yang aku alami baru beberapa tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Nah, pada pertengahan tahun 2018, bertepatan dengan datangnya bulan Ramadan, aku yang sedang libur kuliah diminta tolong oleh Om Gilang untuk menjaga rumahnya karena dia dan keluarga harus segera pulang kampung ke Palembang karena ada keperluan mendadak.
Aku tentu saja gak bisa menolak, gak enak hati untuk bilang “Nggak”.
Ya sudah, dengan agak sedikit berat, aku menyanggupi permintaan Om Gilang.
***
“Kamu berani Rom tinggal di rumah Om Gilang sendirian? Hehe, coba kamu ajak salah satu teman, siapa gitu."
“Rumah Om Gilang kan jauh Bu, di Bogor, gak ada temanku yang mau. Gak apa lah, aku sendirian aja, hehe”
“Gak takut Nak?”
“Takut apa Bu?, ibu ini ada-ada aja, hehe.”
ADVERTISEMENT
“Hehe, sukurlah kalo kamu berani. Jangan tinggal sholat ya. Kalau bisa, sempatkan sholat malam dan mengaji di situ, biar gak terlalu kosong.”
Begitulah, percakapan dengan Ibu melalui telpon, ketika beliau menanyakan kabarku yang dimintai tolong oleh Om Gilang.
Menangkap ada keanehan dalam kalimat-kalimat yang beliau lontarkan, aku sih kurang lebih bisa menangkap apa yang hendak Ibu sampaikan walau gak secara langsung, aku paham.
Pada intinya, aku sudah pernah mendengar cerita dari keluarga besar mengenai rumah yang baru ditinggali oleh Om Gilang dan keluarga selama satu tahun belakangan itu.
Aku juga sudah dua kali datang berkunjung, menurutku rumahnya sangat besar, bertingkat, walaupun halamannya gak terlalu luas, dan jarak dengan rumah di sebelahnya pun agak rapat, tapi tetap saja rumah yang besar.
ADVERTISEMENT
Gak tahu gimana cara menjelaskannya, menurutku suasana rumah ini gak begitu enak.
Beberapa bagiannya seperti “mati”, gak ada pergerakan udara dan sepertinya jarang sekali dilalui oleh penghuninya.
Dua kali datang berkunjung pun aku gak pernah menginap dengan berbagai alasan, tapi yang utama waktu itu karena aku kurang nyaman kalau harus tidur di kamar atas.
Gak nyaman kenapa? Ya karena Om Gilang baru saja pindah dan menempati, keadaan rumahnya masih belum “tersentuh” sepenuhnya, apa lagi lantai atas. Dengan alasan itulah akhirnya aku memaksa untuk pulang ke Jakarta walaupun hari sudah malam.
Berhembus cerita juga di keluarga besar, katanya rumah Om Gilang itu angker, ada hantunya, begitu katanya.
ADVERTISEMENT
Ada keluarga salah satu Tanteku yang katanya mengalami kejadian seram ketika menginap di rumah itu, ada penampakan hantu, entah apa bentuknya. Adik-adik sepupuku yang masih kecil juga sering kali menangis gak jelas, atau malah gak bisa tidur semalaman.
Dan juga, yang termasuk cukup aneh, dalam waktu kira-kira satu tahun tinggal di rumah itu, Om Gilang sudah berganti ART sebanyak tiga kali, dengan alasan yang kami semua gak tahu. Malah ART terakhir pergi tanpa memberi kabar sebelumnya, padahal baru dua minggu bekerja. Aneh kan..
“Ah, gak ada apa-apa kok. Cuma perasaan kalian aja ituu, hehe” Begitu Om Gilang bilang ketika ditanya tentang rumor keangkeran rumahnya.
Ya begitulah, mungkin karena Om Gilang dan keluarga sudah kadung jatuh cinta, jadinya ya mereka betah-betah saja.
ADVERTISEMENT
Sampai akhirnya, pada suatu Ramadan aku harus tinggal beberapa hari di rumah ini, dan merasakan beberapa keganjilan dari yang biasa saja sampai dengan yang benar-benar sampai menguji keimanan.
***
Pintu kamar aku biarkan terbuka sedikit, karena Leon selalu mengeong keras-keras kalau aku menutupnya. Kalau pintu terbuka seperti ini, dia bisa wara-wiri keluar masuk kamar dengan bebas, lucu, senang aku melihatnya.
Leon adalah kucing kesayangan Om Gilang sekeluarga, kucing gemuk corak hitam putih. Leon termasuk kucing yang mudah jinak dengan semua orang.
Masih jam setengah 10, sesampai di rumah sepulangnya dari masjid aku sempatkan diri untuk bersantai di tempat tidur sambil memainkan ponsel.
Nasi bungkus yang aku beli dalam perjalanan pulang tadi sudah aku taruh di meja makan, belum berhasrat aku untuk memakannya.
ADVERTISEMENT
Dari awal sebelum masuk Ramadan, seperti Ramadan-Ramadan sebelumnya, aku berniat untuk memperbanyak ibadah di bulan suci ini, salah satu yang akan aku maksimalkan adalah shalat malam dan mengaji setelahnya.
Makanya apa pun yang terjadi di sini, di rumah ini, aku gak boleh kalah, kalah dengan ketakutan akan hal-hal ghaib menyeramkan, gak mau rasa takut ke “mereka” jadi melebihi ketakutanku akan dosa, atau malah menghalangi untuk beribadah mendapatkan pahala, itu gak boleh terjadi
Ini bulan suci penuh berkah dan ampunan, kesempatan bagi kita untuk mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya.
Makanya, malam ini aku berniat untuk shalat malam nanti.
Padahal jam 10 pun belum, tapi tiba-tiba kantuk datang menyerang, dengan ponsel masih di tangan akhirnya aku tertidur, lelap.
ADVERTISEMENT
***
“Meooong, meeooong..”
Leon berteriak keras, dia duduk persis di depan pintu kamar yang masih dalam keadaan terbuka, membuat aku jadi terjaga.
Tapi, Leon gak menghadap ke kamar, dia malah duduk menghadap ke arah tangga, sambil seperti memperhatikan sesuatu dan terus mengeong.
Aku bertanya-tanya, apa yang sedang Leon tatap? Ada apa di tangga?
“Leon, ada apa?” Aku coba memanggilnya.
Mendengar suaraku, Leon menoleh ke arahku dan langsung berlari pelan menghampiri, lalu lompat duduk di pangkuan.
Wajahnya kelihatan panik, ada kegusaran.
“Udah, jangan takut.” Aku bilang begitu sambil mengelus kepalanya.
Setelah itu, Leon berangsur tenang.
Ah, lapar, karena ketiduran tadi aku jadi belum sempat makan malam. Sudah jam 12 lewat tengah malam, aku kemudian melangkah menuju meja makan.
ADVERTISEMENT
Nasi bungkus masih terikat rapih di atas piring, aku membukanya lalu mulai makan.
Leon masih setia menemani dengan terus berada di dekatku. Tapi masih ada yang aneh, dia memperhatikan dengan seksama ke arah tangga, seperti ada yang sangat menarik perhatiannya. Kepalanya menoleh bolak-balik ke arahku dan ke tangga, terus begitu.
Aku terus lanjut menghabiskan makanan sambil memperhatikan tingkah aneh Leon.
Aku tahu, ada sesuatu yang membuat Leon seperti itu, sesuatu yang mungkin hanya dia yang bisa melihatnya.
Tapi aku berusaha untuk mengabaikan, walau merinding sudah sesekali timbul, tentu saja rasa takut mulai hinggap di kepala.
“Duk.., duk, duk.”
Tiba-tiba kedengaran bunyi itu lagi, dari lantai atas. Sama seperti kemarin, suaranya seperti langkah kaki yang sedang berjalan.
ADVERTISEMENT
Aku langsung buru-buru menyelesaikan makan, lalu meninggalkan meja makan yang letaknya persis di depan tangga. Setelah itu, aku menyalakan televisi, berharap pikiran bisa teralihkan, menghilangkan kekhawatiran.
Ketika aku sudah duduk di sofa ruang tengah depan tv, ternyata Leon masih di tempatnya, duduk dekat meja makan, menghadap dan terus memperhatikan tangga, telinganya bergerak-gerak seperti sedang menangkap suara. Sementara itu suara “duk, duk, duk” masih saja sesekali terdengar.
Aku terlihat seperti gak takut, seperti pemberani, padahal gak seperti itu. Aku juga penakut, sangat penakut malah, gak berani kalau harus bemar-benar menghadapi atau melihat “mereka”.
Tapi, berusaha sebisa mungkin ketakutan itu gak menggoyahkan iman, gak menghalangi beribadah, aku sangat berusaha seperti itu.
ADVERTISEMENT
Makanya, walau sudah ada tanda-tanda keseraman, aku tetap teguh akan melaksanakan sholat malam ketika jam dinding sudah menunjukkan waktu di pukul satu.
Ada getar dalam dada ketika harus melangkahkan kaki menuju kamar mandi di belakang untuk berwudhu, karena dalam perjalanannya aku harus lewat depan tangga, tangga yang sepertinya semakin lama semakin menyeramkan.
Leon masih di tempatnya, duduk di depan tangga, memperhatikan jalur tangga yang berbelok ke kiri.
Oh iya, sejak sore tadi, aku sengaja menyalakan semua lampu lantai atas, jadinya terang benderang sampai ke tangga.
Setelah selesai berwudhu, aku lalu berjalan lagi kembali menuju ruang tengah. Dalam perjalanan inilah ada sesuatu yang menarik perhatian.
Ketika sudah berada persis di depan tangga, aku melihat Leon masih saja duduk di tempat semula, masih terus memperhatikan tangga.
ADVERTISEMENT
Melihat kelakuan Leon inilah akhirnya membuat rasa penasaran memuncak, aku kemudian ikut menoleh dan memperhatikan ke arah tangga, coba cari tahu apa yang sedang diperhatikan oleh kucing lucu ini.
Awalnya, aku sama sekali gak melihat ada keanehan, tangga tentu saja dalam keadaan kosong, gak ada apa-apa, gak ada siapa-siapa.
Tapi, setelah aku perhatikan lebih seksama lagi, ternyata ada yang sesuatu..
Tangga ke lantai atas ini berbelok ke kiri, jadi kalau melihat dari bawah kita gak bisa melihat langsung ke lantai atas, hanya bisa melihat dinding di ujung tangga sebelum kemudian berbelok. Paham kan ya?
Nah, ketika memperhatikan tangga dengan seksama, ternyata aku melihat ada bayangan di tangga, bayangan itu menjadi cukup jelas karena lampu lantai atas yang menyala terang.
ADVERTISEMENT
Aku melihat bayangan berbentuk orang, yang sepertinya si empunya sedang berdiri di ujung tangga paling atas, aku gak bisa melihatnya, karena ya tadi itu, tangga berbelok ke kiri.
Siapa itu yang sedang berdiri di atas?
Penasaran, khawatirnya itu benar-benar orang yang berniat jahat, makanya aku memberanikan diri untuk memaksa kaki melangkah menaiki tangga.
Perlahan aku melangkah, satu demi satu anak tangga, sementara bayangan itu masih saja terlihat jelas.
Ketika sudah tinggal satu anak tangga lagi, aku langsung menoleh ke arah kiri, ke tangga atas.
Deg!
Ternyata gak ada siapa-siapa, aku gak melihat ada apa-apa di atas tangga, bayangannya juga sudah menghilang, gak terlihat lagi.
Beberapa detik kemudian, tiba-tiba aku merinding, angin dingin entah dari mana berhembus pelan menerpa wajah dan tubuh.
ADVERTISEMENT
Selesai? Belum, berikutnya aku mendengar ada suara “duk, duk, duk” lagi, padahal aku gak melihat ada siapa-siapa.
Melihat itu semua, aku mengurungkan niat untuk lanjut ke lantai atas, lalu buru-buru kembali turun.
Leon gimana? Dia masih tetap di tempatnya, duduk diam di depan tangga.
Di samping ujung depan ruang tengah, aku menggelar sejadah. Posisi sholatku menghadap lemari kayu besar yang bagian depannya berbahan kaca tebal.
Mencoba untuk khusyuk, berkonsentrasi, aku kemudian memulai sholat malam..
Ibadah pada tengah malam seperti ini sudah sering aku lakukan, bukan yang pertama kali, tapi kali ini rasanya sangat berbeda, bathinku pontang panting menahan kegelisahan, mencoba untuk teguh khusyuk, perasaan takut menyeruak seperti terus berusaha mengambil alih pikiran.
ADVERTISEMENT
Cobaan yang kasat mata bertubi-tubi menggoyahkan iman, tapi aku gak menyerah, terus berusaha meneggakkan sholat, beribadah dengan konsentrasi penuh.
Cobaan semakin menjadi-jadi, ketika pada raka’at kedua aku merasa akan kehadiran sesuatu..
Dari pantulan kaca lemari, walau gak secara langsung, aku melihat ada sosok yang sedang berdiri diam di depan tangga, tangga yang posisinya berada di belakangku.
Sosok ini, walau masih belum jelas, tapi aku melihatnya bentuknya sebagai seorang laki-laki, dia berdiri diam menghadapku..
Melihat itu, tentu saja ketakutan semakin menyeruak, tapi aku gak menyerah,tetap berusaha untuk terus sholat dengan khusyuk.
Ketika sudah dalam posisi berdiri setelah Ruku’, entah kenapa aku malah reflek melihat lemari, sialnya karena itulah aku akhirnya bisa melihat secara langsung dari pantulan kaca, walapun gak begitu jelas.
ADVERTISEMENT
Sosok itu benar laki-laki, sekilas seperti kakek-kakek bertubuh kurus, dia bergerak berjalan gontai menuju tempatku.
Seram? Iya..
Tapi aku terus melanjutkan sholat, berusaha untuk terus khusyuk.
Selebihnya, aku gak lagi melihat ke depan ke arah lemari, lebih banyak menunduk sambil terus membaca bacaan sholat.
Singkatnya, akhirnya sholatku selesai juga.
Setelah itu selesai? Belum..
Dari awal, aku sudah berniat untuk langsung lanjut mengaji setelah selesai sholat malam, alqur’an sudah aku siapkan sejak tadi.
Dalam hening malam aku mulai mengaji.
Pada prosesnya, sosok seram itu masih aku rasakan kehadirannya.
Suara “Duk, duk, duk” yang beberapa kali aku dengar di lantai atas, kali ini terdengar seperti ada persis di belakangku, kadang di samping kanan atau kiri.
ADVERTISEMENT
Walau melihat secara gak langsung, aku merasa kalau sosok seram berwujud seperti kakek-kakek itu kadang seperti sedang berdiri dekat di belakangku, kadang di samping, gerakan perpindahannya aku rasakan, dia seperti terus memperhatikan aku yang sedang mengaji.
Tapi di titik ini, rasa takutku berangsung hilang, aku merasa seperti diberi kekuatan oleh-Nya, aku jadi lebih khusyuk mengaji, lantunan ayat suci menggema pada seisi rumah.
Aku menang, sanggup mengalahkan godaan yang menggoyah iman.
Hingga akhirnya, gak terasa sudah masuk ke pukul setengah tiga. Dari kejauhan, mulai terdengar teriakan anak-anak kecil membangunkan warga untuk sahur, lengkap dengan tetabuhan sebagai pengiring.
Aku menyelesaikan mengaji, lalu bersiap untuk makan sahur.
Ketika memperhatikan seisi ruang tengah, aku melihat Leon sudah terkulai tidur di atas kursi, nyenyak.
ADVERTISEMENT
***
Hai, Balik ke gw lagi ya, Brii.
Memasuki bulan Ramadan ini, mari berdoa semoga kita dapat merengkuh banyak keberkahan, mendapat Ridho serta ampunannya, aamiin.
Sampai jumpa minggu depan dengan cerita lainnya.
Selamat berpuasa.
Salam,
~Brii~