Rumah Teteh Chapter. 1

BriiStory
Jangan baca sendirian..
Konten dari Pengguna
31 Mei 2020 16:33 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BriiStory tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Karena Hantu, Rumah Tak Laku. Foto: Dok. kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Karena Hantu, Rumah Tak Laku. Foto: Dok. kumparan
ADVERTISEMENT
SATU
Brii, Brii..”
Suara panggilan nama disertai dengan ketukan pintu membangunkan aku dari tidur siang.
ADVERTISEMENT
“Masih jam empat, kan janjinya juga setelah maghrib..” Gumamku dalam hati.
Hari itu memang aku berjanji dengan Nando untuk melihat rumah yang akan kami tempati sebagai tempat kost yang baru, rumah yang letaknya di daerah Cikutra Barat, Bandung.
Selama tahun-tahun terakhir masa kuliah, aku berteman akrab dengan empat orang kawan, semuanya laki-laki, namanya Asep, Nando, Doni, dan Irwan. Mereka berasal dari luar pulau Jawa, kecuali Asep.
Aku adalah Brii, lahir dan besar di Cilegon, Banten. Kota kecil yang letaknya ada di ujung Barat pulau Jawa. Keluargaku termasuk keluarga yang berkecukupan, walaupun tidak terlalu kaya. Aku hanya memiliki satu kakak perempuan, hanya dua bersaudara.
Karena aku anak lelaki satu-satunya, Bapak dan Ibu sebenarnya cukup berat ketika aku memutuskan untuk berkuliah di Bandung. Banyak wejangan yang mereka berikan untuk bekalku ketika sudah menjalani hidup sendiri. Apalagi Bapak, beliau banyak memberikan “Kalimat-kalimat mutiara” yang aku ingat sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
“Orang lain boleh berbuat jahat terhadap kita, tapi kita jangan pernah berbuat jahat terhadap orang lain”,
“Jadi laki-laki itu harus berani menghadapi apapun, tapi kalau memang terpaksa harus lari, larilah yang kencang.”
Itu adalah dua dari banyak nasehat yang Bapak berikan, dan masih aku pegang sampai sekarang.
Satu contoh lagi, pada saat aku untuk pertama kalinya akan berangkat ke Bandung. Bapak mengantarku menggunakan mobil sampai di perhentian Bis. Di dalam mobil, sambil menunjukkan posisi tangan miring, Bapak bilang begini:
“Bandung itu seperti ini Brii, sangat mudah untuk menjadi hitam atau putih, kalo kamu mau jadi orang baik ya mudah saja, kalau mau menjadi orang gak baik ya mudah juga. Semua tergantung diri sendiri, mau menjadi apa, seperti membalikkan telapak tangan. Intinya, harus hati-hati dalam melangkah, pikirkan matang-matang apa yang akan kamu lakukan, pikirkan akibatnya. Jaga kehormatan dan nama baik keluarga.”
ADVERTISEMENT
Kira-kira seperti itulah wejangan Bapak.
Aku merasakan suaranya agak gemetar, Bapak berusaha untuk terlihat tegar di depanku. Aku yakin, beliau sangat berat melepas aku ke Bandung. Tapi mau bagaimana lagi, memang aku sangat menginginkannya.
Begitulah, walaupun aku lebih dekat dengan Ibu, namun aku dan Bapak punya “kedekatan” di sisi yg lain.
***
Singkat kata, akhirnya dimulailah kehidupanku di Bandung,
Oh iya, Alhamdulillah aku diterima di perguruan tinggi negeri yg waktu itu kampusnya masih berada di jalan Dipati Ukur.
Sebelum masa kuliah, aku hanya beberapa kali menginjakkan kaki di kota Bandung. Jadi dimasa awal kuliah aku masih harus berjuang keras beradaptasi dengan lingkungannya. Mencari pertemanan yang baik salah satu perjuangan yang cukup berat.
ADVERTISEMENT
Di Bandung aku dititipkan kepada saudara ipar dari pihak Ibu, yang kebetulan memiliki beberapa kamar kost.
Kost aku yg pertama ini letaknya di Jalan Ciumbuleuit, persis di depan kampus Univ. Parahyangan. Kedepannya, hampir selama empat tahun aku tinggal di tempat itu.
Bandung, sekitar tahun 2004 masih sangat dingin udaranya. Aku ingat, waktu itu ketika harus berangkat kuliah berjalan kaki dari Ciumbuleuit ke Dipati Ukur, kabut masih cukup tebal menghiasi perjalanan. Cukup jarang aku mandi pagi, karena setiap subuh permukaan air bak mandi menjadi lempengan es karena begitu dinginnya.
Suasana kotanya juga aku suka, masih banyaknya bangunan-bangunan tua dengan arsitektur Belanda, suasana klasiknya masih sangat kental. Awal-awal kuliah aku banyak menghabiskan waktu untuk eksplorasi, setiap sudut kota aku kunjungi, dengan menggunakan angkutan umum atau pun hanya berjalan kaki.
ADVERTISEMENT
Dan bersyukurnya juga, pada akhirnya selama tinggal di Bandung aku mendapatkan teman yg baik-baik semua, tidak ada yang aneh-aneh. Mereka cukup banyak membantuku dalam hal adaptasi dengan lingkungan maupun menyangkut hal perkuliahan.
Iya, aku sangat menyukai segala hal tentang kota ini.
***
Empat teman yang aku sebutkan di awal tadi adalah teman-teman yang berawal dari pertemananku dengan Asep dan Irwan. Aku satu kampus dengan mereka berdua, sementara Nando dan Doni berbeda kampus, Asep yang memperkenalkan kami.
Empat teman inilah yang menurutku seiring sejalan, kami merasa cocok dalam banyak hal.
Seiring berjalannya waktu dan ketika kami semakin akrab, muncullah ide agar kami tinggal pada satu tempat kost. Menurut kami, akan lebih menyenangkan apabila bisa tinggal dalam satu rumah.
ADVERTISEMENT
Maka muncullah ide untuk mencari rumah yang dapat menampung kami semua, dan dapat tinggal bersama di rumah itu nantinya.
Melanjutkan ide itu, Kebetulan ada seorang teman kampus, Rudi namanya, dia mengatakan kalau ada rumah yang letaknya persis di depan rumahnya yang akan di sewakan per-kamar.
Menurut Rudi lagi, rumahnya cukup besar.
Rumah ini kosong cukup lama, sehingga sedikit tidak terawat.
Hingga pada akhirnya rumah tersebut dibeli oleh satu keluarga yang berasal dari Sumatera.
Niat awal mereka membeli rumah besar ini adalah untuk memberikan tempat tinggal kepada dua anak perempuan mereka yang berkuliah di Bandung. Tapi dengan kondisi rumah yang cukup besar, maka mereka memutuskan untuk menjadikan kamar yang tak terpakai untuk disewakan menjadi kamar kost.
ADVERTISEMENT
Setelah membelinya, mereka lantas langsung memperbaiki rumah tersebut, tanpa merubah struktur bangunan aslinya.
Tentu saja kami tertarik, karena menurut Rudi rumah itu memiliki kamar yang cukup banyak, selain itu juga letaknya cukup dekat dengan kampus, tidak terlalu jauh dengan keramaian kota.
Hingga akhirnya, Aku dan Nando mewakili teman yang lainnya memutuskan untuk melihat rumah itu secara langsung terlebih dahulu.
***
Dengan langkah agak malas aku membuka pintu, benar saja, ternyata Nando yang berada di balik pintu dengan senyum khasnya.
“Baru jam empat ini Ndo, semangat amat sih lo..” ucapku saat itu.
“Sekalian aku keluar Brii, hehe” Jawab Nando.
Selepas isya kami pun berangkat, menuju daerah yang bernama Cikutra Barat, tidak jauh dari taman makam pahlawan. Perjalanan hanya memakan waktu sekitar 30 menit dari Ciumbuleuit, tidak terlalu jauh memang.
ADVERTISEMENT
Setengah jam kemudian, kami sampai di tujuan.
Rumah besar dengan halaman yang luas, cukup untuk tiga mobil. Rumahnya sudah terlihat rapih dan bersih, karena mungkin yang menurut Rudi bilang, rumah ini baru saja diperbaiki oleh pemilik barunya.
Setelah memarkirkan mobil, kami turun dan langsung menuju pintu utama.
Nando mengetuk pintu, tidak lama kemudian muncul seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik. Sebelumnya Rudi sudah memberitahukan kepada pemilik rumah kalau kami akan datang berkunjung.
Brii ya? Saya Lusi, panggil saja Tante Lusi..” itulah ucapan pertama yang keluar dari mulut sang pemilik rumah, mulai saat itu kami memanggilnya Tante Lusi.
Setelah memperkenalkan diri, kami dipersilahkan untuk masuk.
Perempuan paruh baya yang ramah dengan penampilan yang cukup modis. Perawakan tinggi proporsional berkulit putih dan berambut panjang, ditambah senyuman yang tidak pernah lepas dari wajahnya.
ADVERTISEMENT
Kami berjalan menuju ruang tengah, dimana ada sofa kulit panjang dengan meja dihadapannya, kami bertiga duduk di situ.
Tante Lusi langsung membuka percakapan dengan menceritakan asal muasal beliau dan suami memutuskan untuk membeli rumah itu. Tidak lupa juga menceritakan tentang dua anak perempuannya yang sedang berkuliah di Bandung. Kedua anak perempuan yang bernama Sisi dan Memi, Sisi lebih tua satu tahun dari Memi.
Sofa tempat kami duduk itu berhadapan langsung dengan tangga yang menuju lantai atas. Lorong tangganya terlihat gelap, entah dibiarkan lampunya mati atau memang begitu adanya, aku tidak tahu.
Cukup lama kami berbincang di ruang tengah, sampai ketika Tante Lusi mengajak kami untuk melihat-lihat ke bagian belakang, yang akhirnya hanya Nando yang mengikuti Tante Lusi ke belakang, sementara aku memisahkan diri untuk melihat-lihat bagian rumah yang lain.
ADVERTISEMENT
Ada lima kamar yang berada di lantai dasar, dua kamar di lantai atas.
Tapi ada satu kamar lagi di bagian belakang rumah, kamar belakang ini bersebelahan dengan kamar kecil yang nantinya kami fungsikan sebagai gudang. Kamar yang paling belakang ini nantinya akan ditempati oleh Nando.
Ruang tengah memanjang ke belakang, menyambung jadi satu dengan meja makan berbahan kaca tebal yang bundar, cukup besar mejanya, dengan empat kursi mengelilingi.
Nah, di sebelah kiri meja makan ini ada dapur, yang berisi kulkas, kompor, dan sebagainya, ada tempat mencuci piringnya juga. Dapur yang cukup bersih dan nyaman.
Walau pun tidak dekat, tapi dari posisi dapur aku bisa melihat ke ruang tengah.
Nah, ketika sedang memperhatikan dapur dan meja makan, tiba-tiba aku melihat ada perempuan yang keluar dari kamar yang letaknya paling depan, perempuan itu berjalan menuju tangga ke lantai atas. Walau hanya beberapa detik dan tidak sempat beradu pandang, tapi dengan jelas aku dapat melihat perawakan perempuan ini.
ADVERTISEMENT
Dia berambut panjang dan tubuh cukup tinggi untuk ukuran perempuan, mengenakan daster sebatas lutut dengan motif bunga.
“Oh, jadi itu anak perempuan Tante Lusi, cantik juga..” Ucapku dalam hati.
Kamar paling depan yang baru saja aku lihat ada perempuan keluar dari dalamnya itu, nantinya yang akan menjadi kamarku dalam dua tahun ke depannya.
Tidak lama kemudian, Tante Lusi dan Nando muncul, kami pun kembali berbincang di ruang tengah.
Aku tidak sempat menanyakan mengenai perempuan yang baru saja aku lihat sekilas, karena Tante Lusi terus saja berbicara menceritakan mengenai rumah itu dan hal-hal lainnya.
Tapi tiba-tiba, pandanganku teralihkan oleh sesuatu yang ada di halaman belakang.
Dari sela-sela jendela ruang makan yang terhubung langsung dengan halaman belakang, aku melihat ada perempuan yang seang berdiri di dalam gelap.
ADVERTISEMENT
Awalnya aku sedikit memicingkan mata untuk memastikan kalau itu benar-benar sosok perempuan, dan ternyata benar, itu adalah perempuan yang sama dengan perempuan yang aku lihat tadi berjalan keluar dari kamar dan menuju lantai atas. Aku ingat dengan perawakan dan rambut panjangnya, dengan menggunakan baju yang sama pula.
Kok bisa perempuan itu tiba-tiba sudah ada di halaman belakang?, itu pertanyaan yang muncul di benakku pada saat itu. Aku langsung berpikir, mungkin ada tangga yang menghubungkan lantai atas dengan halaman belakang di lantai bawah.
Dan sekali lagi, sebelum aku sempat menanyakan tentang perempuan itu, Tante Lusi kembali berbicara mengenai hal-hal lain.
Tante Lusi ini tipikal orang yang senang berbincang, cukup menyenangkan. Kami bilang kepadanya bahwa kami terdiri dari lima orang, yang semuanya akan menempati rumah ini nantinya.
ADVERTISEMENT
Kami hanya berlima, sedangkan di lantai bawah ada enam kamar, maka dari itulah Tante Lusi mempersilahkan untuk mencari orang lain untuk menempati satu kamar tersisa. Dia hanya berpesan, apabila nantinya kami jadi menempati rumah itu, beliau mohon untuk menjaganya dengan baik, hindari perilaku negative, kami mangangguk setuju..
Setelah dirasa cukup berbincang panjang lebar -dan yang paling penting adalah harga yang ditawarkan tante Lusi cukup bagus- maka mewakili teman-teman yang lain, kami bilang bahwa kami setuju untuk kost di rumah itu.
Tante Lusi terlihat cukup senang mendengarnya, karena dia bilang kalau Rudi dan keluarga memberikan rekomendasi yang cukup bagus tentang kami. Dan di akhir perbincangan beliau mempersilahkan untuk pindah ke rumah itu secepatnya.
ADVERTISEMENT
Sekitar jam Sembilan malam, aku dan Nando memutuskan untuk pamit pulang.
Kami pun berjalan keluar menuju mobil,
Ketika sudah duduk di belakang kemudi, sekali lagi aku melihat sesuatu.
Ada perempuan yang sedang berdiri di balkon lantai atas. Perempuan itu persis dengan perempuan yang aku lihat di dalam rumah tadi. Tetapi kali ini wajahnya sedikit terlihat, memandang ke arah mobil. Karena lampu balkon tidak terlalu terang, aku jadi tidak terlalu jelas melihat wajahnya. Tapi aku yakin, itu adalah perempuan yang sama.
Dalam perjalanan pulang Aku dan Nando berbincang mengenai rumah itu, Nando cukup senang setelah melihat keadaannya, begitu juga aku.
Sampailah kami mulai membahas mengenai dua anak perempuan tante Lusi.
ADVERTISEMENT
Ndo, anaknya Tante Lusi cantik juga ya, kayak model, hehe” Aku membuka perbincangan.
“Emangnya lo lihat anaknya Tante Lusi dimana Brii..?” jawab Nando dengan tanya.
Kemudian aku menceritakan kalau tadi di rumah itu beberapa kali melihat perempuan, yang aku pikir itu adalah salah satu anak dari Tante Lusi.
Jawaban Nando berikutnya membuatku terkejut,
Brii, tadi Tante Lusi di rumah sendirian. Suaminya menunggu di hotel. Beliau sengaja datang ke rumah itu hanya untuk menemui kita, setelah kita pergi dia kembali lagi ke hotel. Dia juga tadi bilang, kalau kedua anaknya masih berada di rumahnya, di Sumatera”.
Aku kaget mendengarnya, lantas perempuan yang aku lihat tadi siapa?
***