Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
1 Ramadhan 1446 HSabtu, 01 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Pendidikan di Indonesia Makin Baik atau Makin Buruk?
28 Februari 2025 22:11 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Brilian Amridin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini pendidikan di Indonesia menjadi sorotan publik. Pasalnya warganet dibuat heran dengan munculnya berbagai video eksperimen sosial yang menunjukkan jawaban ‘kurang memuaskan’ dari siswa-siswi Indonesia saat ditanya pertanyaan mengenai pengetahuan umum oleh seorang vlogger. Padahal menurut warganet, pertanyaan yang diajukan sangat mudah untuk dijawab. Hal ini menjadi pertanyaan di benak kita bersama, apa yang salah?
ADVERTISEMENT
Pendidikan seharusnya menjadi bekal utama bagi seseorang untuk menjalani kehidupan mereka secara mandiri. Tidak hanya itu, pendidikan juga penting untuk bersosialisasi. Seiring meningkatnya pendidikan dan pengetahuan seseorang, diharapkan kelak mereka akan menemukan kemudahan dalam mencari pekerjaan, berinteraksi dengan orang lain, dan memiliki pola pikir yang baik dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Maka sudah selayaknya negara sebagai wadah dari bangsanya memiliki cita-cita yang tinggi untuk memajukan pendidikan bangsanya. Para pendiri negara kita, menuangkan misi tersebut dalam sebuah frasa “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang tersurat dalam pembukaan UUD 1945. Misi ini akan menjadi misi seumur hidup selama bendera merah putih masih berkibar. Lantas tugas kita yang masih peduli pada misi tersebut adalah mengawasi sejauh mana misi tersebut tercapai.
ADVERTISEMENT
Menilai Pendidikan dari Data RLS
Pemerintah, melalui kebijakan-kebijakan yang telah disusun, terus mengupayakan tersedianya akses pendidikan untuk semua kalangan. Hal ini tergambar dari data jepretan Badan Pusat Statistik (BPS) yang disebut rata-rata lama sekolah (RLS). Dari tahun 2022 ke tahun 2024 RLS meningkat tiap tahunnya.
Di tahun 2022, nilai RLS-nya adalah 8,69 kemudian meningkat menjadi 8,77 di tahun 2023, dan kembali meningkat menjadi 8,85 di tahun 2024. Angka RLS 8,85 di tahun 2024 bermakna bahwa secara keseluruhan penduduk usia 25 tahun keatas di Indonesia rata-rata mengenyam pendidikan formal selama 8,85 tahun atau setara dengan kelas 2 SMP. Angka ini masih mencakup penduduk yang yang tidak mendapatkan fasilitas biaya pendidikan gratis. Sehingga harapan kita bersama, penduduk yang saat ini masih bersekolah dapat menyelesaikan pendidikan formal minimal setaraf SMA/sederajat.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari data putus sekolah dari Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di tahun ajaran 2023/2024 angka putus sekolah untuk SD - SMA dibawah 0,20 persen sedangkan untuk SMK adalah 0,28 persen. Meski terlihat kecil namun keberadaan anak yang putus sekolah tidak dapat diabaikan. Perlu pendekatan lebih lanjut untuk mengetahui alasan siswa tersebut berhenti bersekolah. Secara umum, kedua data ini menunjukkan adanya keseriusan pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Berseberangan dengan data tersebut, The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 mengungkap temuan-temuan yang tidak bisa tergambarkan dari data RLS. Dalam asesmen tersebut, terlihat adanya penurunan skor PISA pada bidang matematika, sains, dan kemampuan membaca dari tahun 2018 ke tahun 2022 pada siswa-siswi Indonesia. Sebagai tambahan informasi, skor PISA semakin tinggi semakin baik performa siswa dalam bidang tersebut.
Dilihat dari semua negara yang dilakukan asesmen PISA, 64 persen siswa mencapai standar kecakapan minimum dalam kemampuan membaca dan 51 persen siswa di bidang matematika pada kelas 3 SMP. Namun di Indonesia, dalam kedua bidang tersebut hanya dibawah 20 persen siswa saja yang mampu mencapai standar kecakapan minimal. Ini cukup menarik untuk dibahas karena secara fasilitas pendidikan (dilihat dari nilai RLS) makin tahun makin mengalami peningkatan kualitas. Akan tetapi, secara kualitas pemahaman siswa justru ada penurunan.
ADVERTISEMENT
Untuk itu perlu disusun kebijakan-kebijakan yang mendukung ekosistem pendidikan agar memiliki atmosfer yang positif. Karena dari hasil asesmen tersebut ternyata ditemukan bahwa ada lebih dari 10 persen siswa yang pernah mengalami perundungan. Tidak hanya itu, ada sekitar 15 persen siswa merasa sendirian ketika berada di sekolah.
Selain kebijakan yang diterapkan di sekolah, diperlukan pula dukungan orang tua di rumah. Pasalnya dari asesmen tersebut didapatkan data bahwa lebih dari 25 persen siswa terdistraksi oleh gawai selama pelajaran matematika. Untuk itu, selain disusun kebijakan di sekolah, para orang tua di rumah juga perlu mempedulikan anak-anaknya seperti mengajak bercerita tentang apa yang terjadi di sekolah. Harapannya anak menjadi nyaman dengan orang tua dan dapat mengungkapkan apabila ada hal yang mengganggu penyerapan pemahaman saat belajar di sekolah.
ADVERTISEMENT