Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Eksploitasi Tersembunyi di Balik Revolusi Digital
6 Januari 2022 19:49 WIB
Tulisan dari Brilliant Dimas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tiga kalimat di atas sering sekali kita temui dalam lingkungan dan masyarakat yang kapitalis, seperti apa yang hadir di negara ini. Dalam usaha agar bisa sukses di usia muda, kita sering sekali lupa dengan sudut pandang dari manusia itu sendiri dan bahwa kita sedang dieksploitasi.
Kita diturunkan dari para pejuang pembela negara yang bekerja keras berusaha meraih kemerdekaan dari penjajah yang telah mengeksploitasi tanah dan jiwa nusantara. Sama seperti cerita para pejuang, rasanya ada kisah romantis atau bahkan heroik dari sebuah usaha yang penuh jerih payah hingga orang-orang di sekitar kita merasa bahwa kita gila kerja. Tapi apa salahnya, bukan? Toh nanti pada akhirnya akan ada sebuah hadiah, sebuah harta karun, sebuah ganjaran dari semua darah, keringat, dan jerih payah yang telah dilakukan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia, terutama mahasiswa, senang sekali mengagungkan kisah seseorang yang awalnya terpuruk, namun dengan segala usahanya kini ia bisa diatas, memiliki segalanya yang ingin kita miliki. Alumni-alumni “sukses” ramai-ramai diundang untuk menjadi seorang bintang tamu dalam acara atau proker. Himpunan dan unit kegiatan mahasiswa (UKM) berlomba-lomba menghadirkan sebuah acara yang bertujuan untuk menginspirasi para mahasiswa untuk menjadi seseorang tadi. “Wah, aku ingin menjadi seperti mereka!” ujar seorang mahasiswa dalam hatinya.
Salah satu jurus heroik level legendaris yang diinginkan oleh semua orang adalah jurus bisa segalanya. Elemen desain, elemen content writing, elemen copywriting, elemen videografi, hingga elemen programming, semua harus bisa. Hal ini dipengaruhi oleh tuntutan-tuntutan kerja modern yang menuntut karyawannya untuk bisa segalanya. Contohnya pernah ramai di berbagai sosial media, dimana lowongan kerja semakin lama semakin menuntut hal-hal yang bahkan tak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Namun cukup sejenak berguraunya. Semua ini dipengaruhi oleh adanya berbagai kemajuan di bidang teknologi. Dalam bidang media contohnya hadir format-format media baru yang semakin luas. Hal ini menyebabkan sebuah konvergensi dari berbagai media yang sudah ada.
Dampak positif dari konvergensi ini adalah semakin mudahnya mengakses media, semakin banyaknya jumlah konten yang diproduksi, meningkatnya tingkat keterlibatan publik, distribusi yang semakin cepat, dan mobilisasi politik dan sosial yang semakin tinggi, yang sangat krusial untuk negara demokrasi.
Luar biasa bukan? Indonesia dapat mengejar ketertinggalan melalui keterampilannya dalam bidang ini, dapat dibuktikan dengan hadirnya perusahaan seperti GoTo, Ruangguru, hingga berbagai media start-up.
Walaupun demikian, masih terdapat banyak dampak negatifnya. Salah satunya yang menjadi virus liar di grup WhatsApp Keluarga yaitu berita hoax. Selain itu, perubahan yang dibawa oleh revolusi digital ini meliputi masalah-masalah dan perdebatan mengenai kebijakan privasi, dan juga masih belum adanya landasan peraturan yang konkret dalam teknologi Digital. (Jamil, 2020) Dengan demikian, kondisi revolusi teknologi terbaru ini mirip dengan “Wild West”, dimana banyak sekali peluang akan tetapi masih sangat berbahaya.
ADVERTISEMENT
Dampak negatif diatas itu adalah jika kita melihatnya dari kacamata seseorang yang hanya peduli dengan gambar besarnya saja. Terkadang dalam mendiskusikan hal macam ini, kita terlalu nasionalis. Nasionalis seperti apa maksudnya? Kita terlalu mengambil sudut pandang yang lebih mengedepankan negara. Segalanya berhubungan dengan “Lalu apa jadinya nanti untuk ekonomi dan industri negara?”
Kita sering sekali lupa dengan sudut pandang dari manusia itu sendiri. Memang, semakin banyaknya keterampilan yang dimiliki, semakin berguna lah dirinya. Belajar dan berusaha menguasai semua elemen boleh saja, akan tetapi semua harus dibayar sesuai kerja kerasnya agar tidak jatuh ke dalam eksploitasi. Inilah yang menjadi masalah utama dalam lingkungan kerja modern.
Dalam praktik jurnalistik sendiri, mahasiswa jurnalistik kini harus beradaptasi dengan segala perubahan yang ada. Mahasiswa tidak lagi hanya belajar untuk membuat berita dan sekadar memuatnya di media cetak atau televisi, tetapi mereka juga diminta untuk membangun dan memperkuat kemampuan dan pemahaman media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Youtube. Semua hal ini dilakukan dalam rangka melakukan promosi agar dapat menaikkan traffic situs medianya masing-masing, observasi atau pengamatan, dan juga mendapatkan informasi untuk dimasukkan ke dalam karyanya. (Pantic & Cvetkovic, 2020) Selain itu, Mahasiswa jurnalistik juga diminta untuk bisa mengerti berbagai macam aplikasi dan bahkan bahasa pemrograman.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, dapat dikatakan beban kerja jurnalis di zaman media sosial ini kini semakin naik. Jurnalis tidak hanya memerlukan keahlian menulis berita, tetapi juga diminta untuk memiliki kehadiran dan keterampilan dalam bidang media sosial. Tidak hanya itu saja, media-media televisi besar kini mengunggah berita televisinya ke situs berbagi video online seperti YouTube untuk menambah sumber penghasilan.
Dengan adanya tambahan beban pekerjaan, semestinya para jurnalis diberikan upah yang layak. Dalam masyarakat dalam lingkungan digital ini, media menjadi sebuah sistem interpretatif yang memiliki peran krusial dalam penyerapan pengetahuan. Dunia modern dan negara demokrasi seperti Indonesia tanpa media tentu tidak akan berjalan dengan efektif.
Namun sayangnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia melalui surveinya yang dipublikasikan Maret 2021 menyebutkan bahwa 93,8% mengaku belum mendapatkan upah yang layak. (Sorongan, 2021) Pekerjaan yang dulunya bisa untuk 4 individu, yakni desainer grafis, editor video, penulis, dan spesialis komputer atau IT, kini diemban oleh satu manusia dengan upah minimum. Sungguh, sebuah contoh kapitalisme yang terbaik.
ADVERTISEMENT
Sayangnya masih sedikit orang yang sadar bahwa diri mereka sedang dieksploitasi dengan sistem baru ini. Contoh mahasiswa jurnalistik tadi juga hanya satu dari sekian banyaknya bidang yang memiliki penyakit yang sama, yakni penyakit mengejar harta, reputasi, dan ilusi kesuksesan tanpa menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi.
Jika tidak berusaha diubah, atau tidak ada sebuah gertakan, maka kedepannya akan semakin parah. Yang perlu kita lakukan tidak susah. Cukup dengan mudah bersyukur dengan apa yang kita punya, menikmati hidup yang ada, dan mencintai orang-orang di sekitar kita. Kita perlu mengubah pola pikir kita. Dari serba mencari harta, tahta, dan kuasa, menjadi mencari nilai-nilai indah dari kehidupan itu sendiri. Mengutip dari Marcus Aurelius, kaisar dan filsuf Romawi Kuno yang sudah mati sejak dua ribu tahun yang lalu:
ADVERTISEMENT
(Brilliant Purwadi)
Referensi:
Live Update