Konten dari Pengguna

Menjadi 'Mahal' Menggunakan Bahasa Asing

Brilliant Dimas
Mahasiswa Jurnalistik dari Universitas Padjadjaran
1 November 2021 8:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Brilliant Dimas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku. (Sumber: Freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku. (Sumber: Freepik.com)
ADVERTISEMENT
Sebut sebuah kutipan yang pernah saya dengar atau mungkin baca. Jika hal tersebut nyata, maka bagaimana dengan negara kita?
ADVERTISEMENT
Pemerintah mempromosikan bahwa negara kita merupakan negara yang penuh dengan budaya. Dan mengenai hal itu, kita warga Indonesia dikatakan bangga atas budayanya. Terutama saat mendekati tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Semangat nasionalisme dan bangga akan budaya negara kita sangat tinggi, bahkan netizen negara sebelah menyebut kita “Overproud”.
Tapi apakah betul kita bangga dengan budaya kita? Mari kita mulai dengan melihat apa yang di sekitar kita, atau untuk tulisan ini, sekitar saya. Saya tinggal di kota Tangerang Selatan, kota yang sekarang dianggap sebagai kota selebritis. Atau bahkan seperti yang teman saya sebut di Instagram, kota surga. Kota surga, kota penuh dengan perumahan-perumahan yang teratur secara rapi dengan berbagai macam tempat hiburan dari sana ke sini.
ADVERTISEMENT
Nama-nama perumahan sekitar tempat saya tinggal jarang sekali menggunakan bahasa Indonesia. Perumahan di sekitar saya hampir semuanya meminjam bahasa asing. Valencia, misalnya, yang merupakan kota di Spanyol. Atau Venice. Siapa yang tidak kenal Venice? Mungkin yang paling lucu bagi saya adalah perubahan sebuah perumahan yang tadinya bernama Pondok Jagung. Kini perumahan tersebut bernama Cornelia Residence. Jika anda tidak sadar, Cornelia memiliki kata “corn” di dalamnya, yang artinya adalah jagung.
Dengan demikian, apakah mungkin Pondok Kopi mengganti namanya menjadi Coffee Residence? Apakah Mangga Dua akan berubah menjadi Two Mangoes? Hal ini tentu bukan merupakan sebuah ketidakmungkinan. Melihat harga rumah yang ada di sekitar saya, harganya selangit. Banyak orang bahkan mengatakan saya tinggal di kawasan elit. Saya sendiri tentu merasakan hal yang sama. Tinggal di perumahan bernama Venice tentu lebih membanggakan dibanding tinggal di Perumahan Pondok Jagung.
ADVERTISEMENT
Sekarang mari kita masuk ke dalam tempat perbelanjaan dan mencoba makan di pujaseranya. Seperti yang sudah sering disindir oleh netizen dan juga status WhatsApp bapak-bapak, kita akan menemukan “Special Fried Rice by Monsieur Yanto” dengan harga di atas Rp50.000,00. Padahal, jika kita tinggal menyeberang dan menghampiri gerobak “Nasi Goreng Pak Yanto” di pinggir jalan, tentu harganya akan tidak akan melebihi Rp20.000,00.
Saya mengerti betul bahwa restoran-restoran di tempat perbelanjaan memiliki biaya operasional yang lebih mahal sehingga perlu menaikkan harganya. Namun poin saya adalah bahasa. Memang kelihatannya tidak memiliki efek yang besar, namun kembali lagi ke kalimat pertama yang saya tulis “Bahasa mencerminkan budayanya.”
Hal ini menyebabkan masyarakat Indonesia berpikir bahwa apa yang dari luar negeri memiliki nilai lebih tinggi dibanding suatu hal yang berasal dari dalam. Salah satu contohnya adalah nama. Tak perlu jauh-jauh, nama saya sendiri adalah Brilliant, yang merupakan kata dari bahasa Inggris yang memiliki arti “cemerlang”. Jika anda datang ke sekolah swasta di tengah kota-kota besar, jarang sekali kita menemukan nama-nama lokal.
ADVERTISEMENT
Perubahan seperti ini terasa seperti pola yang terus menerus terjadi di lingkungan sekitar, khususnya perkotaan besar. Kultur westernisasi dan pengasosiasian diri kepada hal-hal yang berbau asing memberikan kesan penggunaan bahasa Indonesia sebagai sesuatu yang “murah” atau berada di kasta yang rendah dibanding bahasa lainnya.
Sekarang saya ingin bertanya kepada anda, apa yang identik dengan bulan Oktober? Jika anda menjawab Halloween, anda sama seperti saya. Apa yang saya yang lakukan merupakan contoh buruk seorang warga negara Indonesia. Sekarang, apakah anda tahu bahwa bulan Oktober adalah bulan Bahasa dan Sastra Nasional? Jika tidak, anda sama seperti saya. Saya juga baru mengetahui hal tersebut setelah diajarkan oleh dosen saya, dosen legendaris dari Jurnalistik UNPAD, yaitu Bang Sahala.
ADVERTISEMENT
Apakah saya malu? Tentu. Namun yang lebih tepat adalah saya merasa kecil, saya merasa tidak tahu apa-apa dan merasa gagal sebagai seorang warga Indonesia. Mungkin anda yang membaca ini berpikir saya terlalu lebay atau berlebihan. Namun sebagai seorang yang sering menikmati sejarah, Bahasa adalah identitas yang akan bertahan sepanjang masa.
Bagaimana maksudnya? Camille Paglia mengatakan
Kita memiliki Romawi Kuno, Yunani Kuno, Kekaisaran Cina, dan peradaban-peradaban hebat lainnya yang kini sudah runtuh. Kita hanya mengingatnya dengan apa? Dengan tulisan-tulisan yang mereka tinggalkan. Gedung-gedung dan bangunan saja tidak dapat menjelaskan bagaimana sejarah dari masa kejayaan mereka, namun tulisan-tulisan yang tentu memiliki sebuah bahasa di dalamnya dapat melakukan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, Indonesia yang memiliki semangat untuk mempertahankan kemerdekaannya perlu melestarikan juga bahasanya. Jangan sampai dengan adanya globalisasi, sebuah masyarakat lupa akan bahasanya. Kita dapat lakukan dengan menanamkan pola pikir bahwa bahasa Indonesia itu tidak murah. Buktinya, buku karya Fiersa Besari lebih mahal dari buku komik Jepang.
Tokoh-tokoh seperti Fiersa lah yang kita perlukan. Mungkin bagi para kaum intelektual dirinya bukan apa-apa dan kalah dengan penulis-penulis luar biasa luar. Namun usaha Fiersa Besari dalam melestarikan dan menunjukkan keindahan bahasa Indonesia patut diapresiasi.
Dengan tulisan ini saya mengajak anda, para pembaca, untuk mulai mencintai dan menaikkan nilai bahasa Indonesia di mata warga Indonesia dan juga dunia. Lagi pula, Nasi Goreng pinggir jalan oleh Pak Yanto lebih enak rasanya dibanding Special Fried Rice by Monsieur Yanto. (Brilliant Purwadi)
ADVERTISEMENT