Para 'Hidden Figures' dalam Produksi Film

Brilliant Dimas
Mahasiswa Jurnalistik dari Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
30 April 2021 20:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Brilliant Dimas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salman Aristo dalam Kuliah Umum Produksi Film pada 20 April 2021 (Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Salman Aristo dalam Kuliah Umum Produksi Film pada 20 April 2021 (Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sekitar dua minggu yang lalu, saya terkesima dengan kisah tiga wanita kulit hitam yang berjasa dalam program luar angkasa Amerika Serikat pada awal tahun 1960-an. Ternyata tidak hanya saya, seorang produser film dari Hollywood bernama Theodore Melfi lebih dulu terkagum-kagum dengan tiga wanita tersebut. Kisah Katherine Johnson, Dorothy Vaughan, dan Mary Jackson ini pun diangkat olehnya menjadi film berjudul “Hidden Figures”.
ADVERTISEMENT
Judul dari “Hidden Figures” yang berarti “Tokoh Tersembunyi” ini menyiratkan kepada status mereka yang dilupakan oleh sejarah. Semasa hidupnya mereka tidak mendapatkan eksposur atau sekadar ucapan terima kasih dari banyak orang, nama mereka tidak seharum Neil Armstrong, dan tentunya mereka tidak memiliki status pahlawan di mata orang biasa.
Film “Hidden Figures” yang dirilis pada tahun 2016 ini sukses. Para kritikus sangat mencintai film ini. Film ini berhasil meraup keuntungan sebesar Rp 2 triliun dan mendapatkan 4 nominasi piala Oscars. Namun saya pun bertanya kepada diri saya sendiri, mengapa saya baru mendengarkan nama “Theodore Melfi” setelah 4 tahun film itu dirilis? Mengapa sosok-sosok seperti Mahershala Ali, Brad Pitt, dan Leonardo DiCaprio lebih terkenal dari Theodore yang menjadi otak di balik film ini? Saya pun merenung dan sadar akan suatu hal, ironisnya Theodore menjadi hidden figure di balik film ini.
ADVERTISEMENT
Arti Produser Film Menurut Salman Aristo
Beberapa hari kemudian, tepatnya pada tanggal 20 April 2021, saya menghadiri Kuliah Umum Produksi Film yang diselenggarakan oleh program studi Televisi dan Film Universitas Padjadjaran. Kuliah umum ini menghadirkan Salman Aristo, produser dari film Dua Garis Biru. Jujur, sebelum kuliah umum ini saya tidak mengenali Salman Aristo. Saya tahu apa itu film Dua Garis Biru, saya tahu jalan ceritanya, saya juga tahu dua pemeran utamanya yaitu Angga Yunanda dan Zara Adhisty, walaupun jujur saya bukan dan tidak pernah sekalipun menjadi Wota JKT48. Serius. Oleh karena itu, Salman Aristo sayangnya termasuk dalam klasifikasi hidden figure di mata saya, sama halnya dengan Theodore tadi.
Dalam kuliah umum ini Salman memberikan perspektifnya sebagai seorang produser dalam industri perfilman. Sama seperti apa yang saya lakukan tadi kepada diri Salman sendiri, banyak yang tidak mengerti bahwa Produser sebenarnya lebih penting dari apa yang biasa kita pikirkan. Salman yang merupakan seorang Gunners (pendukung tim sepakbola Arsenal) lalu menganalogikan produser dengan Arsene Wenger dan sutradara dengan kapten yang berada di lapangan.
ADVERTISEMENT
Sepertinya Salman masih belum bisa move on dari abah Wenger. Jika anda tidak tahu siapa Arsene Wenger, ia adalah seorang pelatih berkebangsaan Prancis yang menjabat sebagai manajer Arsenal dari tahun 1996 hingga 2018. Dengan taktik revolusionernya, ia pun berhasil membawakan Arsenal tidak kalah sekalipun pada Liga Inggris musim 2003-2004. Namun siapa yang lebih diingat? Tentu Thierry Henry yang mencetak 30 gol pada musim tersebut. Sama seperti Arsene Wenger, Salman sebagai produser yang memiliki visi dan mengatur semuanya, namun kapten dan sutradara lah yang mengeksekusi di lapangannya.
“Mira Lesmana sering secara bercanda mengingatkan gua film bagus itu punya sutradara, film jelek punya produser” ujarnya.
Ilustrasi Industri Film Foto: Indra Fauzi/kumparan
Apa maksudnya? Mudahnya produser punya kekuatan yang paling besar dalam pembuatan sebuah film. Semakin buruk filmnya, semakin besar dosa sang produser. Dosa-dosa ini didapatkan dari hal-hal yang makruh untuk dilakukan oleh seorang produser. “Kok skenario kayak gitu di-produce? Kok akting kayak begitu di-approve? Kok editing seperti itu ditayangkan?” tuturnya. Menurutnya, walau terkadang memang bisa terjadi kaptennya yang payah atau bahkan terpeleset seperti Steven Gerrard, namun tentu yang bertanggung jawab adalah sang manajer.
ADVERTISEMENT
Penulis Skenario yang Tak Dirindukan
Dalam membuat sebuah film, yang pertama dilakukan oleh produser adalah membuat skenario. Menurut Salman Aristo, para Christopher Columbus atau perambah hutan dalam pembuatan film adalah produser, sutradara, dan penulis skenario. Kata-katanya membuat saya tersadar kembali, adakah penulis skenario yang saya kenal? Jawabannya adalah tidak.
Para penulis skenario ini adalah contoh selanjutnya dari para hidden figures dalam produksi film. Tanpa sebuah cerita, tentu tidak ada film. Tanpa penulis skenario, tentu tidak ada tahap shooting. Semua dialog dan bagaimana suatu adegan berjalan berasal dari hasil tulisan sang penulis skenario. Sayangnya, mereka kurang diselebrasi dan tidak mendapatkan eksposur dari media dibanding dengan para pemain film, sutradara, dan bahkan dibanding produser itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Penutup
Setelah mendengar penjelasan dari produser filmnya sendiri, tentu saya merasa bersalah dalam kurang mengapresiasi para tokoh berjasa di balik industri perfilman. Kita terlalu terpaku dengan apa yang ada di layar, dan melupakan mereka yang berjasa di belakangnya.
Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya memperingatkan anda untuk berterima kasih dan mengapresiasi dengan menonton film Indonesia di bioskop, bukan bajakan. Jangan sampai para anak bangsa yang kreatif ini menjadi hidden figures di negaranya sendiri. Kalau sukses jangan lupa Tuhan, guru, dan orang tua. Kalau menikmati film jangan lupa produser dan penulis skenarionya.