Konten dari Pengguna

Menakar Nalar Batas Pendidikan dan Usia dalam Persyaratan Calon Kepala Daerah

Zulferinanda
Pegawai Kementerian Keuangan
3 Oktober 2024 9:05 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zulferinanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kunci jadi pemimpin. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kunci jadi pemimpin. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jika mencermati persyaratan untuk menjadi calon Kepala Daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pilkada, setidaknya terdapat 2 (dua) hal yang paling sering menjadi sorotan bahkan sampai menjadi gugatan di Mahkamah Konstitusi yaitu perihal batas pendidikan paling rendah dan batas usia paling rendah.
ADVERTISEMENT
Dalam aturan tersebut dipaparkan secara eksplisit bahwa seorang calon Kepala Daerah harus berpendidikan paling rendah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau sederajat serta harus berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon Bupati dan
calon Wakil Bupati serta calon Wali kota dan calon Wakil Wali kota. Agar tidak menjadi polemik yang berkepanjangan, dirasa perlu untuk mengelaborasinya secara runut dan lebih mendalam sehingga publik dapat memahami apakah norma perihal batasan-batasan tersebut wajar atau tidak, bisa diterima nalar atau tidak, serta jika tidak apa solusi alternatifnya.
Mengamati situasi Indonesia saat ini, baik dari aspek ekonomi maupun politik, sepertinya kita terpaksa agak sedikit pesimis bila dalam waktu dekat Pemerintah Pusat mampu membawa Indonesia menjadi negara maju. Padahal di usia yang ke-79 tahun, semestinya Indonesia sudah bisa masuk kategori negara maju.
ADVERTISEMENT
Mengingat bahwa selain memiliki letak geografis yang sangat strategis, Indonesia juga sangat kaya akan SDA-nya. Begitu pula dengan potensi SDM-nya, kita juga tidak kekurangan orang-orang hebat untuk mengantarkan Indonesia menjadi negara maju. Dengan hitung-hitungan seluruh potensi itu, seharusnya secara ekonomi Indonesia tidak lagi kekurangan.
Justru kita sudah bisa berswasembada tanpa perlu lagi menambah utang. Namun kenyataannya, saat ini Indonesia masih begini-begini saja, kondisi masyarakat juga masih begitu-begitu saja. Kesejahteraan rakyat sebagaimana yang dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945 masih jauh panggang dari api. Banyak hal yang semestinya bisa masyarakat peroleh, namun belum bisa didapatkan. Banyak hal yang semestinya bisa masyarakat nikmati, namun belum bisa diwujudkan.
Setelah menelaah kondisi tersebut, dapat ditarik sebuah hipotesa bahwa untuk bisa membawa Indonesia menjadi negara maju dalam waktu yang relatif lebih cepat, resep yang paling manjur adalah dengan memajukan daerah-daerahnya terlebih dahulu. Dan untuk mewujudkan keberhasilan atau kesuksesan di suatu daerah, ikhtiar awal yang harus ditempuh adalah dengan memilih calon Kepala Daerah yang tepat.
ADVERTISEMENT
Memilih figur yang qualified, mumpuni, visioner serta memiliki visi, misi dan program kerja yang berorientasi pada kemajuan dan kesejahteraan daerah yang akan dipimpinnya kelak. Oleh karena itu, untuk mewujudkan itu semua, menjadi sebuah keniscayaan bahwa syarat untuk menjadi calon Kepala Daerah harus diatur dan ditetapkan secara lebih ketat dan selektif. Salah satunya dengan menetapkan batasan pendidikan paling rendah dan batasan usia paling rendah yang paling logis dan paling mendekati ideal.

Syarat Batas Pendidikan Paling Rendah

Bahwa mensyaratkan tingkat pendidikan calon Kepala Daerah paling rendah hanya sebatas SLTA atau sederajat sebagaimana yang disebutkan dalam UU Pilkada, dianggap kurang relevan lagi di era modern seperti sekarang ini. Bagaimana mungkin seorang Kepala Daerah akan mampu memajukan pendidikan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi jika yang bersangkutan hanya lulusan SLTA atau sederajat.
ADVERTISEMENT
Bagaimana mungkin yang bersangkutan bisa mendesain smart concept perihal program pengembangan SDM jika tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Bagaimana mungkin yang bersangkutan sanggup membangun kemandirian ekonomi melalui pemberdayaan UMKM dan sektor-sektor ekonomi potensial di daerahnya kelak jika tidak pernah melakukan analisis akademik seperti tugas akhir pada saat kuliah.
Bagaimana mungkin yang bersangkutan bisa menyusun strategi optimalisasi SDA sebagai Pendapatan Asli Daerah apabila tidak pernah belajar dan tidak memahami konsep metodologi. Bagaimana mungkin yang bersangkutan bisa merancang APBD yang ideal, sehingga anggaran yang ditetapkan sesuai skala prioritas dan tidak besar pasak dari pada tiang, jika hanya berbekal wawasan dan ilmu dari bangku SLTA atau sederajat saja.
Dan bagaimana mungkin seorang lulusan SLTA atau sederajat mampu memegang tongkat komando untuk menggerakkan ribuan orang pegawai di daerah, yang mayoritas isinya adalah para sarjana bahkan tidak sedikit yang sudah S2 ataupun S3.
ADVERTISEMENT
Sudahkah poin-poin di atas dijadikan variabel pertimbangan oleh para pembuat kebijakan ketika menentukan syarat batasan tingkat pendidikan paling rendah seorang calon Kepala Daerah?
Perusahaan-perusahaan swasta di luar sana saja, dalam merekrut karyawan staf biasa, yang jobdesk-nya lebih bersifat administratif, sudah sangat jarang yang mau menerima lulusan SLTA atau sederajat. Dan bagi kandidat dengan kualifikasi sarjana sekalipun, harus melewati berbagai macam ujian, tes, dan seleksi terlebih dahulu sebelum dapat menduduki posisi tersebut.
Tidak jauh berbeda dengan proses rekrutmen calon ASN Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Begitu juga dalam proses penyaringan untuk menduduki jabatan eselon di Pemerintahan yang harus melalui mekanisme dan sistem merit yang cukup ketat. Nah, apalagi untuk mencari seorang Kepala Daerah, yang notabene merupakan atasan dari ribuan pegawai di daerah.
ADVERTISEMENT
Jabatan dengan jobdesk yang jauh lebih berat dari sekadar pekerjaan administratif, tapi juga harus memiliki mindset, perspektif dan paradigma yang jauh lebih matang agar mampu menghasilkan ide-ide dan gagasan kreatif. Jabatan yang juga menuntut kemampuan leadership yang baik serta mempunyai skill komunikasi dan negosiasi yang andal agar mampu menjadi solusi dari setiap permasalahan yang ada di daerahnya.

Syarat batas usia paling rendah

Sama halnya dengan batas jenjang pendidikan paling rendah, batas usia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Wali kota dan Calon Wakil Wali kota, sebagaimana yang disebutkan dalam UU Pilkada, juga dinilai memiliki pertimbangan dan argumentasi yang lemah sehingga membuka ruang perdebatan yang tidak berkesudahan di ranah publik.
ADVERTISEMENT
Mensyaratkan batasan usia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun tersebut justru memberi kesan bahwa keberadaan Bupati atau Wali kota dalam struktur organisasi negara ini tidaklah begitu penting. Mengizinkan seseorang yang berusia 25-30 tahun untuk memimpin sebuah Kabupaten/Kota, seakan-akan mengisyaratkan bahwa eksistensi jabatan tersebut tidaklah begitu berpengaruh secara krusial.
Bahkan hal tersebut bisa menimbulkan prasangka bahwa ditentukan demikian agar kepemimpinan dan kebijakan sang Bupati atau Wali kota masih mudah disetir dan diintervensi. Melegalkan seseorang yang masih berusia 25-30 tahun untuk menjadi pemimpin suatu Kabupaten/Kota, terkesan seperti sebuah lelucon konyol. Apalagi jika yang bersangkutan di rentang usia segitu hanya lulusan SLTA atau sederajat pula, kira-kira kontribusi apa yang bisa diberikannya untuk daerah yang akan dipimpinnya kelak.
ADVERTISEMENT
Jangankan untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat daerah dengan segala problematikanya, kemampuan yang bersangkutan dalam memimpin sebuah tim besar yang bernama Pemerintahan Daerah saja masih patut diragukan. Pengalaman sebanyak apa yang bisa diaplikasikannya ketika menjadi Kepala Daerah di usia segitu. Integritas seperti apa yang bisa dijanjikannya bila yang bersangkutan masih belum pernah mengenal berbagai macam godaan dan tekanan ketika menjadi seorang pemimpin.
Apa di usia segitu yang bersangkutan sudah memiliki pemahaman tentang latar belakang penyebab meningkatnya angka kemiskinan dan kriminalitas sehingga mampu menyusun strategi untuk mengentaskannya. Apa di usia segitu yang bersangkutan mampu merangkul dan memotivasi seluruh elemen masyarakat di daerah seperti para tokoh adat, para pemuka agama termasuk para investor untuk bahu membahu membangun daerahnya. Apa di usia segitu yang bersangkutan mampu menjadi solution maker serta menjadi juru damai ketika ada konflik horizontal di daerahnya.
ADVERTISEMENT
Sudahkah poin-poin di atas dijadikan variabel pertimbangan oleh para pembuat kebijakan ketika menentukan syarat batasan usia paling rendah seorang calon Kepala Daerah, khususnya bagi Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Wali kota dan Calon Wakil Wali kota?
Bukan maksud menyepelekan kualitas anak muda, karena memang ada juga anak muda di usia segitu yang hebat dan sudah sukses. Namun biasanya hanya pada satu atau dua bidang saja, dan dengan lingkup kepemimpinannya yang relatif kecil serta dengan tantangan yang relatif kecil juga. Kondisi yang tentu sangat berbeda dengan posisi seorang Kepala Daerah yang lingkup, kompleksitas dan keberagaman tantangannya jauh lebih besar.
Jadi sesungguhnya tugas dan pekerjaan seorang Kepala Daerah sangatlah tidak mudah, butuh figur yang matang dalam berpikir dan bersikap, butuh figur yang bagus skill komunikasinya, butuh figur yang punya wawasan luas dan segudang pengalaman, butuh figur yang jam terbang dan kemampuan leadership yang mumpuni, butuh figur yang piawai mengontrol situasi apa pun yang terjadi di daerahnya. Dan semua itu agak sulit ditemukan dalam diri seseorang yang masih berusia 25-30 tahun.
ADVERTISEMENT
Tidak terlalu sulit menemukan teori atau pendapat para ahli, filsuf maupun para pesohor dunia yang menyatakan baik secara eksplisit maupun implisit bahwa di rentang usia tersebut belumlah layak untuk menjadi seorang pemimpin. Bahkan rentang usia tersebut, untuk memimpin dirinya sendiri saja terkadang masih sering kesulitan. Untuk mengontrol sikap serta ego dirinya saja terkadang masih sering kerepotan. Termasuk dalam memimpin sebuah keluarga atau rumah tangga dengan bijaksana.