Pejabat dalam Turbulensi LHKPN dan Momentum Reformasi Regulasi Perpajakan

Zulferinanda
Pegawai Kementerian Keuangan
Konten dari Pengguna
16 Maret 2023 13:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zulferinanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kota Solo, Jawa Tengah, Kamis (9/3/2023). Foto: Agus Suparto/Presidential Palace
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kota Solo, Jawa Tengah, Kamis (9/3/2023). Foto: Agus Suparto/Presidential Palace
ADVERTISEMENT
Di medio Februari 2023, ketika persidangan kasus Ferdy Sambo usai di tingkat Pengadilan Negeri, fokus masyarakat bergeser ke berita pejabat pajak yang berharta fantastis. Isu yang bermula dari kasus kriminal murni berupa penganiayaan oleh anak seorang pejabat pajak, sukses melebar sampai kepada isu ketidakwajaran nilai harta yang dilaporkan sang Bapak di LHKPN.
ADVERTISEMENT
Bahkan dalam beberapa waktu terakhir topik tersebut bergulir bak bola panas layaknya pandemi yang menginfeksi mental health para ASN di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Kondisi pun menjadi kurang kondusif sehingga mempengaruhi kinerja organisasi. Dilema pun menghantui pegawai di institusi yang selama ini telah menghimpun penerimaan negara dengan porsi lebih dari 70% di setiap tahunnya.
Memang tak dapat dipungkiri kalo ternyata masih ada ASN dan penyelenggara negara yang memiliki kekayaan yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan profilnya. Namun, jika mengadopsi azas praduga tak bersalah, anggapan ketidakwajaran tersebut tidak bisa serta merta menjadi sebuah stigma sebelum dimintakan klarifikasi dan bukti kepada yang bersangkutan.
Hal ini perlu dipertegas dan diperjelas, karena faktanya kasus harta fantastis, kasus rekening gendut, dan kasus sejenis lainnya tersebut bukan baru kali ini terjadi. Tidak hanya berasal dari pegawai pajak saja, akan tetapi juga dari ASN dan penyelenggara negara dari institusi pemerintah lainnya. Bahkan cerita tentang kekayaan pejabat yang melewati batas wajar tersebut sebenarnya sudah lama menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Mungkin inilah waktu yang tepat bagi Pemerintah untuk menyusun sebuah kebijakan strategis, sekaligus mempertegas regulasi yang sudah ada agar penerapannya dapat dilakukan dengan bijak. Karena bukannya tidak mungkin kasus seperti itu akan terulang kembali di masa-masa yang akan datang terhadap siapa pun dan dari institusi mana pun.
Pemerintah harus memperluas kewajiban pelaporan LHKPN sampai ke level staf bagi seluruh pegawai di instansi pemerintah pusat dan daerah, TNI, Polri, lembaga legislatif dan yudikatif serta ke semua karyawan BUMN/BUMD. Memberdayakan pengawas internal di masing-masing institusi secara masif untuk mengklasifikasi LHKPN yang wajar dan yang tidak wajar, kemudian mengeskalasikan ke penegak hukum atas LHKPN dengan kriteria yang tidak wajar tersebut untuk dilakukan pemeriksaan. Jika ternyata ada harta yang tidak bisa dijelaskan dan dibuktikan asal usulnya namun tidak ditemukan unsur tindak pidananya, maka atas harta tersebut dapat langsung disita oleh negara.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, dibuka juga saluran pengaduan bagi masyarakat yang mengetahui adanya harta yang tidak dilaporkan oleh wajib lapor LHKPN. Metode seperti hukum pembuktian terbalik ini diyakini akan lebih efektif dan efisien untuk diterapkan di Indonesia, namun dengan meniadakan sanksi pidananya jika hal tersebut terjadi untuk yang pertama kali agar terhindar dari intervensi dan permainan politik pihak-pihak tertentu.
Sedangkan di sektor perpajakan yang tengah menjadi sorotan masyarakat, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan seyogyanya dapat menjadikan peristiwa tersebut sebagai momentum untuk melakukan pembenahan di bidang perpajakan. Selain efisiensi dan bersih-bersih SDM yang salah satunya melalui filterisasi harta kekayaan yang tidak wajar tersebut, Pemerintah juga perlu mereformasi regulasi perpajakan yang dinilai berpotensi sebagai pemantik munculnya korupsi maupun kolusi, setidaknya terhadap beberapa hal berikut ini:
ADVERTISEMENT

Administrasi perpajakan

Sudah saatnya urusan perpajakan itu dirancang semudah dan sepraktis mungkin. Mengingat masyarakat sudah dibebani dengan kewajiban untuk membayar pajak, seharusnya beban administrasi dapat diminimalisasi, termasuk meminimalisasi atau bahkan menghapus semua jenis sanksi administrasi. Gagasan memfinalkan seluruh objek PPh bagi wajib pajak Orang Pribadi dengan tarif tunggal merupakan salah satu contoh regulasi yang dapat diterapkan dalam rangka memberikan kemudahan administratif bagi wajib pajak.
Di mana wajib pajak Orang Pribadi tidak lagi dipusingkan dengan pajak yang masih kurang bayar pada saat pelaporan SPT Tahunan, dan pihak pemberi kerja yang melakukan pemotongan pajak juga tidak direpotkan lagi dengan perhitungan-perhitungan yang pelik, serta tugas pegawai pajak dalam mengawasi wajib pajak orang pribadi pun tentu akan menjadi lebih ringan. Perlu diingat bahwasanya birokrasi yang rumit tidak hanya dapat menimbulkan potensi korupsi maupun kolusi, akan tetapi juga dapat merusak image institusi di mata masyarakat.
ADVERTISEMENT

Tarif pajak

Jika membandingkan tarif pajak kita dengan negara tetangga mungkin besarannya sudah cukup kompetitif. Tapi apakah sebelum menetapkan tarif pajak Pemerintah sudah mempertimbangkan faktor kultur sosial masyarakat dan “kultur” dalam menjalankan usaha di Indonesia. Selama tarif pajak masih dianggap tinggi oleh masyarakat, selama itu pula level potensi ketidakpatuhan masyarakat terhadap pajak akan tinggi, dan selama itu pula potensi munculnya itikad untuk bertindak inkonstitusional yang akan merugikan keuangan negara menjadi tinggi.
Untuk apa ditetapkan tarif tinggi bila yang dibayarkan mayoritas Wajib Pajak jauh dari angka yang seharusnya. Oleh karena itu, butuh elaborasi dengan seluruh stakeholder dalam merumuskan besaran tarif pajak yang ideal tersebut, termasuk dengan melibatkan masyarakat wajib pajak secara aktif.
ADVERTISEMENT

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Secara administratif ataupun regulatif, urusan PPN adalah urusan pajak yang paling kompleks. Selain teknis pelaksanaan kewajiban perpajakannya yang cukup pelik, potensi penyelewengan terkait PPN ini dinilai juga lebih besar, apalagi PPN merupakan jenis pajak tidak langsung. Bahkan mayoritas kasus perpajakan yang berujung pada terjadinya patgulipat antara wajib pajak dengan petugas pajak didominasi oleh permasalahan PPN.
Mulai dari tahap pengawasan, pemeriksaan (restitusi), proses penagihan, keberatan hingga banding di Pengadilan Pajak adalah titik-titik rawannya. Maka dari itu, dipandang perlu untuk melakukan kajian komprehensif perihal penggantian Pajak Pertambahan Nilai menjadi pajak yang bersifat final seperti Pajak Penjualan atau Pajak Komersial. Pengenaan pajak secara final entunya dengan tarif yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan tarif PPN agar tidak mempengaruhi harga pada konsumen akhir.
ADVERTISEMENT
Besar harapan agar konsep pemikiran sebagaimana yang dipaparkan di atas dapat diimplementasikan oleh Pemerintah dalam waktu dekat ini, atau oleh siapa pun yang akan memerintah di tahun 2024 nanti. Banyak aspek yang harus dibenahi dari sektor perpajakan tersebut, namun dengan me-redesign 3 (tiga) hal tersebut di atas saja, perpajakan Indonesia diyakini akan semakin kuat dalam menopang penerimaan negara. Terlebih dengan adanya kombinasi antara SDM yang kredibel dan regulasi yang ideal dengan melibatkan masyarakat wajib pajak secara aktif, dipastikan akan dapat mengembalikan marwah Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak dalam mengemban tugas menghimpun penerimaan negara tersebut.