Konten dari Pengguna

Gen Z di Tempat Kerja: antara Stigma dan Realita

Bryan Andika
Mahasiswa magister sains psikologi Universitas Surabaya
30 September 2024 12:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bryan Andika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang generasi Z yang berada di lingkungan kerja Sumber : Gambar AI dibuat oleh penulis dengan menggunakan aplikasi Canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang generasi Z yang berada di lingkungan kerja Sumber : Gambar AI dibuat oleh penulis dengan menggunakan aplikasi Canva
ADVERTISEMENT
Gen Z di tempat kerja memang sedang ramai diperbincangkan. Banyak konten kreator yang kerap membahas karakteristik pekerja Gen Z, bahkan sering kali membanding-bandingkan mereka dengan generasi sebelumnya, seperti generasi milenial, gen X, atau bahkan baby boomers.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit yang memberikan stigma negatif kepada generasi Z, seperti pemalas, kurang etika kerja, sulit diajak berkomunikasi, hingga yang paling kasar, yakni disebut sebagai generasi “terbodoh.” Tentu saja, generalisasi seperti ini tidak adil dan terlalu menyederhanakan kompleksitas perilaku dan pengalaman kerja dari sekelompok besar individu.
Dalam salah satu video TikTok yang sempat viral, seorang konten kreator yang fokus membahas topik tentang cryptocurrency tanpa menyebut siapa orangnya, pasti kalian tau sendirilah, dia bahkan menyebut generasi Z sebagai “generasi terbodoh.” Pernyataan ini meskipun mungkin dimaksudkan untuk menarik perhatian, pernyataan ini merupakan bentuk simplifikasi yang tidak berdasar. Bagaimana bisa kita menyimpulkan kecerdasan atau kapabilitas seluruh generasi hanya berdasarkan segelintir pengalaman individu?
Namun, apa yang sebenarnya terjadi di dunia kerja dengan Gen Z? Apakah benar mereka lebih "lemah" atau "kurang kompeten" dibandingkan generasi sebelumnya? Atau mungkin ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi persepsi ini?
ADVERTISEMENT

Fenomena Burnout di Kalangan Gen Z

Mengutip artikel di finance.detik.com, gelombang resign massal di kalangan Gen Z dan milenial tampaknya masih akan terus berlanjut, salah satunya disebabkan oleh fenomena burnout. Menariknya, data menunjukkan bahwa Gen Z lebih rentan mengalami burnout dibandingkan generasi lainnya. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Beberapa studi menunjukkan bahwa Gen Z tumbuh di era digital yang sangat cepat dan serba instan, di mana informasi mengalir tanpa henti. Contohnya di tahun 2000 an masyarakat baru mengenal istilah smartphone sehingga gen Z sejak kecil sudah belajar penggunaan smartphone berbeda dengan generasi lain yang baru belajar di usia dewasa atau bahkan di usia tua sehingga kemampuan mempelajari penggunaan smartphone tidak secepat gen Z sehingga kita sering menjumpai seorang bapak-bapak atau ibu-ibu yang sering bertanya ke anaknya cara menggunakan aplikasi di smartphone.
ADVERTISEMENT
Teknologi yang seharusnya mempermudah pekerjaan malah sering kali menciptakan tekanan lebih besar, terutama dengan ekspektasi untuk selalu terhubung dan tersedia. Keberadaan teknologi yang mempercepat dan mempermudah aktivitas manusia segala bidang tentunya merupakan keuntungan bagi masyarakat.
Namun di sisi lain, kemudahan dan kecepatan yang dari kemajuan teknologi juga dapat mengurangi proses usaha keterlibatan manusia di dalamnya sehingga hal ini menjadi akar stigma masyarakat menganggap gen Z merupakan gen yang malas dan serba ingin instan karena kemajuan teknologi tersebut. Selain itu, Gen Z sering kali berhadapan dengan ketidakpastian ekonomi, kompetisi kerja yang semakin ketat, dan tuntutan untuk sukses di usia muda, yang berujung pada stres dan kelelahan mental.

Ekspektasi dan Realitas di Dunia Kerja

Salah satu sumber kesalahpahaman tentang Gen Z di tempat kerja mungkin berasal dari perbedaan ekspektasi antara generasi yang lebih tua dan generasi Z. Gen Z dikenal sebagai generasi yang sangat menghargai keseimbangan hidup dan pekerjaan (work-life balance).
ADVERTISEMENT
Mereka lebih memilih perusahaan yang memberikan fleksibilitas, ruang untuk berkreasi, dan lingkungan kerja yang inklusif. Namun, dalam struktur kerja yang masih diwarnai oleh gaya manajerial tradisional, preferensi ini sering kali dianggap sebagai bentuk "kemalasan" atau "kurang ambisi."
Faktanya, banyak Gen Z yang justru menunjukkan etos kerja yang kuat ketika diberi kesempatan dan lingkungan yang mendukung. Mereka kreatif, tech-savvy, dan sering kali punya pemikiran out-of-the-box yang bisa menjadi kekuatan besar bagi perusahaan. Tantangannya adalah bagaimana mengintegrasikan mereka ke dalam tim yang multi-generasi, di mana perbedaan perspektif bisa menjadi aset, bukan penghalang.

Penutup

Penting untuk diingat bahwa setiap generasi memiliki keunikan, kelebihan, dan tantangan tersendiri. Label negatif seperti "pemalas" atau "terbodoh" tidak memberikan gambaran yang adil tentang generasi Z dan hanya memperburuk jurang perbedaan antara generasi yang berbeda. Daripada menggeneralisasi, kita perlu membuka ruang dialog dan saling memahami kebutuhan serta aspirasi di tempat kerja.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, kolaborasi antara berbagai generasi bisa terjalin dengan lebih baik, dan potensi setiap individu dapat berkembang sepenuhnya. Gen Z mungkin memiliki cara yang berbeda dalam bekerja dan melihat dunia, namun itu bukan berarti mereka kurang berharga atau tidak kompeten. Yang mereka butuhkan adalah lingkungan yang mendukung untuk terus berkembang dan berkontribusi dalam cara mereka sendiri.