Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bullying dan Hierarki Sosial di Sekolah
8 Maret 2024 11:06 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Bryna Alulim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini kasus bullying kembali menggema di jagat sosial media. Setelah kasus bullying yang dilakukan oleh siswa sekolah elite, Binus Serpong, tidak lama kemudian viral kembali di sekolah di SMP di Balikpapan.
ADVERTISEMENT
Pastinya masih banyak lagi kasus-kasus perundungan dari verbal hingga fisik yang terjadi, tetapi tidak terekam kamera ataupun tidak viral. terjadi bukan hanya di sekolah negeri ataupun sekolah kelas menengah biasa. Di sekolah elite dan mahal pun penyakit wabah bullying.
Belakangan ini penulis pun kerap melihat kasus-kasus kenakalan remaja di sekolah di Amerika. Dari bullying ataupun cyberbullying yang mengakibatkan salah satu korbannya meninggal seperti kasus siswi SMA di Amerika Megan Meier hingga hal yang beberapa kali terjadi di Amerika yaitu school shootings (penembakan sekolah). Dalam beberapa artikel terdapat kata yang unik yang sebelumnya belum pernah didengar secara pribadi, yaitu school social hierarcy atau Hierarki Sosial di Sekolah.
Ya, kita tau terkadang memang ada yang seakan-akan yang "punya, jeger, atau preman" sekolah. Namun terkadang ketika sebagai siswa di sekolah, observasi kita tidak sampai sejauh itu. Tentang hierarki sosial di sekolah sendiri sudah menjadi kajian-kajian para peneliti sosial di Amerika.
ADVERTISEMENT
Tentunya membedah hierarki sosial akan sulit karena setiap sekolah punya budayanya sendiri. Siapa sangka, misalnya, di sekolah mahal di Binus, terdapat ada anak-anak kaya yang menciptakan geng di luar sekolah yang bertahan sampai 9 generasi.
Mengenal Hierarki Sosial
Nah sekarang kita bayangkan stratifikasi sosial terbut bukan hanya di masyarakat luas (borjuis, kelas menang, menegah bawah/miskin/proletar). Namun di sekolah, tempat sosialisasi yang lingkupnya lebih kecil, ruang sosial yang diusahan pemerintah ataupun ahli pendidikan agar secara sosial setara (equal). Dengan menggunakan seragam, dilarang menggunakan perhiasan, dan usaha-usaha lainnya.
ADVERTISEMENT
Hierarki Sosial di Sekolah
Dalam kolaborasi penelitian yang dilakukan Universitas Illinois dan Universitas Texas mengidentifikasi 12 teman sebaya (peer crowds ) dan kelompok mereka dalam hierarki sosial.
Di puncak hierarki sosial terdapat kelompok yang diberi label “populars (kaya atau menarik)”, “jocks” (atlet), “floaters”, dan “good-ats”.
Di tengah-tengah adalah anak-anak “fine art" (ahli dalam bidang seni), yang popularitasnya meningkat dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, serta “brain” (si pintar), “normal” (yang tidak dikenal), dan “druggie/stoner”(terkadang menggunakan atau mendistribusikan ganja).
Di bagian bawah hierarki sosial terdapat “emo/goth”, kelompok baru yang terdiri dari penggemar “anime/manga” dan “penyendiri”. Penempatan kelompok “ras-etnis” bervariasi tergantung latar belakang siswa. Peneliti melihat kemunculan pencinta anime/manga sebagai varian baru pengganti "computer geek" atau orang yang tertarik pada komputer pada masa lalu.
ADVERTISEMENT
Rasanya piramida hierarki tersebut memang tidak asing. Terlebih lagi ketika kita kerap kali menonton serial drama Amerika. Para Joks misalnya, didalam berbagai sinema Amerika digambarkan sebagai sosok yang terkenal diantara para siswa. Mereka biasanya digambarkan selalu bergerombol sesama atlet sambil mengenakan jaket varsity atau jaket American football. Selain itu, juga digambarkan sebagai pembully yang secara akademik tidak pintar namun di sisi lain terdapat jocks yang seakan-akan bersifat pahlawan dan lebih bijaksana di antara gerombolannya.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Altetik, memiliki badan bagus, dan jago dalam bidang olah raga yang mengindikasikan memiliku tubuh kuat, mungkin jejak-jejak evolusi menjadi dasar kenapa golongan ini popular. Karena ketika pada masa arkaik para perempuan tentu saja akan melihat mereka dalam menafkahi (berburu) dan melindungi keluarganya. Terlebih lagi dalam kontek dunia siswa di mana tidak adalah kekuasaan politik serius di antara para siswa dan memiliki kepemilikan modal ekonomi yang tidak dieskploitasi di area sekolah, sepertinya kelompok ini juga menjadi salah satu bagian kelompok hierarki tertinggi di sekolah.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi siswa atlet bukan hanya berolah raga. Namun juga sebagai "performance" yang aksi dan kemampuannya dapat ditonton di ruang publik yang bernama lapangan olah raga. Terlebih lagi mereka terkadang merupakan representasi sekolah yang mewakili sekolah pada acara-acara olah raga. Ratusan orang akan beramai-ramai bersorak mendukung mereka ketika berhadapan melawan sekolah rival.
Pairin dalam tulisannya "Struktur Sosial di Sekolah " melihat bahwa disekolah terdapat macam-macam kedudukan murid dan hubungan antar murid, yaitu:
1) Hubungan dan kedudukan berdasarkan usia dan tingkat kelas
2) Struktur sosial berhubungan dengan kurikulum (kemampuan memahami pelajaran atau nilai yang bagus)
3) Klik atau kelompok persahabatan di sekolah
4) Kelompok elite
5) Kelompok siswa yang bergabung dalam organisasi formal
ADVERTISEMENT
Seorang siswa yang merupakan kakak kelas akan berasa lebih disegani oleh adik kelas. Begitu juga sebaliknya. Terkadang kedudukan sesorang dalam hierarki sosial di sekolah dipertegas lagi oleh jabatan formal seperti OSIS atau MPK (Majelis Perwakilan Kelas).
OSIS merupakan eksekutif dari warga siswa. ia merupakan bentuk politik dan kekuasaan. Ia menyelenggarakan berbagai aktivitas di sekolah. Mengorganisasikan kaderisasi. Membuat lingkaran OSIS terlihat sebagai agen "intelektual". Bila menggunakan pendekatan mitologi trifungsional Dumezil, merekalah "sovereignity", yang pemimpin, yang bijaksana, yang menjaga stabilitas, sang priest (pendeta/dukun), dsb.
Bullying di Sekolah
Setelah melihat bahwa disekolah terdapat hierarki sosial di mana terdapat kekuasaan yang tidak setara antara warga siswa. Tentunya penyalah gunaan kekuasaan dari kelompok sosial yang berada di atas terhadap kelompok sosial bawah dapat menyebabkan fenomena perundungan.
ADVERTISEMENT
Dalam kesimpulan artikel, bullying dapat disebabkan oleh pola asuh orang tua yang kurang baik, lingkungan sekitarnya, pergaulan, serta media online. Di sisi lain korban menjadi trauma, menarik diri, pendiam, menghindar, tidak percaya diri, stress, perasaan takut, panik, gelisah, kesakitan, membolos, hingga putus sekolah.
Dalam beberapa kasus yang paling ekstrim, korban bullying dapat mengakhir hidupnya sendiri dan juga melakukan kekerasan ekstrim. Melihat beberapa kasus dari korban tersebut, korban secara sosial diperlakukan bagaikan "outcast" atau dikucilkan oleh lingkungan sekolahnya.
ADVERTISEMENT
Mungkin agen-agen petugas sekolah juga harus melihat bagaimana bentuk dan mengidentifikan hierarki di dalam sekolah. Dengan begitu para pengawas dapat melihat kelompok-kelompok rentan yang kerap menjadi korban bullying ataupun korban tidakan penyalahgunaan kuasa ataupun kekerasan.