Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Hypatia: Seorang Pemikir dan Akhir Kisah yang Tragis
19 November 2023 18:04 WIB
Tulisan dari Bryna Alulim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dahulu kala, Mesir tidak seperti yang kita bayangkan sekarang. Mesir sebelum adzan pertama kali berkumandang di sana pernah diduduki oleh orang-orang Romawi dan menjadi bagian dari kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur (30 SM sampai 641). Masa ini merupakan masa-masa terbenturnya kebudayaan klasik pagan Yunani-Romawi dengan agama Kristen yang tengah berkembang.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 355, di tempat itu, lahir seorang perempuan yang berasal dari keluarga kalangan elite bernama Hypatia. Hypatia mengabdikan hidupnya pada ilmu pengetahuan dan merupakan bagian dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Perempuan yang dianggap cantik dan menawan tersebut merupakan sosok seorang ahli astronomi, ahli matematika dan filsuf yang beraliran neoplatonis.
Hytapia mempunyai darah intelektual dari ayahnya, Theon yang juga seorang alhi matematika dan astronomer yang merupakan anggota dari Musem Alexandria. Theon merupakan orang yang paling penting dalam kehidupan Hypatia, karena ia yang mengajarkannya matematika dan astronomi dan berkolaborasi bersama dalam komentar terhadap pemikiran Claudius Ptolemy (sekitar 100-170 SM).
Museum Alexandria sendiri bukan merupakan museum dengan fungsi hanya seperti yang kita kenal sekarang, museum ini merupakan pusat ilmu pengetahuan di Alexandria, Mesir, yang dibangun oleh Ptolemy I yang membawa warna helenistik pada peradaban Mesir. Ptolemy sendiri merupakan seorang jendral dari Alexander Agung. Di bawah kekuasaan Alexander Agung, Alexandria menjadi pusat intelektual yang maju, tetapi ketika ditaklukan oleh Romawi, Julius Caesar membakar perpustakaan terbesar dalam peradaban kuno yang pernah ada. Setelah itu perpustakaan tersebut dibangun kembali.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan paradigma perempuan secara umum pada masa dahulu, di zaman Mesir klasik peran wanita sangat dihargai, terbukti bahwa beberapa wanita dalam sejarah Kekaisaran mesir awal pernah menjadi kaisar seperti, Hatshepsut pada abad ke-15 SM, Nefertiti pada abad ke-14 SM, dan ratu terakhir mesir sebelum kedatangan Romawi yang sangat terkenal hingga dijadikan Shakespeare sebagai tema untuk karya sastranya yaitu Cleopatra VII pada 69 SM sampai 30 SM. Karena kondisi Mesir klasik ini lah yang membuat Hypatia bisa berkarya dengan bebas yang akhirnya membuat namanya harum hingga seluruh Alexandria.
Di tengah perkembangan pengaruh ajaran Kristiani di Alexandria ketika itu, Hypatia sering mengadakan kelas dan menjadi guru dalam berbagai bidang di sekolah dengan aliran filsafat platonis. Menurut Socrates dari Konstantinople banyak yang datang dari tempat yang jauh hanya untuk mengikuti kelasnya. Pemikirannya kebanyakan ditujukan untuk komentarnya atas astronomi Ptolemy dan Euclid’s Elements yaitu karya dalam bidang geometri yang ditulis oleh Euklides.
ADVERTISEMENT
Sumber-sumber dari orang sezaman Hypatia sangat penting untuk mengungkap eksistensinya di dunia, dikarenakan ketika terjadi kericuhan yang disebabkan oleh umat Kristiani fanatik, banyak buku-buku yang dibakar di Serapeum atau Kuil Serapi ketika itu, termasuk karya dari Hypatia sendiri.
Salah satu sumber dari eksistensi Hypatia adalah muridnya sendiri yaitu Synesius seorang filsuf Neo-Platonik yang telah menjadi menjadi uskup di Cyrenaica ketika itu. Synesius beberapa kali mengirimkan gurunya surat, seperti dalam Letter154: On his Own Writing tentang prihal bukunya.
“To the Philosopher
I have brought out two books this year. One of them as I was moved thereto by God Himself, the other because of the slander of men.”
ADVERTISEMENT
Dan dalam Letter 124: A City in Wartime Synesius menulis jelas nama Hypatia
“[1] To the Philosopher
Even though there shall be utter forgetfulness of the dead in Hades, even there shall I remember thee, my dear Hypatia. I am encompassed by the sufferings of my city, and disgusted with her, for I daily see the enemy forces, and men slaughtered like victims on an altar. I am breathing an air tainted by the decay of dead bodies. I am waiting to undergo myself the same lot that has befallen so many others, for how can one keep any hope, when the sky is obscured by the shadow of birds of prey?”
ADVERTISEMENT
Dalam Ecclesiastical History karya Socrates Scholasticus. ia menceritakan gambaran besar tentang kehidupan Hypatia dengan singkat. Dikarenakan Hypatia merupakan sorang filsuf beraliran Neo-Platonis yang merupakan merupakan hasil dari pengaruh kebudayaan hellenistik yang disebarkan oleh Alexander yang Agung. Pemikirannya ketika itu dianggap sebagai “pagan” atau “tidak bertuhan”. Menjadikan celah bagi para fanatik agama untuk menjatuhkannya. Bisa dilihat dalam catatan uskup Jhon of Nikiu, ia mendeskripsikan bahwa Hypatia buka hanya filsuf, tetapi juga penyihir yang mempraktikan “pesona sihir” yang membuat gubernur Orester terpesona, tetapi sumber dari Jhon of Nikiu ini patut diragukan karena rentang waktu catatan dengan kematian Hypatia cukup jauh.
Tragedi dari kehidupan Hypatia bermula ketika Cyril menjadi uskup Alexandria dan berhasil punya pengaruh besar terhadap kondisi perpolitikan di Alexandria. Hypatia ketika itu dianggap sebagai alasan Orestes, seorang pengagumnya yang menjadi gubernur Alexandria untuk tidak mau tunduk pada uskup, padahal Orestes sendiri merupakan seorang Kristen.
ADVERTISEMENT
Filsuf rasionalis asal Inggris bernama Jhon Toland dalam bukunya berjudul Hytapia berkata bahwa Hytapia dibunuh dengan keji oleh orang-orang barbar yang secara historis merupakan kaum Kristen garis keras. Ia juga mengkritik dengan tajam Cyril dan para pengikutnya. Hypatia menjadi simbol perempuan dan tokoh intelektual yang berdiri melawan prasangka kebodohan. Namun sayangnya ia bukan dikenal karena wanita paling awal dalam mempelajari ilmu matematika ataupun karena prestasinya serta kehormatannya, tetapi lebih pada kisah kematiannya yang begitu brutal. Mengenai hubungan pribadi, Hypatia sampai akhir hayatnya tidak pernah menikah dan tidak memiliki keturunan.
Kematian Hypatia pada sekitar 415 atau 416 menandakan selesai sudah perjalanan intelektual tradisi Yunani-Romawi di Mesir. Sejak memasuki dominasi Kristen, filsafat-filsafat Yunani dikombinasikan dengan teologi agama seperti dilakukan oleh Synisius yang merupakan murid Hypatia sendiri serta filsuf-filsuf Abad Pertengahan.
ADVERTISEMENT