Kucing dan Keruntuhan Mesir Kuno

Bryna Alulim
Seorang penggemar sejarah. Menempuh pendidikan di Ilmu Sejarah Unpad
Konten dari Pengguna
17 Februari 2021 6:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bryna Alulim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Le roi Cambyse au siège de Péluse oleh Paul Marie Lenoir. Sumber: commons.wikimedia.org
zoom-in-whitePerbesar
Le roi Cambyse au siège de Péluse oleh Paul Marie Lenoir. Sumber: commons.wikimedia.org

Perang Persia-Mesir

ADVERTISEMENT
Setelah Cyrus Agung meninggal di Asia Tengah, Kekaisaran Persia Akhemeniyah dengan ekspansi yang sangat cepat itu jatuh ke tangan anaknya, Cambyses II pada 530 SM. Di Bawah Kaisar Cyrus, Kekaisaran Persia berhasil menaklukkan Media (sekarang Iran), Lydia dan Ionia (sekarang Turki), dan Babylonia Baru (sekarang Iraq). Kekuatan besar yang ketika itu belum ditaklukkan adalah Kerajaan Mesir. Karena itu lah kali ini kaisar baru itu akan memfokuskan ekspansinya ke barat, ke Mesir.
ADVERTISEMENT
Tidak mudah untuk menaklukkan Mesir bagi Persia. Dalam Trouble in the West: the Persian Empire and Egypt, 525-332 BCE (2012: 41) Stephen Ruzicka memberikan penjelasan dari sejarawan Diodoros yang menyatakan bahwa semua sisi Mesir dibentengi oleh alam. Hambatan pertama dalam menaklukkan Mesir bagi Persia yang berasal dari timur adalah perjalanan menuju Mesir itu sendiri bila melewati darat yang begitu kering dan tandus. Dengan begitu alternatif menuju Mesir adalah dengan jalur laut.
Mesir ketika itu berada di bawah kekuasaan Amasis dari dinasti ke-26, sebelumnya telah berhasil menaklukkan Cyprus dan membentuk aliansi dengan pemimpin Yunani Polycrates di Samos, sebuah pulau di lepas pantai Ionia. Pada 520-an SM Polycrates menjadi kekuatan dominan di wilayah Laut Aegea. Namun, nantinya aliansi ini retak ketika Polycrates menawarkan kapal ke pada Cambyses untuk ekspedisinya ke Mesir. Pengembangan angkatan laut, melalui orang-orang Fenisia dan Ionia juga dilakukan guna persiapan ekspansi, karena sebelumnya orang-orang Persia tidak mempunyai tradisi pelayaran. Selain itu Cambyses juga membina hubungan dengan pemimpin Arab yang mengontrol rute gurun melintasi semenanjung Sinai, dengan demikian memungkinkan pasukannya untuk berhasil menyeberang. Seperti yang dijelaskan oleh Matt Waters dalam Ancient Persia: A Concise History of the Achaemenid Empire, 550–330 BCE (2013: 54).
ADVERTISEMENT
Dalam catatan Herodotus, The Histories (2013: 229-230), alasan Cambyses menyerang Mesir karena ditipu oleh Amasis. Ketika itu Cambyses meminta putri dari Amasis. Raja Mesir tersebut bimbang antara menolak atau tidak. Bila menolak maka Cambyses akan menjadi musuhnya dan ia sendiri sadar bahwa Persia telah menjadi kekuatan yang menakutkan. Namun, ia juga tidak mau menyerahkan putrinya, karena ia tahu bahwa putrinya hanya akan dijadikan selir, bukan istri. Lantas yang dilakukan Amasis adalah menipu Cambyses dengan menyerahkan perempuan lain yang diakui sebagai putrinya. Hal itu “MFkucienyebabkan Cambyses, putra Cyrus, begitu murka, sehingga kemudian ia membawa serta seluruh pasukannya untuk bergerak menuju Mesir,” tulis Herodotus.
Pada 525 SM, atau empat sampai lima tahun sesudah penobatan. Cambyses mulai bergerak. Di jelaskan oleh Susan Wise Bauer dalam Sejarah Dunia Kuno (2010: 570) bahwa angkatan laut Persia memulai perjalanan terlebih dahulu ke pesisir, disusul dengan pasukan Persia menyebrangi gurun pasir. Amasis yang ketika itu sudah berumur lebih dari tujuh puluh tahun, sebelum Persia datang telah meninggal terlebih dahulu. Ia digantikan oleh putranya Psamtik III yang masih sangat hijau dan juga bukan seorang pemimpin yang handal. Sebuah keuntungan bagi pasukan Persia.
ADVERTISEMENT
Persinggungan paling awal terjadi di kota Pelusium dekat muara Sungai Nil paling timur. Psamtik memperkuat posisinya di Pelusium dan sambil menunggu kedatangan musuh, ia mempersiapkan ibu kotanya di Memphis menahan kekuatan Persia.
Ilustrasi peta Sungai Nil berdasarkan Herodotus oleh James Rennell yang sudah penulis tandai. Sumber: commons.wikimedia.org
Informasi yang menarik tentang detail pertarungan ini datang dari catatan Polyaenus dalam buku ketujuh Stratagems in War. Catatan ini berkata ketika Cambyses menyerang benteng Pelusium yang merupakan gerbang masuk menuju Mesir, orang-orang mesir menjaga benteng tersebut dengan kekuatan penuh. Pihak Mesir meluncurkan serangan yang sengit terhadap pasukan Persia, melemparkan batu dan menembaki mereka dengan ketapel tempur hingga pasukan Persia kewalahan. Guna membalikkan keadaan, Cambyses menggunakan anjing, domba, kucing, ibis dan hewan apapun yang dianggap sakral di garis depan. Pasukan Mesir seketika menghentikan serangan mereka, karena takut akan melukai hewan yang dianggap sakral tersebut. Dengan begitu Cambyses berhasil merebut Pelusium dan dengan demikian masuk menuju ibu kota Mesir, Memphis.
ADVERTISEMENT
Namun perlu diketahui bahwa Polyaenus hidup sekitar abad ke-2 M yang jauh rentang waktunya saat peristiwa berlangsung (pada 525 SM) dan juga bahwa tidak ada sumber-sumber lain yang menceritakan kisah itu, bahkan Herodotus sekalipun. Sehingga kebenarannya tidak dapat dipastikan. Alasan yang paling masuk akal kenapa Perisa menang adalah, di samping raja baru Mesir yang tidak cekatan, karena keunggulan pasukan pemanah mereka seperti yang dijelaskan secara singkat oleh Kaveh Farrokh di dalam Shadows in the Desert: Ancient Persia at War (2007: 49). Meskipun Herodotus tidak menulis detail tentang pertarungan ini, namun ia sempat datang langsung ke lokasi kejadian dan melihat masih terdapat tulang belulang dari pasukan Mesir ataupun Persia yang ditunjukkan oleh para penduduk setempat.
ADVERTISEMENT
Pelukis orientalis asal Prancis Paul Marie Lenoir (1843-1881) membuat lukisan tentang pertempuran di Pelusium bernama “Le roi Cambyse au siège de Péluse” pada 1872. Di situ Cambyses yang menjadi sentral dari lukisan membawa keranjang yang berisi beberapa kucing di atas kudanya sambil memegang kucing di tangan kanannya dan bersiap untuk melemparkannya kepada pasukan mesir. Kucing-kucing yang dianggap suci beterbangan di udara, dilemparkan oleh pasukan-pasukan Persia. Terlihat ekspresi pasukan mesir menghindar dan ketakutan melihat kucing-kucing terbang ke arah mereka. Lukisan ini memang paling menggambarkan apa yang dibicarakan oleh Polyaenus.
Tidak sanggup menahan serangan Persia, Psamtik dipaksa mundur ke Memphis. Di sana ia dilindungi oleh benteng “White Wall” yang hanya bisa ditaklukkan oleh bantuan armada laut. Kota tersebut akhirnya berhasil direbut dalam waktu singkat, tidak lama kemudian Psamtik ditangkap. Herodotus mengatakan bila sang Raja Mesir mau bekerja sama maka ia akan diangkat menjadi gubernur Mesir, namun sang raja malah merencanakan pemberontakan dan berujung pada eksekusi mati dengan menegak darah banteng.
ADVERTISEMENT
Dengan direbutnya Mesir Cambyses yang merupakan seorang Persia kini menjadi Firaun Mesir. Namun jabatannya atas kekaisaran yang begitu luas tidak lama. Kematian menjemputnya hanya tiga tahun setelah penaklukan Mesir, yaitu pada 522 SM, setelah menjadi pharaoh dari dinasti ke-27 dan menghormati ritual-ritual keagamaan bangsa Mesir. Berbeda seperti yang digambarkan Herodotus tentang sosok Cambyses yang gila dan tidak cakap. Perlu juga diketahui bahwa Herodotus cenderung melihat dan menuliskan orang-orang persia dengan perspektif yang negatif, hal itu salah satunya disebabkan karena sumber-sumber bias yang digunakannya ketika itu.

Kucing dalam Kebudayaan Mesir Kuno

Lantas mengapa Polyaenus menulis tentang taktik tersebut di dalam Stratagems. Karya itu sebenarnya didedikasikan untuk keperluan perang Marcus Aurelius yang merupakan Kaisar Romawi. Kita bisa melihat narasi yang ia ciptakan adalah suatu usahanya dalam menciptakan taktik berperang menggunakan pendekatan kultural dan psikologis. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa kaitan hewan-hewan yang dilempar pasukan Persia, khususnya kucing dengan masyarakat Mesir seperti yang diceritakannya?
ADVERTISEMENT
Herodotus, seorang yang pernah menyinggahi Mesir menulis catatan yang cukup komprehensif tentang hewan-hewan, termasuk kucing dan masyarakat Mesir di dalam “Buku Dua” (2013: 163). Dalam catatanya, ia menjelaskan bahwa hewan peliharaan di Mesir sangatlah banyak dan akan semakin banyak kecuali kasus terhadap peliharaan kucing. Kucing betina yang sudah melahirkan anak-anaknya tidak membutuhkan sosok pejantan, hal ini menyebabkan para kucing jantan yang menginginkan betina melakukan tindakan keji. Pejantan akan menculik anak-anak kucing dan akan membunuh mereka. Dengan begitu betina yang kehilangan anak-anak akan mencari kucing jantan agar dapat memiliki anak lagi. Ia lanjut menceritakan bahwa setiap terjadi kebakaran di Mesir, ketika para penduduk hanya diam menyaksikan kobaran api dari kejauhan, para kucing akan memberontak dari pegangan penjaganya atau bahkan melompat dari atas mereka dan kemudian akan berbarengan berlari menuju kobaran api tersebut.
ADVERTISEMENT
Di dalam masyarakat Mesir, bila seekor kucing mati di sebuah rumah pribadi, seluruh penghuni rumah tersebut harus mencukur alis mereka dan bila anjing, mereka harus mencukur seluruh rambut di tubuh mereka. Kucing-kucing yang mati akan dibawa ke kota Bubastis di sana mereka akan dibalsem, kemudian dikuburkan dengan lahan pemakaman suci. Penjelasan yang diberikan oleh Herodotus cukup untuk menggambarkan bagaimana masyarakat Mesir sangat menghargai kucing.