Konten dari Pengguna

Pemberantasan Korupsi Secara Luar Biasa: Bagaimana dengan Keadilan Restoratif?

Basri Sangadji
Pemerhati Hukum
24 Juni 2023 19:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Basri Sangadji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Pribadi Penulis Ketika Praktik Sidang
zoom-in-whitePerbesar
Foto Pribadi Penulis Ketika Praktik Sidang
ADVERTISEMENT
Dewasa ini perbuatan korupsi merupakan sajian utama yang kerap dimuat dalam media Indonesia, seperti sudah menjadi kebiasaan pasti Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa seringkali terdapat pemangku jabatan strategis baik swasta maupun pemerintah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT). Praktik korupsi saat ini semakin menarik selain karena dilakukan secara sistematis, namun juga menggunakan cara-cara yang canggih dan meluas, akibatnya keuangan negara semakin terdampak. Masifnya kasus tindak pidana korupsi telah mengaburkan batas antara siapa, mengapa, serta bagaimana. Korupsi bukan lagi sebatas pada pemegang jabatan dan kepentingan khusus, tetapi telah menjadi suatu isu baik di sektor publik maupun komersial, nasional maupun internasional.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada data yang diperoleh dari Transparency International (situs web transnasional mengenai korupsi) bahwa per tahun 2020 Indonesia menduduki peringkat 102/180 negara dunia paling korup dengan skor 37/100.2 Angka tersebut semakin membuat khalayak masyarakat penuh dengan streotip stigmatisasi terhadap pemberitaan korupsi. Hal ini membuat masyarakat mengesampingkan adagium ”Presumption of Innocent” dan menganggap semua pejabat pemerintah merupakan pelaku dengan berdasarkan keyakinan streotip stigmatis tersebut. Alih-alih mengharapkan proses hukum yang kembali kepada tujuan hukum, masyarakat saat ini lebih kepada pemberian sanksi ataupun hukuman setimpal kepada pelaku korupsi dengan merubah makna ”Culpa Poena par Esto”.
Terhadap pelaku korupsi telah ditetapkan hukumannya sebagaimana jenis perbuatannya, jika kita merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang –Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya disebut sebagai UU Tipikor mengatur beberapa jenis perbuatan seperti suap menyuap, prampasan, penggelapan, gratifikasi, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan wewenang dan jabatan dan lain-lain yang belum disebutkan. Hukuman yang ditujukan khusus perbuatan-perbuatan koruptif macam-macam, seperti yang terberat ialah pidana penjara seumur hidup dan/atau pidana mati sebagaimana bunyi pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Tipikor. Kemudian terdapat juga sanksi administratif berupa denda dan/atau Asset Recovery yang bertujuan untuk mengembalikan kerugian negara. Namun perlu dipahami bersama bahwa hukum pidana karena dianggap keras harus diposisikan menjadi alternatif penyelesaian terakhir sebagaimana makna asas Ultimum Remedium yang memposisikan hukum pidana sebagai pilihan terakhir dalam penyelesaian perkara terutama salah satunya ialah perbuatan korupsi. Walau demikian, keyakinan yang dipahami masyarakat bahwa dalam menanggulangi korupsi langkah represif selalu menjadi langkah utama dengan asumsi dapat memberikan menangkal praktik atau perilaku koruptif.
ADVERTISEMENT
Pandangan mengenai penggunaan langkah represif terhadap perbuatan koruptif harus mulai disisihkan dengan alternatif pilihan lain. Jika merujuk pada ratifikasi Vienna Convention 2003 mengenai anti korupsi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 (UU No.7 Tahun 2006) maka perlu dipandang satu alternatif pencegahan, penanggulangan, dan penyelesaian dengan menggunakan kebijakan Restorative Justice yang selanjutnya penulis sebut keadilan restoratif. Konsep mengenai penyelesaian menggunakan keadilan restoratif sudah ada dalam beberapa kasus pidana yang bersifat umum seperti pidana anak, pencurian, kekerasan, sampai penghinaan.
Berdasarkan pada prolog diatas, penulis ingin menguji apakah penyelesaian perkara tindak pidana korupsi melalui pendekatan keadilan restoratif telah sesuai dengan pemberantasan korupsi secara luar biasa? lalu bagaimana karakteristik pemberantasan secara luar biasa tersebut?
ADVERTISEMENT
Legal Standing Penyelesaian Tipikor Melalui Pendekatan Restorative Justice
Keadilan restoratif (restorative justice) merupakan sebuat terminologi yang sejak tahun 1960 telah dikenalkan di Indonesia. Keadilan restoratif terdiri dari 2 suku kata yakni keadilan da restoratif. Sarjana hukum seringkali berbeda pandangan mengenai keadilan, ada yang berpandangan adil itu setara, adapula yang menurutnya adil itu relatif. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan ilmu hukum, khusunya pada irisan teori hukum alam atau teori hukum murni. Sejak periode kehidupan Socrates keadilan seringkali dipandang sebagai puncak dari hukum karena teorinya mengutamakan pencarian keadilan "the search for justice". 24 Berbeda dengan Socrates, Hans Kelsen dalam teorinya the pure theory of law mendikotomikan hukum dan adil, menurutnya adil itu jika telah terpenuhi kebahagiaan dalam masyarakat, sedangkan hukum merupakan proses (sarana) untuk memperoleh kebahagiaan yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dipahami, penyelesaian perkara melalui pendekatan keadilan restoratif diperuntukan terhadap perkara tindak pidana umum. Sangat jarang ditemukan pendekatan keadilan restoratif menjadi pilihan penyelesaian untuk tindak pidana khusus, namun tidak menutup kemungkinan terdapat hal demikian pada pengaturan yang menjadi suatu acuan. Misalnya saja dalam kasus tindak pidana korupsi, dapat ditemukan celah guna penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yakni melalui Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus No. B-1113/F/Fd.1/05/2010 perihal Prioritas Pencapaian dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Dalam poin 1 disebutkan bahwa:
Dengan adanya SE Jampidsus tersebut kiranya dapat menjadi acuan atau legal standing terhadap penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam perkara tindak pidana korupsi. Namun demikian, terhadap Surat Edaran tersebut kecil kemungkinan untuk dipakai sebab masih terdapat peraturan yang lebih tinggi yaitu UU Tipikor (lex superior). Sebab jika merujuk pada UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019 Jo. UU No. 13 Tahun 2022 maka Undang-Undang mempunyai hierarki yang lebih tinggi dibanding dengan Surat Edaran. Karena terbatas oleh hierari hukum, maka sekali lagi guna terpenuhinya kepastian hukum artinya bahwa keberlakuan SE Jampidsus tersebut bertentangan dengan muatan yang tertuang pada UU Pemberantasan Tipikor.
ADVERTISEMENT
Pemberantasan Korupsi Secara Luar Biasa Sebagaimana Muatan Konsideran UU Tipikor
Secara yuridis materi mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi telah terabadikan didalam UU No. 20 Tahun 2001 Jo. UU No, 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun pengertian dari tindak pidana korupsi yaitu perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Dapat dipahami bahwa perbuatan yang dilakukan untuk memperkaya diri, orang lain, atau korporasi tentu memberi dampak besar bagi menurunnya stabilitas negara seperti ekonomi.
Frasa "secara melawan hukum" pada Undang-Undang diatas dapat dimaksudkan terhadap perbuatannya dalam arti formil maupun materiil, yang mana meskipun perbuatan tersebut tidak diatur lebih rigit dalam peraturan perundang-undangan, namun terdapat ketentuan berdasar rasa keadilan dan/atau norma yang hidup dalam masyarakat, apabila tidak sesuai dengan hal tersebut maka perbuatannya dapat dipidana (Penjelasan Pasal 2 UU Tipikor). Unsur "secara melawan hukum" dalam penjelasan pasal 2 kemudian diartikan sebagai melawan undang-undang, kemudian berkembang setelah tahun 1919 yang mana frasa "secara melawan hukum" kemudian menjadi melanggar Undang-Undang, melanggar hak subjektif orang lain, perbuatan yang tidak sejalan dengan kewajiban hukum, melanggar kesusilaan, serta bertentangan dengan kepatuhan.
ADVERTISEMENT
Mengingat perbuatannya yang luar biasa atau extraordinary crime maka dipandang perlu untuk melakukan pemberantasan secara luar biasa pula sebagaimana termuat di dalam konsideran UU No 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999, pada konsideran poin a disebutkan bahwa:
Frasa “secara luar biasa“ dalam undang-undang tersebut, merupakan acuan terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan begitu, maka pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan menggunakan cara-cara yang khusus. Adapun karakteristik pemberantasan yang dilakukan secara luar biasa yaitu pertama pembebanan pembuktian kepada terdakwa yang dikenal dengan sebutan pembuktian terbalik, kedua hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, ketiga penerapan mengenai minimum khusus, sistem pemidanaan kumulatif, keempat pidana bagi percobaan, pembantuan atau permufakatan, kelima ganti kerugian serta pengembalian kerugian tidak menghapus pidana, keenam terdapat muatan pidana mati bagi yang melakukan perbuatan koruptif dalam keadaan tertentu (bencana nasional, krisis ekonomi atau moneter).
ADVERTISEMENT
Sistem Pemidanaan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tipikor
Secara terminologi sistem pemidanaan merupakan gabungan dari dua kata pertama sistem yang memiliki arti unsur yang berkaitan membentuk perangkat yang teratur. Kedua pemidanaan berarti cara melakukan pidana. Jadi secara harfiah makna dari sistem pemidanaan ialah sistem penjatuhan pidana. Dalam beberapa literatur pemidanaan mempunyai arti lain, yakni serangkaian alur penjatuhan sanksi dan/atau pidana terhadap orang perorang yang melakukan perbuatan pidana. Prof Barda dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana Indonesia memberikan pengertian sistem pemidanaan, yaitu sebagai berikut
ADVERTISEMENT
Sanksi dalam hukum pidana dipandang sebagai sarana guna menghadapi tindak pidana yang didalamnya terdapat ancaman-ancaman berbahaya dari suatu pidana. Begitupun terhadap pidana korupsi, karena sifatnya yang luar biasa dengan menimbulkan banyak kerugian, maka penanganannya perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa. Cara luar biasa yang dimaksud menjadi langkah fundamental, seperti pembebanan pembuktian terbalik yang diberikan kepada pelau tindak pidana korupsi, upaya minimum khusus, percobaan, penambahan alat bukti elektronik, dan sanksi pidana yang tegas. Adapun jenis pidana yang bisa ditemukan pada Undang-Undang Tipikor antara lain pidana mati, pidana penjara, denda, serta ganti rugi (pidana pokok), dan pidana tambahan yang nantinya akan penulis ulas lebih lanjut.