Konten dari Pengguna

Makanan dan Lingkungan Hidup

Steni Bernadinus
Pegiat Lingkungan Hidup. Menekuni upaya keberlanjutan, terutama sertifikasi bagi petani kecil dan petani asli
29 Mei 2024 10:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Steni Bernadinus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Makanan Sisa di tempat pebuangan makanan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Makanan Sisa di tempat pebuangan makanan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wacana lingkungan saat ini didominasi oleh berbagai konsep dan pendekatan yang agak abstrak dalam imajinasi orang biasa. Yang kerap kita dengar, misalnya, pemanasan global, emisi gas rumah kaca, masalah ozon, energi terbarukan dan seterusnya. Semuanya adalah pembicaraan pakar yang tidak mudah untuk dipahami orang-orang yang bukan ahlinya. Akhirnya, isu lingkungan seperti mengawang-awang dan susah dijangkau.
ADVERTISEMENT
Namun, isu lingkungan tidak seabstrak itu. Terdapat hal-hal kecil yang sederhana dan jarang dibahas dalam pembicaraan lingkungan hidup. Bahkan dianggap sepele dan remeh, meski hal itu umum dan lumrah untuk dilakukan. Salah satu yang lumrah itu adalah soal apa yang kita makan sehari-hari.
Pernahkah kita berpikir berapa banyak biaya dan beban yang harus dipikul lingkungan untuk menghidangkan sepiring nasi beserta lauk pauknya. Bahwa untuk sampai di ujung sendok, nasi membutuhkan mata rantai yang panjang dan sarat dengan ongkos lingkungan. Belum lagi ketika orang-orang hebat di kota gemar memburu steak impor, buah impor, sayur impor. Ongkosnya makin bertambah.
Hitung-hitungannya sederhana. Misalnya, siklus padi menuju nasi. Hamparan sawah membutuhkan air mulai dari penyemaian hingga menjadi bulir-bulir yang siap dipanen. Ketika hendak dihidangkan di atas meja pun, beras butuh air. Beberapa bulan awal, padi membutuhkan suplai air yang konsisten. Sejumlah catatan penelitian menyebutkan kebutuhan air untuk pola sawah konvensional adalah 10.000 m3/ha/musim atau sama dengan 10jt liter/ha/musim (6 bulan). Angka ini setara dengan konsumsi air 794 orang dalam satu musim (2100 liter/bulan). Jika dibuat lebih konkret dalam bentuk konversi ke nilai pasar dan harga per liter air dihitung hanya Rp. 3.000 saja, maka nilai air untuk sawah per hektare tiap musim adalah sebesar Rp. 30 miliar.
ADVERTISEMENT
Saat ini banyak sistem pengairan tidak lagi ditopang irigasi sungai tetapi mengandalkan sedotan air tanah. Setelah berkurangnya debit sungai-sungai besar, petani tidak lagi mendapatkan suplai air yang konsisten. Agar bertahan dengan sistem pertanian sawah, tidak ada pilihan lain selain mengebor air tanah. Seluruh tanah jawa diperkirakan mempunyai total luas sawah kurang lebih 6.6 juta ha. Seandainya separuh saja yang mengeruk air tanah, miliaran liter air dihisap untuk mengairi sawah.
Perhitungan itu hanya untuk nasi. Bagaimana dengan lauk pauk. Ikan sepotong yang diusahakan nelayan, dan pangan lainnya yang bertaburan memenuhi piring tiap rumah tangga. Semuanya minimal membutuhkan bahan bakar, biaya transportasi, pengemasan, penyimpanan, dan seterusnya. Berapa biaya yang harus keluar untuk membuat semua pabrik rasa itu sampai ke kerongkongan.
ADVERTISEMENT
Namun bisnis makanan menggiurkan. Sehingga, upaya melayani rasa tidak berhenti. Industri memfasilitasi kebutuhan rasa, agar tidak hanya soal kenyang tapi juga nikmat, sedap, dan kalau perlu candu. Rasa macam ini diciptakan. Sehingga meski hanya tinggal di pelosok, selera orang bisa melanglang buana hingga ke Kentucky Texas Amerika, pusat pabrik rasa KFC.
Banyak industri makanan menggenjot produksi hingga berlebih. World Food Programme memperkirakan sepertiga dari semua makanan yang diproduksi berakhir menjadi sampah. Jumlah itu setara dengan 1,3 miliar buah-buahan, sayur, daging, susu, makanan laut, kacang-kacangan yang diproduksi berlebihan, rusak selama proses distribusi, sisa konsumsi yang terbuang di restoran, hotel, sekolah, hingga dapur rumah tangga.
Makanan yang terbuang jelas merupakan soal lingkungan. Sama halnya dengan produksi beras di atas, makanan yang terbuang juga menyia-nyiakan energi dan air yang digunakan selama proses untuk membuatnya tumbuh, panen, transportasi, dan pengemasan. Makanan yang dibuang itu pada akhirnya memproduksi metan yang turut menyumbang emisi gas rumah kaca yang bikin panas planet bumi. Kurang lebih 10 % emisi Gas Rumah Kaca dapat dikurangi jika kita menata sistem pengelolaan makan agar lebih hemat dan berhenti membuang makanan. Di Amerika saja, emisi dari sampah makanan setara dengan emisi dari $ 32.6 juta kendaraan.
ADVERTISEMENT
Membuang makanan juga merupakan soal keadilan. Jumlah makanan yang berakhir di tong sampah seharusnya cukup untuk mengatasi kelaparan di negeri-negeri yang mengalami krisis. Sayangnya, hasrat untuk stok makanan menjadi gelombang baru, meskipun pada akhirnya hanya menjadi riasan semata. Distribusi yang sering jadi momok keadilan, seringkali bukan soal jalur transportasi yang buntu, tapi kikir dan rakus adalah motif utama. Makanan bukan lagi soal konsumsi tapi gaya. Pernah ada laporan sebuah media mengenai kelompok arisan sosialita di Jakarta yang menghidangkan makanan mewah di restoran bukan untuk dihabiskan tapi sekadar buat foto-foto.
Lebih konyol lagi, kita bicara lingkungan hidup tetapi enggan mengoreksi piring sendiri. Banyak pakar yang belepotan bicara neoliberalisme dan sibuk menuding tekanan pasar global sebagai pemicu kapitalisasi alam. Tetapi piringnya sendiri penuh dengan tumpukan daging impor yang sarat dengan beban emisi. Bagaimana bisa menuduh orang lain sedemikian rupa, tetapi diri sendiri adalah konsumen utama semua produk yang mencelakakan ibu bumi.
ADVERTISEMENT
Bicara ekologi dan keberlanjutan lingkungan seharusnya sejalan dengan konsumsi pribadi. Minimal dimulai dari piring sendiri yang dalam isu lingkungan lebih sering tidak dianggap. Tetapi konsumsi tiap rumah tangga amat menentukan konsumsi global yang membuat bumi tertatih-tatih hari ini. Menentukan menu makan tidak perlu teori-teori hebat. Sederhana saja. Makanan lokal tidak perlu ongkos kargo. Selain menghidupi ekonomi petani setempat, makanan seperti talas, pisang, jagung, umbi-umbian dan sejenisnya dijamin lebih sehat bagi diri dan lingkungan.
Sejalan dengan kesadaran bumi sebagai rumah bersama, pilihan makanan lokal mengurangi beban bumi. Yang utama dan pertama-tama dalam urusan itu adalah perilaku diri dari masing-masing orang, bukan perilaku orang lain. Tidak perlu besar. Cukup dari piring masing-masing.
ADVERTISEMENT