Konten dari Pengguna

Makanan Sehat dan Rendah Emisi

Steni Bernadinus
Pegiat Lingkungan Hidup. Menekuni upaya keberlanjutan, terutama sertifikasi bagi petani kecil dan petani asli
2 Juni 2024 15:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Steni Bernadinus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi makanan 4 sehat 5 sempurna. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi makanan 4 sehat 5 sempurna. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak lama, berbagai kelompok gerakkan peduli lingkungan meyakini bahwa penggantian menu makan akan membantu mengurangi emisi perubahan iklim, sekaligus menjamin nutrisi yang sehat. Pertanyaannya, makanan seperti apa yang bisa mengurangi emisi sekaligus bikin sehat? Bukankah setiap produk makanan di supermarket hari ini melibatkan berbagai racikan industri yang sarat emisi dan masalah kesehatan?
ADVERTISEMENT
Penulis seperti Hannah Ritchie menyarankan agar jangan tergoda dengan tagline seperti makan dari pangan lokal karena sumber lokal belum tentu ramah lingkungan. Ritchie mengatakan bahwa tidak seperti yang diduga banyak orang, perbedaan emisi transportasi pangan lokal dan global hanya kurang dari 1 %. Ritchie mencontohkan orang Inggris yang mengkonsumsi sekilo daging sapi lokal dan mereka yang mengimpor dari Amerika, selisih emisi mereka hanya berjarak 0,55 kg CO2. Menu sapi Amerika berkontribusi 60,35 kg CO2eq, sementara sapi lokal Inggris setara dengan 59,8 kg CO2eq.
Meski demikian, konsumen yang peduli terhadap dampak lingkungan dari konsumsi mereka dapat menyeleksi makanan berdasarkan kontribusi rata-rata tiap jenis makanan terhadap emisi. Studi Joseph Poore dan Thomas Nemecek tahun 2018 membantu konsumen untuk memahami pilihan tersebut. Dua peneliti ini mengidentifikasi lebih dari 38.000 pertanian komersial di 119 negara. Dari hasil perhitungan mereka, sapi menempati urutan tertinggi penyumbang emisi yakni 60 kg CO2eq, diikuti kambing dan domba 24 kg CO2eq, berikutnya adalah keju dan produk susu, yang masing-masingnya menyumbang 21 kg CO2eq. Urutan berikutnya adalah coklat (19 kg CO2eq), kopi (17 kg CO2eq), udang (12 kg CO2eq). Sisanya masing-masing kurang dari 10 kg CO2, termasuk minyak kelapa sawit, daging babi, unggas, minyak zaitun, ikan budidaya, telur, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Mengetahui emisi dari tiap-tiap jenis makanan tentu tidak cukup, karena beberapa jenis makanan seringkali merupakan resep medis untuk mengatasi suatu penyakit tertentu. Sehingga, konsumen tetap berharap mendapatkan makanan yang memiliki kadar nutrisi yang sama tetapi dengan emisi yang rendah. Studi dari Allison Gaines dkk terhadap emisi makanan di Australia yang dipublikasikan oleh Jurnal Nature Food baru-baru ini menjawab pertanyaan ini. Para peneliti mengidentifikasi 23.550 produk makanan dan melakukan perbandingan emisi dan juga kemiripan nutrisi yang dapat menjadi pertimbangan bagi konsumen yang ingin memilih dua manfaat sekaligus: ramah lingkungan dan tetap bergizi.
Sama dengan studi sebelumnya, Gaines dkk menunjukkan bahwa produk daging menyumbang hampir setengah (49%) dari semua emisi gas rumah kaca, meskipun hanya mencakup 11% dari total pembelian rumah tangga. Sebaliknya, buah, sayur, kacang-kacangan menyumbang seperempat (25%) dari semua pembelian produk, tetapi hanya bertanggung jawab atas 5% emisi.
ADVERTISEMENT
Para peneliti juga melakukan simulasi yang pada akhirnya menunjukkan bahwa konsumen yang mengganti produk makanan beremisi tinggi ke produk sejenis dengan emisi yang lebih rendah, hanya menyumbang sedikit pengurangan emisi. Misalnya, jika konsumen mengalihkan 25 % makanannya maka pengurangan emisi akan mencapai 3,3 %. Namun jika pengalihan itu menjadi 95 % maka pengurangan emisi dapat mencapai 26,6 %. Pengurangan ini tidak menimbulkan pengurangan profil nutrisi yang dibutuhkan konsumen.
Simulasi para peneliti menganjurkan konsumen untuk mulai memilih makanan yang tidak mirip karena berkontribusi mengurangi emisi lebih besar. Dalam perhitungan mereka, pergantian 25 % saja dapat mengurangi emisi 16,6 %. Jika upaya itu ditekan hingga 95 % maka pengurangan emisi makanan bisa menjadi 70,6 %. Sama seperti skenario sebelumnya, pengurangan ini tidak menurunkan kelas nutrisi. Malahan, perubahan 75 % pada kategori yang tidak mirip justru memberikan opsi nutrisi yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Studi-studi ini memberikan indikasi bahwa gerakan peduli lingkungan dan kebijakan harus sudah mulai memikirkan secara serius strategi perubahan jenis makanan. Pilihan ini dapat dikerjasamakan dengan strategi kesehatan, yakni memilih makanan yang sehat sekaligus pada saat yang sama, makanan yang ramah lingkungan. Ini dapat dilakukan, karena bisa dikaitkan dengan berbagai perilaku individu, bahkan dapat diarahkan oleh dogma keagamaan. Misalnya, agama menganjurkan puasa dan mengganti jenis makanan tertentu. Lebih dari itu, strategi mengubah makanan berada dalam jangkauan tiap-tiap orang. Tidak perlu bicara kebijakan besar untuk mengubah menu makan. Cukup dimulai dari sikap pribadi.