Pasang Surut Investasi Energi Baru Terbarukan

Btari Kallista Herbrasya
Final Year Environmental Engineering Student at Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
9 September 2021 12:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Btari Kallista Herbrasya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Illustrasi Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan di Indonesia.
zoom-in-whitePerbesar
Illustrasi Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) kian masif di Indonesia, perwujudan komitmen Indonesia dalam rangka menurunkan emisi gas rumah kaca dalam Paris Agreement. Namun, untuk mencapai status net-zero emission, Indonesia masih harus menempuh jalan panjang. Guna mencapai status tersebut, maka minimal 80% pasokan listrik berasal dari pembangkit energi baru terbarukan di tahun 2050.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, hingga tahun 2020, dari 417 Giga Watt potensi EBT yang tersedia di Indonesia, pemanfaatannya masih sangat minim yakni sebesar 10,4 Giga Watt atau sekitar 2,5% nya saja. Lantas, hal apa yang sebenarnya menjadi kendala perkembangan pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia?
Investasi tampaknya menjadi salah satu kunci. Tak banyak pemilik modal yang mempertaruhkan untuk berinvestasi di Indonesia. Padahal, untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23% dari total produksi energi pada tahun 2025, diperlukan investasi sebesar USD 75 – 120 Miliar. Target ini terancam tidak dapat terpenuhi dikarenakan rendahnya minat investasi EBT di Indonesia. Belum lagi ditambah merebaknya virus COVID-19 yang menghambat berjalannya proyek pembuatan pembangkit listrik EBT.
Jika dilihat dari segi tarif pembiayaan, EBT dinilai tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan energi fosil. Merujuk kepada data yang diperoleh dari The International Renewable Energy Agency (IRENA), tercatat biaya pembangunan infrastruktur pembangkitan EBT nilainya dari tahun ke tahun semakin menurun seiring dengan berkembangnya teknologi dan demand yang semakin tinggi. Namun, apabila dibandingkan dengan biaya pembangunan infrastruktur PLTU maka biaya tersebut tetap tergolong mahal. Hal ini berdampak pada tarif listrik yang ditawarkan dari pembangkit EBT harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tarif listrik dari PLTU.
ADVERTISEMENT
Risiko lain yang dapat menjadi penghalang investasi pihak swasta di sektor EBT antara lain profil risiko pengembalian proyek energi terbarukan yang kurang menarik dikarenakan nilai Return of Investment (RoI) yang rendah. Beberapa faktor di atas menyebabkan para investor cenderung berinvestasi di sektor batubara dikarenakan hasilnya dapat dituai secara mudah dan cepat.
Regulasi juga berperan penting dalam mendukung terciptanya iklim investasi yang kondusif di sektor EBT. Disharmoni regulasi yang bersifat lintas sektoral terutama yang terkait dengan mekanisme penetapan harga jual EBT dapat menjadi salah satu faktor penghambat upaya peningkatan investasi di bidang tersebut.
Sebelumnya, dalam PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional disebutkan bahwa untuk mewujudkan pasar tenaga listrik maka ditetapkan mekanisme feed-in tarrif guna menetapkan harga jual listrik energi terbarukan. Mekanisme feed-in tarrif dinilai mampu mempercepat investasi teknologi energi terbarukan karena memberikan kepastian harga kepada para investor.
ADVERTISEMENT
Namun, pada Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 yang telah direvisi menjadi Permen ESDM No.4 Tahun 2020 tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik, mekanisme pembelian tenaga listrik oleh PT.PLN justru merujuk kepada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan listrik setempat/lokal, yang dinilai penuh ketidakpastian.
Mendengar kalangan pengusaha, pemerintah tengah menyiapkan skema penggantian biaya bagi badan usaha yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Pada RUU EBT, apabila harga listrik yang bersumber dari energi terbarukan lebih tinggi dari BPP pembangkit listrik PLN, maka pemerintah pusat berkewajiban untuk memberikan pengembalian selisih harga energi terbarukan dengan biaya pokok penyediaan pembangkit listrik setempat kepada perusahaan listrik milik negara dan/atau badan usaha terkait.
ADVERTISEMENT
Dalam mengakselerasi investasi EBT, kita dapat berkaca ke negara tetangga yang telah sukses mengakselerasi pengembangan energi terbarukan yakni Vietnam. Menurut Vice Director of Business Department of Vietnam Electricity Group (EVN), Tran Viet Nguyen, Kebijakan pemerintah Vietnam dinilai memudahkan Vietnam Electricity (EVN), perusahaan listrik negara Vietnam, untuk mengembangkan energi terbarukan.
Pemerintah Vietnam sendiri telah mengesahkan keputusan 13 (Decision 13) yang memberikan insentif berupa feed-in tariff untuk berbagai jenis pemanfaatan energi surya, mulai dari solar farm, floating solar hingga PLTS atap. Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Vietnam juga menawarkan beberapa jenis model bisnis yang bisa dipilih oleh pengembang sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Skema Capex atau Capital Expenditure memungkinkan pengguna PLTS atap untuk menggunakan PLTS secara mandiri serta menjual kelebihan listrik ke EVN.
ADVERTISEMENT
Skema lainnya yakni direct/corporate power purchase agreement (direct PPA) yang merupakan perjanjian jual beli listrik antara perusahaan swasta penghasil listrik surya kepada pelanggan tanpa melalui EVN. Selain menawarkan beberapa skema bisnis untuk menarik para investor, pemerintah Vietnam juga mempermudah investor untuk memobilisasi pendanaan dari berbagai sumber serta mengeluarkan berbagai insentif perpajakan.
Apakah kita harus berkaca pada Vietnam, negara tetangga yang “outstanding” dalam pengelolaan suryanya? Bisa ya bisa tidak. Meskipun investasi EBT di Indonesia hingga kini belum berjalan secara optimal, dengan berbagai perangkat pendukung yang tengah disiapkan pemerintah seperti fasilitas pendanaan berbiaya rendah, peningkatan kapasitas pembangkit listrik EBT sesuai dengan RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) serta penerapan skema harga baru dalam mekanisme jual beli listrik diharapkan mampu membuat iklim investasi EBT di Indonesia semakin menarik ke depannya.
ADVERTISEMENT