Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Elektrifikasi Transportasi : Sebuah Solusi atau Menambah Polusi?
18 November 2024 11:14 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Fathi Khairi Agani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Polusi Sebagai Urgensi
ADVERTISEMENT
Polusi udara merupakan salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat (World Health Organization, 2024). Berdasarkan Indeks Kualitas Udara (AQI), Indonesia menempati peringkat ke-14 sebagai Negara dengan tingkat polusi tertinggi di dunia pada tahun 2023. Indonesia memiliki rata-rata polusi sebesar 37,1. Hal ini menggambarkan, Indonesia telah melampaui tujuh sampai sepuluh standar parameter udara yang telah ditetapkan oleh World Health Organization (WHO).
ADVERTISEMENT
Untuk mengakomodasi permasalahan ini, dunia termasuk Indonesia menggagas Net Zero Emission (NZE), yakni sebuah kondisi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2022). Program NZE marak digaungkan setelah diselenggarakannya Paris Climate Agreement yang menjadi tanda keseriusan pemerintah untuk mengentaskan polusi.
Sebagai bentuk implementasi, elektrifikasi transportasi dipilih menjadi solusi utama untuk mengurangi polusi karena kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi gas buang seperti karbon dioksida, nitrogen oksida, dan partikel lain yang berbahaya bagi kesehatan.
Kendati demikian, elektrifikasi transportasi dapat menjadi belati bermata dua, karena dalam implementasinya, terdapat efek negatif yang perlu diwaspadai. Maka dari itu, menjadi sebuah pertanyaan, elektrifikasi transportasi memang menjadi solusi, atau malah menambah polusi?
ADVERTISEMENT
Elektrifikasi Sebagai Solusi Atas Polusi Udara
Pengurangan emisi gas buang dari kendaraan tentu adalah keunggulan utama elektrifikasi transportasi. Kendaraan berbahan bakar fosil menyumbang emisi karbon. Sektor transportasi memberikan 27% dari emisi gas buang sektor energi di Indonesia menurut Institute for Essential Services Reform (2022). Proporsi emisi karbon dari transportasi jalan mencapai lebih dari 90% emisi karbon sektor transportasi tersebut.
Indonesia yang tergabung dalam NZE merumuskan Enhanced Nationally Determined Commitment (NDC). Dikutip dari situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia meningkatkan target penurunan emisi karbon dengan kemampuan sendiri dari sebesar 29% ke 31,89% dan dengan dukungan internasional target penurunan meningkat dari sebesar 41% ke 43,2% dalam Enhanced NDC tahun 2022.
Peningkatan target ini menyesuaikan kebijakan percepatan penggunaan kendaraan listrik. Hal tersebut menandakan upaya transisi dari kendaraan berbahan bakar fosil menuju kendaraan listrik untuk menekan emisi karbon.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pemerintah yang dimaksud dapat ditemukan di Tahun 2019. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 terbit dengan tujuan mempercepat program kendaraan listrik. Kebijakan tersebut diperbarui dengan Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023. Pasal 17 dari Peraturan Presiden tersebut mencakup pemberian insentif fiskal dan nonfiskal, baik untuk penggunaan serta produksi kendaraan listrik, industri baterai, hingga stasiun pengisian daya.
Pemerintah daerah juga diberikan ruang untuk memberikan insentif. Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021, kendaraan listrik disediakan insentif berupa Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang lebih rendah.
Selain insentif terkait pajak, kendaraan listrik diberikan pengecualian dari pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil genap. Insentif tersebut dapat ditemukan di Jakarta yang mulai berlaku sejak adanya Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Potensi Permasalahan yang Timbul
Elektrifikasi transportasi ditunjang dengan berbagai insentif guna menarik minat masyarakat untuk membeli dan menggunakan kendaraan listrik. Diharapkan akan terjadi shifting atau peralihan, dari penggunaan mobil konvensional berbahan bakar fosil menjadi mobil listrik.
Sejatinya, makna shifting dapat terealisasi apabila masyarakat menjual mobil konvensionalnya, kemudian menggantinya dengan membeli mobil listrik. Lain halnya dengan masyarakat yang sudah memiliki mobil konvensional, kemudian membeli mobil listrik sebagai mobil sekunder.
Sebagai contoh, masyarakat membeli mobil listrik untuk menghindari kebijakan lalu lintas ganjil-genap. Dalam kondisi ini, masyarakat akan menggunakan kedua mobilnya secara bergantian. Alhasil bukanlah shifting, namun penumpukan kendaraan di Indonesia menjadi hal baru yang lebih genting. Jumlah kendaraan yang menumpuk akan menimbulkan kemacetan. Kemacetan bermuara pada polusi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, transportasi bukanlah satu-satunya penyebab persoalan polusi udara di Jakarta. Proses penyediaan tenaga listrik sebagai pilar penyokong elektrifikasi transportasi pun perlu menjadi sorotan. Dikutip melalui laman resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, saat ini hampir 60% atau sekitar 91 GW pembangkit listrik Indonesia berasal dari batu bara.
Seperti yang kita ketahui, penggunaan batu bara dapat menimbulkan sejumlah dampak negatif, salah satunya adalah emisi karbon. Penelitian yang dilakukan oleh Centre for Research on Energy and Clean Air pada tahun 2020 menyebutkan bahwa polusi udara di Jakarta juga disumbang oleh aktivitas PLTU yang lebih dari 50% persebarannya berada di wilayah Banten dan Jawa Barat.
Peningkatan kendaraan listrik menyebabkan PLTU membakar lebih banyak batu bara untuk ketersediaan listrik. Kondisi ini akan menyebabkan shifting, dari emisi karbon yang tadinya dihasilkan dari knalpot kendaraan ke cerobong asap PLTU. Pada akhirnya, emisi karbon dan polusi udara menjadi lingkaran setan yang tak kunjung usai.
ADVERTISEMENT
Isu pencemaran lingkungan tidak berhenti pada emisi karbon dari PLTU. Baterai tidak selamanya terpakai dan akan berakhir sebagai limbah. Proyeksi Crespo, González, dan Peiró (2022) menyatakan baterai kendaraan listrik yang berada pada akhir masa pakai dapat meningkat 72 kali lipat pada 2040. Banyaknya jumlah tersebut menjadi urgensi tersendiri untuk bersiap mengolah limbah baterai.
Bahan-bahan yang berbahaya terkandung di dalam baterai. Kandungan logam berat seperti nikel, tembaga, dan lithium serta ion dan elektrolit beracun dapat mengontaminasi tanah dan air (Amusa et al., 2024). Dengan begitu, limbah baterai tidak dapat diolah sama dengan limbah lainnya.
Limbah baterai dapat diolah agar lebih ramah lingkungan untuk dibuang. Daur ulang menjadi cara penting dalam menetralkan limbah berbahaya (Pigłowska et al., 2021). Namun, Pengolahan tersebut tidak berarti lingkungan terbebas dari ancaman. Berdasarkan temuan Xiaodong dan Ishchenko (2024), proses pengolahan limbah baterai berdampak negatif dari gas buang saat proses pyrolysis untuk memecah komponen dalam baterai, perubahan material baterai penggunaan reagen kimia yang berbahaya, dan kesulitan pengolahan limbah asam setelah diambilnya cairan dari baterai.
ADVERTISEMENT
Apa yang Dapat Dilakukan Indonesia?
Tantangan yang timbul tersebut memang berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Namun, bukan berarti adopsi mobil listrik dihentikan begitu saja. Pencegahan dampak lingkungan dari penggunaan baterai dan produksi listrik untuk konsumsi kendaraan listrik dapat dilakukan.
Langkah pencegahan tidak lepas dari adanya kebijakan yang melek terhadap potensi tersebut. Teknologi daur ulang limbah baterai memiliki harapan. Industri pendaurulangan limbah baterai tidak lupa diberikan insentif yang sesuai sehingga mudah beroperasi dengan teknologi yang lebih ramah lingkungan.
Produksi listrik yang menghasilkan emisi karbon juga mempunyai alternatif. Indonesia sudah mempunyai energi bersih dalam menghasilkan listrik. Dengan begitu, dukungan terhadap proses yang energi bersih dapat diberikan bersamaan dengan percepatan penggunaan kendaraan listrik.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pemberian insentif sejatinya mendorong shifting atau peralihan. Insentif tidak hanya membuat konsumsi mobil listrik meningkat, tetapi juga menurunkan penggunaan mobil berbahan bakar fosil.
Emisi karbon yang masih terjadi dalam industri yang terkait mobil listrik juga dapat dikendalikan oleh Pajak Karbon. Di tahun 2022, pajak karbon sendiri sudah mulai diterapkan bagi PLTU.
Sesuai dengan prinsip polluters pay, Emisi karbon dikendalikan dengan menambah biaya, dalam bentuk pajak, bagi suatu aktivitas sesuai emisi yang dihasilkan. Hasil pendapatan pajak karbon kemudian dimanfaatkan untuk penanggulangan dampak dari emisi karbon.
Jika sungguh-sungguh ingin mengurangi emisi karbon, Indonesia harus memikirkan apa yang dapat terjadi dengan adopsi kendaraan listrik. Harapan utama dari adopsi kendaraan listrik dapat terwujud apabila perhatian tetap diberikan bagi setiap aktivitas yang terkait. Dengan begitu, target Net Zero Emission dapat diraih tanpa menimbulkan masalah signifikan dari usaha mewujudkannya.
ADVERTISEMENT
Penulis:
Cecizia Almira Prayogi dan Fathi Khairi Agani adalah mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia