Startup Bubble, Apa Konsumen yang Salah?

Budhi Leksona Anwar
Mahasiswa Digital PR, Telkom University
Konten dari Pengguna
26 Juni 2022 13:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Budhi Leksona Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi food startup Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi food startup Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Baru-baru ini, ada banyak perusahaan rintisan teknologi (startup) di Indonesia yang melakukan PHK terhadap karyawannya. Jarak waktu yang berdekatan tersebut mengindikasikan adanya anomali yang terjadi pada atmosfer startup Indonesia. Bapak Hary Tanoe melalui unggahan Instagram-nya bahkan berpendapat bahwa era keemasan startup telah berakhir. Di sisi lain, analis Managing Partner Ideosource Edward Ismawan dalam Katadata berpendapat bahwa startup hanya sedang dilanda revolusi bisnis untuk menjadi lebih baik. Terlepas dari pendapat apa pun, ekosistem startup Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Adapun faktor dari fenomena tersebut, Managing Plug and Play Indonesia Wesley Harjono dalam CNBC berpendapat bahwa lingkungan startup global tengah melakukan penyesuaian valuasi market di era post-pandemi ini. Hal ini mengakibatkan para investor lebih berhati-hati dan selektif dalam menanamkan modalnya pada perusahaan baik itu perusahaan publik maupun rintisan teknologi (startup). Faktor profitabilitas startup juga menjadi pertimbangan investor sehingga kecenderungan investor untuk berinvestasi pada perusahaan startup menjadi berkurang.
Keadaan di mana sumber pendanaan startup yang sebagian besar bertumpu pada dana investor memaksa startup untuk melakukan efisiensi besar-besaran. Lay off karyawan startup ini merupakan imbas dari efisiensi besar-besaran tersebut. CEO Idcloudhost Alfian Pamungkas dalam Kompas berpendapat efisiensi ini dilakukan agar road to profitability semakin konkret. Startup yang tidak sedang pada early stage (awal perintisan) dengan tren “bakar uang” kini dituntut untuk mulai mengevaluasi bisnisnya untuk meneguhkan jalan menuju profitabilitas. Faktor lainnya memang tidak sesederhana itu, dampak pandemi hingga kenaikan nilai suku bunga dan sebagainya juga secara tidak langsung berkontribusi pada lesunya ekosistem start up.
ADVERTISEMENT
Dari semua faktor yang ada, CEO dan Founder E-Fishery Gibran Huzaifah melalui thread di Twitter-nya berpendapat bahwa selain investor dan founder start up, konsumen juga berperan dalam “meniup” gelembung start up ini. Tweet ini sempat viral dan menjadi perbincangan karena tone-nya yang seakan-akan menyalahkan konsumen. Meskipun pada akhirnya dikonfirmasi bahwa beliau tidak menyalahkan konsumen, tapi role konsumen pada bubble startup ini menarik untuk dibahas. Apakah benar konsumen perlu “disalahkan”?
Gibran menuturkan bahwa semua orang menyukai adanya promo, begitupun promo yang disediakan oleh startup ini. Pasar Indonesia dinilai mudah tertarik oleh promo dan cenderung memilih produk yang ada promonya dibanding dengan kualitas. Promo-promo ini memberikan growth instan bagi start up untuk mengakuisisi pasar sebesar-besarnya. Namun di saat yang bersamaan, banyak startup menggunakan strategi yang sama menjadikan dinamika akuisisi pasar menjadi sangat kompetitif dan mendorong start up untuk 'membakar' uang lebih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Karakteristik konsumen yang bermacam-macam itu merupakan hal yang berada di luar kendali start up. Kecenderungan perilaku konsumen untuk memilih produk atau jasa yang lebih murah memang merupakan sebuah kewajaran. Bahkan tidak jarang ditemui konsumen hanya memanfaatkan promonya saja tanpa meneruskan penggunaan produk startup. Berbagai macam risiko lainnya tentang perilaku konsumen perlu menjadi pertimbangan startup ketika menawarkan promo.
Sebenarnya, kultur dan ekosistem pasar yang serba promo ini sedikit banyaknya diciptakan oleh startup itu sendiri. Saking banyaknya, konsumen bahkan tidak lagi membanding-bandingkan kualitas tetapi promo apa yang ditawarkan. Serbuan promo produk startup juga memberikan kesan terhadap konsumen bahwa produk dan layanan digital itu serba murah dan selalu berpromo. Pasar yang digeluti startup akhirnya membentuk perilaku konsumen yang terbiasa dengan promo dan oportunis (cenderung tidak loyal). Gak ada promo besar, startup-nya sepi.
ADVERTISEMENT
Medan pertempuran startup untuk mengakuisisi pasar tidak berakhir sampai di situ. Selain promo, startup yang bertahan juga harus memiliki value uniknya tersendiri di mata konsumen. Jika promo dirasa kurang untuk menjadi pembanding, maka pembanding selanjutnya adalah value. Preferensi konsumen dalam memilih jasa atau produk start up juga disesuaikan dengan apa yang mereka percayai.
Konsumen memang betul mengambil peran dalam bubble startup ini, namun seperti yang dituturkan oleh Gibran Huzaifah bahwa founder dan investor tetap menjadi pemeran kunci dalam adanya fenomena bubble ini. Seperti bisnis pada umumnya, startup tidak bisa memaksakan ekspektasinya terhadap konsumen. Evaluasi hal-hal fundamental bisnis seperti model bisnis, strategi, dll. perlu menjadi perhatian utama.
Artikel berjudul Understanding and shaping consumer behavior in the next normal yang diterbitkan oleh McKinsey membahas bagaimana peran hubungan antara konsumen dengan perusahaan saat ini. Dikatakan bahwa perusahaan yang mengembangkan pemahaman atas keyakinan (value) yang dinamis didasarkan pada basis kebiasaan konsumen mereka, cenderung berada di posisi terbaik untuk berkembang secara berkelanjutan. Hal tersebut dicapai dengan menyesuaikan penawaran produk, menghadirkan pengalaman pelanggan yang berkesan, dan komunikasi pemasaran yang tepat dengan target pasar. Alih-alih ‘memojokkan’ konsumen, in-depth research terhadap perilaku konsumen seharusnya lebih lebih diutamakan.
Grafik Growth, sumber: SEQUOIA Capital
SEQUOIA Capital dalam rilisnya yang berjudul Adapting to Endure mengomentari bagaimana growth at all cost atau bakar duit tidak lagi menjadi primadona strategi startup. Growth yang diharapkan startup ternyata berada di bawah rata-rata dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Ketidakpastian keadaan ekonomi makro seperti inflasi, kenaikan suku bunga, dan perang menjadikan investor lebih selektif mencari perusahaan yang dapat menghadirkan kepastian jangka pendek. Hal tersebut juga yang menyebabkan investor tidak lagi memprioritaskan growth dan mendanai lebih sedikit untuk growth start up.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, startup merupakan bisnis di mana tujuan akhirnya adalah profit. Model bisnis dan strategi bisnis yang mutakhir juga pada akhirnya tetap menjadi fondasi dasar kesuksesan startup. Selain itu, faktor penting lainnya seperti regulasi, inovasi, dan tanggung jawab pada ekosistem startup perlu menjadi perhatian. Dengan demikian, bisnis yang dijalankan startup di Indonesia menjadi lebih sehat, teratur, dan berkelanjutan serta menguntungkan berbagai pihak.