Konten dari Pengguna

Coaching untuk Supervisi Akademik yang Berpihak kepada Murid

Budi Ediya
Guru Ekonomi dan PKWU di SMA Negeri 1 Kota Sukabumi, Hobby Desain PowerPoint, Ketua PD IGI Kota Sukabumi,
7 September 2023 9:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Budi Ediya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Proses pelaksanaan Supervisi akademik dengan pendekatan coaching. Sumber: Koleksi Photo Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Proses pelaksanaan Supervisi akademik dengan pendekatan coaching. Sumber: Koleksi Photo Pribadi
ADVERTISEMENT
Supervisi akademik berkaitan erat dengan pembelajaran berkualitas, karena proses pembelajaran yang berkualitas memerlukan guru yang profesional, dan guru profesioanl dapat dibentuk melalui supervisi akademik yang efektif. Supervisi akademik ini dilakukan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid.
ADVERTISEMENT
Supervisi akademik ini digunakan kepala sekolah untuk mendorong ruang perbaikan dan pengembangan diri guru di sekolahnya.
Lalu, kepala sekolah seperti apakah yang dapat mendorong kita sebagai warga sekolah untuk selalu mengembangkan kompetensi diri dan senantiasa memiliki growth mindset, serta keberpihakan pada murid?
Jawabannya adalah pemimpin sekolah yang dapat mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi diri dan orang lain dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
Salah satu pendekatan yang memberdayakan adalah coaching, sebagaimana Whitmore (2003) ungkapkan bahwa coaching adalah kunci pembuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya.

Apa yang Dimaksud dengan Coaching?

Supervisi akademik oleh Kepala Sekolah kepada Guru. Sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-orang-orang-wanita-meja-tulis-5415447/
Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, di mana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999).
ADVERTISEMENT
Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya, International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai “…bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”

Coaching dalam Konsep Pendidikan

Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun’ tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. Oleh sebab itu keterampilan coaching perlu dimiliki para pendidik untuk menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat.
Proses coaching sebagai komunikasi pembelajaran antara guru dan murid, murid diberikan ruang kebebasan untuk menemukan kekuatan dirinya dan peran pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan memberdayakan potensi yang ada agar murid tidak kehilangan arah dan menemukan kekuatan dirinya tanpa membahayakan dirinya.
ADVERTISEMENT
Dalam relasi guru dengan guru (rekan sejawat), seorang coach juga dapat membantu seorang coachee untuk menemukan kekuatan dirinya dalam pembelajaran. Pendekatan komunikasi dengan proses coaching merupakan sebuah dialog antara seorang coach dan coachee yang terjadi secara emansipatif dalam sebuah ruang perjumpaan yang penuh kasih dan persaudaraan.

Paradigma Berpikir dan Prinsip Coaching

Contoh pelaksanaan Coaching. Sumber: Koleksi Photo Pribadi
Membantu rekan sejawat dalam pengembangan diri mereka dan menjadi otonom, maka dalam pelaksanaan coaching sebagai guru atau sebagai kepala sekolah harus memiliki paradigma berpikir coaching.
Paradigma tersebut yakni; pertama, fokus pada coachee atau rekan sejawat, pada saat kita mengembangkan kompetensi rekan sejawat kita, kita memusatkan perhatian kita pada rekan yang kita kembangkan, bukan pada "situasi" yang dibawanya dalam percakapan.
ADVERTISEMENT
Paradigma berpikir yang kedua adalah bersifat terbuka dan ingin tahu. Kita perlu berpikiran terbuka terhadap pemikiran-pemikiran rekan sejawat yang kita kembangkan.
Paradigma berpikir coaching yang ketiga adalah memiliki kesadaran diri yang kuat. Kesadaran diri yang kuat membantu kita untuk bisa menangkap adanya perubahan yang terjadi selama pembicaraan dengan rekan sejawat. Kita perlu mampu menangkap adanya emosi/energi yang timbul dan mempengaruhi percakapan, baik dari dalam diri sendiri maupun dari rekan kita.
Paradigma berpikir coaching yang keempat adalah mampu melihat peluang baru dan masa depan. Kita harus mampu melihat peluang perkembangan yang ada dan juga bisa membawa rekan kita melihat masa depan.
Coaching mendorong seseorang untuk fokus pada masa depan, karena apa pun situasinya saat ini, yang masih bisa diubah adalah masa depan. Coaching juga mendorong seseorang untuk fokus pada solusi, bukan pada masalah, karena pada saat kita berfokus pada solusi, kita menjadi lebih bersemangat dibandingkan jika kita berfokus pada masalah.
ADVERTISEMENT
Prinsip coaching dikembangkan dari tiga kata/frasa kunci pada definisi coaching, yaitu “kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi”. Dalam berinteraksi dengan rekan sejawat atau siapa saja, kita dapat menggunakan ketiga prinsip coaching tersebut dalam rangka memberdayakan orang yang sedang kita ajak berinteraksi.

Prinsip dan Paradigma Berpikir Coaching dalam Supervisi Akademik

Contoh pelaksanaan coaching untuk rekan sejawat. Sumber: Koleksi Photo Pribadi
Supervisi akademik yang dilakukan di setiap sekolah dalam mengembangkan kompetensi guru bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses belajar di kelas. Prinsip dan paradigma berpikir coaching sangat bisa digunakan dalam melaksanakan supervisi yang didasarkan pada semangat yang memberdayakan bukan mengevaluasi.
Costa dan Garmston (2016) menyampaikan bahwa kita bisa memberdayakan guru melalui coaching, kolaborasi, konsultasi, dan evaluasi, yang interaksinya bergantung kepada tujuan dan hasil yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
Namun, posisi awal yang kita ambil adalah posisi sebagai seorang coach, sebelum kita mengetahui tujuan dan hasil yang diharapkan oleh guru yang akan kita berdayakan. Oleh sebab itu, prinsip dan paradigma berpikir coaching ini perlu selalu ada sebelum kita memberdayakan seseorang.
Supervisi akademik perlu dimaknai secara positif sebagai kegiatan berkelanjutan yang meningkatkan kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran yakni pembelajaran yang berpihak pada anak.
Karenanya kegiatan supervisi akademik hanya memiliki sebuah tujuan yakni pemberdayaan dan pengembangan kompetensi diri dalam rangka peningkatan performa mengajar dan mencapai tujuan pembelajaran (Glickman, 2007, Daresh, 2001).
Dalam pelaksanaannya, tidak bisa kita pungkiri bahwa seringkali supervisi akademik dilihat sebagai sebuah proses yang bersifat satu arah. Apalagi jika supervisi akademik ini hanya terjadi satu tahun sekali menjelang akhir tahun pelajaran.
ADVERTISEMENT
Supervisi menjadi sebuah tagihan atau kewajiban para pemimpin sekolah dalam tanggung jawabnya mengevaluasi para tenaga pendidik. Saatnya sekarang kita mengembalikan semangat supervisi akademik mula-mula dengan melihat dan berpikir dengan menggunakan kacamata dan topi seorang coach: supervisi akademik sebagai proses berkelanjutan yang memberdayakan.
Kualitas pengajaran atau akademik guru diharapkan meningkat melalui supervisi akademik, namun hal ini tidak berarti supervisi akademik hanya berfokus pada peningkatan keterampilan dan pengetahuan semata.
Kualitas guru yang diharapkan untuk berkembang juga termasuk di dalamnya peningkatan motivasi atau komitmen diri. Kualitas pembelajaran meningkat seiring meningkatnya motivasi kerja para guru.

Kepala Sekolah sebagai Coach

Pengembangan mutu pembelajaran dengan coaching oleh Kepala Sekolah. Sumber: Koleksi Photo Pribadi
Dalam menjalankan peran sebagai kepala sekolah dan supervisor. Dapatkah seorang pemimpin dapat menjadi seorang evaluator atau penilai dan coach dalam menjalankan perannya? Jawabannya, Ya.
ADVERTISEMENT
Carl Glickman (1985) dari Universitas Georgia mengatakan bahwa hal ini mungkin terjadi jika: pertama, adanya rasa percaya dalam hubungan supervisor dan guru serta dalam proses supervisi akademik ini; kedua, guru menyadari dan memahami peran yang sedang ditunjukkan oleh kepala sekolah; dan ketiga, peran kepala sekolah tulus dan disesuaikan dengan kebutuhan yang ada.
Ketika menjadi sedang dalam kebutuhan untuk evaluasi, hanya perilaku sebagai evaluator yang ditunjukkan. Ketika sedang melakukan percakapan coaching, maka perilaku seorang coach-lah yang ditampilkan.
Begitu pula dengan peran lainnya yang mungkin dibutuhkan seperti konsultan atau trainer. Terlepas dari proses supervisi akademik, kepala sekolah perlu menginformasikan pada coachee mengenai peran yang sedang dilakukan.
Percakapan-percakapan coaching membantu para guru berpikir lebih dalam (metakognisi) dalam menggali potensi yang ada dalam diri dan komunitas sekolahnya sekaligus menghadirkan motivasi internal sebagai individu pembelajar yang berkelanjutan yang akan diwujudnyatakan dalam buah pikir dan aksi nyata demi tercapainya pembelajaran yang berpihak pada murid.
ADVERTISEMENT