Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memanusiakan Monyet, Memonyetkan Manusia: Memaknai Hari Primata Nasional
31 Januari 2024 5:51 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Budi Gustaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada suatu siang di salah satu pemberhentian lampu merah, ada sebuah hiburan tepat di pinggir zebra cross. ‘Seekor’ penari sedang unjuk kebolehan diiringi dentingan alat musik tradisional, dengan tatapan para pengendara yang berhenti, menyimak, dan mengembangkan senyum. Kemudian, sang penari yang terkekang ikut berkeliling sembari tuannya menghantarkan gelas plastik bekas yang berisi uang recehan. Suatu pertunjukan yang cukup menghibur di tengah teriknya hari: topeng monyet.
ADVERTISEMENT
Sedikit membayangkan menjadi monyet penari itu berat karena merasakan panasnya aspal dan matahari, mengalami gertakan berulang kali, ditambah dengan imbalan yang mungkin tak seberapa. Apakah topeng monyet merupakan suatu pelanggaran? Nyatanya belum ada kesepahaman dan kesepakatan mengenai hiburan jalanan ini. Meskipun di beberapa tempat sudah ada razia topeng monyet karena menyalahi KUHP Nomor 302 yang mengatur penyiksaan hewan, Peraturan Kementan Nomor 95 Tahun 2012, serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Topeng monyet sejatinya adalah hiburan yang menyenangkan, dengan berbagai atraksi yang disuguhkan. Namun, di balik kegembiraan tersebut, ada benang merah kesedihan sebelum si monyet memulai ‘karier’ sebagai penghibur. Sebelum perform, monyet terlebih dahulu diburu, diangkut paksa, dan ‘dilatih’ sesuai dengan ‘prosedur yang berlaku’. Suatu hal yang nampaknya tidak lazim bagi satwa liar yang habitatnya adalah alam bebas. Jika menggunakan kacamata ‘perikesatwaan’, topeng monyet sudah cukup memenuhi kriteria kekerasan terhadap satwa. Sayangnya, monyet ekor panjang selaku talent bagi pertunjukan topeng monyet, bukan jenis primata yang dilindungi. Hal inilah yang setiap tahun selalu disuarakan saat peringatan Hari Primata Nasional setiap tanggal 30 Januari.
ADVERTISEMENT
Selain monyet ekor panjang, nasib miris juga menimpa primata lainnya, seperti orang utan. Jika berjelajah di laman maya, berbagai berita memilukan tentang orang utan bermunculan. Selain diburu karena dianggap hama perkebunan, orang utan pernah juga dibakar hidup-hidup, bahkan di antaranya diperlakukan seperti Pekerja Seks Komersial.
Derita Turun-Temurun
Sejatinya, orang utan beserta keluarga primata lain (kecuali monyet ekor panjang) mendapat pengakuan dan perlindungan hukum, khususnya sejak 2018 melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Namun, nyatanya legalitas di atas kertas tidak lantas membuat nasib mereka aman. Orang utan misalnya, IUCN (International Union for Conservation of Nature) telah menetapkan keduanya berstatus critically endangered atau kritis. Dilansir dari data terbaru BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) dan Mongabay, secara kuantitas, populasi Orang Utan Kalimantan saat ini dikisar berjumlah 57.350 individu, sedangkan populasi Orang Utan Sumatera hanya sekitar 13.710 individu. IUCN memperkirakan bahwa selama 75 tahun terakhir, Orang Utan Sumatera mengalami penurunan sebanyak 80%, sedang Orang Utan Kalimantan menyusut lebih dari 60% dalam 40 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Deforestasi menjadi faktor utama, selain faktor perburuan dan perdagangan gelap yang merajalela. Dalam buku Melestarikan Alam Indonesia, Jatna Supriatna menyebutkan bahwa pada awal 1990-an, sebanyak 1.000 individu orang utan telah menjadi satwa peliharaan di Taiwan. Mereka yang diperdagangkan umumnya masih berusia bayi, dan untuk mendapatkan bayi orang utan, minimal si pemburu harus membunuh induknya terlebih dahulu. Kerabat dekatnya sesama primata, yakni monyet dan kera, lebih dari 46.000 individu diekspor ke Inggris, Amerika Serikat, Belanda, Kanada, dan Jepang pada periode 1978-1981. Monyet-monyet itu dijadikan sebagai satwa percobaan laboratorium untuk menciptakan vaksin polio dan AIDS. Selain itu, sekitar tahun 2008, kera hitam ekor panjang setiap tahun diburu dan diperdagangkan untuk dikonsumsi.
Menilik jauh ke masa lalu, nasib menyedihkan primata sudah terjadi sejak masa kolonial. Peter Boomgaard dalam Oriental Nature its Friends and its Enemis: Conservation of Nature in Late Colonial Indonesia 1889-1949, menuturkan bahwa orang utan dari Sumatera dan Kalimantan banyak diburu dan diperdagangkan. Mereka ditangkap, dibawa secara paksa dalam kurungan, kemudian diangkut dengan kapal ke Eropa dan Amerika hingga berbulan-bulan lamanya. Mereka biasanya dijadikan sebagai peliharaan, hidangan restoran, bahan eksperimen medis, dan penghuni kebun binatang. Algemeen Handelsblad salah satu koran Belanda edisi 2 Oktober 1929 mencatat soal pengangkutan 30 orang utan hidup-hidup dari Deli Sumatera Timur ke Rotterdam selama tujuh hari. Sesampainya di Rotterdam, 20 hingga 25 individu orang utan mati, sementara sisanya ditawarkan untuk dijual. Kerabat dekatnya, yakni monyet dan kera bahkan sudah menjadi hidangan mewah, dengan menu spesial otak kera di restoran-restoran Hongkong dan Singapura.
ADVERTISEMENT
Eksploitasi primata, khususnya orang utan kemudian memunculkan protes dari pemerhati satwa dunia. Orang utan pun viral dengan munculnya artikel dalam Nieuwe Rotterdamsche Courant pada 14 Juli 1928. Artikel tersebut memuat surat yang mengatasnamakan Orang Utan Sumatera yang ditujukan kepada Menteri Koloni di Den Haag.
ADVERTISEMENT
Surat kaleng tersebut tersebar hingga ke Inggris, dan mendapat tanggapan dari Sir Herkest Bell, seorang mantan gubernur koloni Inggris. Ia menuliskan soal penderitaan yang dialami orang utan dalam pengangkutannya hingga ke Eropa. Sesampainya di Eropa, orang utan biasanya mati atau mengalami kelumpuhan. Akibat tekanan dari dunia internasional, Pemerintah Hindia Belanda kemudian memasukkan orang utan ke dalam list satwa liar yang dilindungi dalam Jachtordonantie 1924 (Undang-Undang Perburuan 1924), meski tidak menjadi jaminan lepas dari target perburuan dan perdagangan gelap.
Monyet pun Punya Perasaan
Salah satu esensi dalam ‘perikesatwaan’ adalah adanya analogi bahwa satwa memiliki kemampuan merasakan sakit, takut, lapar, haus, sedih, bahagia, seperti halnya manusia. Sayangnya, persepsi tersebut kurang lumrah di kalangan masyarakat. Ada kesan umum bahwa satwa hanya sekadar pelengkap hidup manusia yang bisa diperlakukan sesukanya.
ADVERTISEMENT
Kaidah animal welfare atau kesejahteraan satwa termaktub dalam lima asas penting bernama five freedom, yang dinyatakan oleh Farm Animal Welfare Council (FAWC) di Inggris pada 1979. Five freedom adalah parameter kesejahteraan satwa, yang mana satwa secara individu ataupun kelompok harus terbebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari kondisi yang tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, bebas mengekspresikan perilaku, serta bebas dari rasa takut. Semua ukuran kesejahteraan itu diterapkan pada penunjang-penunjang hidupnya, seperti makanan dan minuman (nutrisi), pengobatan, tempat hidup, termasuk perlakuan sehari-hari. Untuk satwa liar, kesejahteraan mereka diukur pula dari habitatnya. Rusaknya rumah (hutan) bagi satwa liar adalah keterancaman bagi spesies secara keseluruhan.
Jika dilacak akar sejarahnya, perspektif kesejahteraan satwa pada hakikatnya merupakan kultur Barat, yang menular ke Indonesia sejak masa kolonial, dan kemudian berangsur-angsur menjadi wacana global hingga masa sekarang. Indonesia berada pada fokus dunia internasional tentang kesejahteraan dan konservasi satwa, seiring dengan masifnya penggunaan satwa, dan tingginya angka keterancaman bagi kekayaan spesies endemik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Melalui perburuan dan perdagangan satwa, orang utan dan monyet ekor panjang adalah contoh primata yang ditransformasikan dari alam ke berbagai kepentingan komersil manusia yang besar. Hal yang pada dasarnya merupakan persoalan mentalitas, yang memerlukan berbagai proses edukasi berkelanjutan. Setidaknya, jika mentalitas perikesatwaan terbentuk kuat, mungkin tidak ada lagi tawa di atas pertunjukan topeng monyet ataupun perilaku manusia lain yang memperlakukan satwa di luar kelazimannya.
Peringatan Hari Primata Nasional setiap tanggal 30 Januari paling kurang menjadi suatu pengingat, dan lebihnya menjadi pemicu bagi perubahan ke arah yang lebih beradab. Dalam hal ini, Mahatma Gandhi menjadi benar bahwa 'kebesaran suatu bangsa beserta kemajuan moralnya dapat dilihat dari caranya memperlakukan satwa-satwanya’. Untuk saat ini, cukup monyet beserta kerabat dan koleganya yang menjadi pengingat tentang moralitas. Biarlah ‘monyet’ hanya menjadi ujaran kebencian di antara manusia yang bermoral. Jangan sampai ‘monyet’ (berbalik) menjadi seruan dan umpatan kepada manusia-manusia yang tidak memanusiakan monyet. Selamat Hari Primata Nasional.
ADVERTISEMENT