Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menakar Akar Konservasi Alam Indonesia
15 Agustus 2024 9:51 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Budi Gustaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 10 Agustus, seluruh jajaran konservasionis di Indonesia merayakan Hari Konservasi Alam Nasional, sekaligus memaknai dan merenungi hakikat konservasi dan pelaksanaannya di setiap penjuru negeri. Dengan mengusung tema ‘Aktualisasi Konservasi Alam pada Generasi Muda”, peringatan tahun 2024 memberi arti pada pemaknaan tentang pewarisan ide dan gagasan tentang pentingnya melindungi alam.
ADVERTISEMENT
Perlindungan alam sejatinya tidak hanya berkutat pada himbauan formal: ‘Dilarang membuang sampah ke sungai’ atau ‘Stop illegal logging!” - meski keduanya masih (terus menerus) menjadi masalah berkelanjutan. Lebih dari itu, alam beserta ekosistem di dalamnya adalah perenungan terdalam tentang sesuatu yang bernilai Ketuhanan, ‘rumah’ yang harus diwariskan, serta sosok ‘ibu’ yang harus dihormati dan dimuliakan. Namun, makna yang sakral tersebut sangat terlihat paradoks seiring dengan stigma ‘perusak’ yang melekat pada oknum-oknum perusak alam. Dalam hal ini, rasanya tidak salah jika sedikit belajar pada budaya dan sejarah.
Penularan dari Barat
Jauh sebelum Indonesia Merdeka, nilai-nilai konservasi alam sudah mulai diaktualisasikan di dunia Barat sejak abad ke-19, seiring dengan perubahan cara pandang masyarakat elit Barat tentang hakikat alam. Tulisan Paul Jepson dan Robert J. Whittaker yang berjudul “Histories of Protected Areas: Internationalisation of Conservationist Values and their Adoption in the Netherlands Indies (Indonesia)” (2002) menarasikan tentang perubahan cara pandang masyarakat elite Eropa terhadap alam. Suatu keresahan muncul dari sekelompok orang terkait industrialisasi yang merajalela di kota-kota besar Eropa. Kalangan Elite di Eropa memiliki tendensi untuk ‘melarikan diri’ dari hiruk pikuk kota yang tidak sehat, dan mencari tempat yang sunyi dan asri di wilayah hutan dan pegunungan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, para elite Barat - yang menamakan diri dan kelompoknya sebagai naturalis - memiliki kegandrungan terhadap eksplorasi alam. Mereka yang terdiri atas ilmuwan, aristokrat, penulis, dan petualang melakukan ekspedisi ke berbagai wilayah baru, berburu, serta membawa berbagai spesimen untuk diteliti dan dipajang di museum-museum Natural History di Eropa dan Amerika. Salah satu nama penting yang dalam konteks ini adalah Theodore Roosevelt yang mendirikan perkumpulan bernama Boone and Crockett Club. Kelompok yang terdiri atas para pemburu tersebut merasa bahwa perlahan satwa buruan mereka mulai habis karena perburuan yang tidak mengindahkan nilai-nilai pelestarian. Pada akhirnya, kelompok ini pun mulai bergerak melindungi satwa liar dari perburuan yang ‘barbar’, serta melindungi kawasan-kawasan yang menjadi habitat penting bagi satwa liar dan yang memiliki nilai eksotisme yang tinggi. Salah satu pencapaian Roosevelt bersama Boone and Crockett Club ialah mempelopori penetapan Yellowstone National Park sebagai kawasan yang dilindungi. Edmund Morris dalam bukunya The Rise of Theodore Roosevelt (2001), menyebutkan bahwa ide-ide Roosevelt ditularkan ke negara-negara Eropa hingga ke wilayah-wilayah koloninya di Asia dan Afrika.
ADVERTISEMENT
Selain di Amerika, gagasan untuk ‘monumentalisasi’ alam berkembang pula di Eropa, melalui gagasan seorang ahli hutan asal Jerman bernama Hugo Conwentz. Ia mengusung konsep ‘naturdenkmal’ dengan ide pokok: alam harus dimonumenkan, seperti halnya musik, literatur, bangunan kuno, dan orang terkenal. Hal ini ditujukan untuk menjaga dari kerusakan, serta memberi nilai patrioik untuk menghargai alam sebagai ‘rumah’. Kampanye Conwentz sampai pula ke Prancis, Swiss, Inggris, dan Belanda, yang kemudian membuka jalan ke tanah koloninya, Hindia Belanda (Indonesia). Perlahan, beberapa negara Eropa, seperti Belanda, mulai peduli dalam melindungi spesies yang rentan, serta mulai membentuk kawasan konservasi.
Gerakan Konservasi Kolonial
Jika membaca literatur atau menyaksikan film yang berlatar kehidupan bangsawan Eropa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, salah satu tampilan yang khas adalah topi perempuan yang banyak berhiaskan bulu-bulu burung. Gaya berpakaian yang lazim disebut Victorian style tersebut diproduksi rumah-rumah mode di Eropa, yang melakukan permintaan terhadap bahan baku bulu dari Timur, salah satunya bulu Cenderawasih. Robert Cribb dalam “Birds of paradise and environmental politics in colonial Indonesia, 1890-1931”, memetakan jaringan perdagangan cenderawasih, dengan proses di kawasan timur Indonesia sebagai penyedia bahan mentah. Harganya yang sangat tinggi menyebabkan terjadinya perburuan yang sistematis dan massif di akar rumput.
ADVERTISEMENT
Nyatanya, permintaan pasar yang besar bukan hanya terhadap bulu cenderawasih, tetapi juga bagian tubuh spesies endemik lainnya, seperti cula badak, gading gajah, tanduk dan kulit rusa, bahkan satwa liar yang masih hidup. Kondisi ini membuat Belanda dan koloninya di Hindia Timur menjadi sasaran kritik para konservasionis dunia. Meski pada akhirnya ‘luluh’, perlindungan satwa liar tidak serta merta langsung terlaksana, seiring dengan keuntungan yang besar bagi pihak koloni dari ladang perdagangan satwa liar. Konteks ini setidaknya adalah cerminan tentang adu kepentingan antara konservasi dan ekonomi, seperti yang lazim terjadi di masa kini.
Kondisi di dalam negeri pun tergerak dengan inisiasi pendirian perkumpulan Pelestari Alam Hindia Belanda (Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming) pada 1912 oleh Dr. Sijfert Hendrik Koorders. Dalam buku berjudul Sang Pelopor: Peranan Dr. S.H. Koorders dalam Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia, Pandji Yudhistira menerangkan peran sentral Koorders bersama perkumpulan tersebut. Ia melobi pemerintah kolonial untuk menelurkan undang-undang perlindungan spesies dan menetapkan banyak cagar alam untuk tujuan perlindungan kawasan. Bersama kolega dan suksesornya, seperti Dr. Jacob Kongingsberger dan Dr. Karel Dammerman, kerja keras Koorders membuahkan hasil dengan melobi pemerintah kolonial dalam penetapan 70 monumen alam hingga tahun 1925, dengan landasan Undang-Undang Monumen Alam 1916 (Natuurmonumen Ordonantie 1916). Nama-nama kawasan konservasi, seperti Ujungkulon, Pulau Komodo, Gunung Gede-Pangrango, Way Kambas, Sampit, Bantimurung, hingga Gunung Lorentz, adalah monumen alam yang diinisiasi dan dibentuk pada masa kolonial.
ADVERTISEMENT
Selain itu, berbagai satwa endemik Nusantara pun sudah mulai masuk daftar untuk dilindungi - melalui landasan Undang-Undang Perlindungan Mamalia dan Burung Liar 1909 dan Undang-Undang Perburuan 1924 – meskipun dalam pelaksanaannya beberapa spesies masih rentan diburu, bahkan satu diantaranya sudah dinyatakan punah, yakni harimau Jawa.
Meski masih berbenturan dengan pelbagai kepentingan ekonomi, kepedulian terhadap pelestarian alam sudah digagas secara politis sejak masa kolonial. Hal ini memperlihatkan warna tersendiri dari kolonialisme yang selama ini lekat dengan stigma eksploitatif. Dalam hal ini, kolonialisasi menjadi gerbang bagi masuknya isu-isu global yang konstruktif terhadap tanah koloni, yang secara esensi banyak terwariskan. Setidaknya, beberapa poin regulasi kolonial tentang perlindungan alam, serta hektaran kawasan konservasi adalah bentuk aktualisasi dari perspektif Barat dan kebijakan kolonial, yang secara fisik bisa dirasakan sekarang.
ADVERTISEMENT
Konservasi dari Kacamata Kelokalan
“Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati. Air matanya berlinang, mas intannya terkenang.” Pada penggalan lirik syahdu tersebut, ‘Ibu pertiwi’ adalah metafora tentang tanah air layaknya sosok ibu tempat mengayomi dan tempat kembali. Secara tekstual, Ibu pertiwi merujuk pada Dewi Prthvi yang berarti dewi bumi. Kerusakan pada ibu pertiwi menyebabkan kelukaan pada seluruh entitas makhluk yang bernaung padanya. Artinya, salah satu pemaknaan terdalam terhadap ibu pertiwi diaktualisasi dengan menjaga alam.
Sejatinya, konservasi atau perlindungan alam tidak melulu soal perspektif Barat. Meski belum terdokumentasikan secara utuh, setiap kultur di Indonesia mengajarkan tentang pentingnya memelihara alam, salah satunya masyarakat Sunda. Dalam konteks ruang, masyarakat Sunda memiliki sistem pemanfaatan lahan yang menekankan pada visi kesinambungan. Pepep dalam buku Sadar Kawasan (2021) menyebutkan bahwa dalam masyarakat Sunda memiliki 3 pembagian leuweung atau hutan, yakni leuweung titipan yang sifatnya sakral dan tidak boleh dimasuki bahkan dirambah, leuweung tutupan yang boleh digarap jika kondisi mendesak, serta leuweung garapan yang boleh dibudidayakan untuk kepentingan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Konsep di atas sejatinya adalah falsafah turun temurun guna melindungi masyarakat dari konsekuensi praktis akibat prilaku merusak alam. Dalam masyarakat adat Sunda, seperti Baduy dan Kampung Naga, falsafah ini masih terus dipegang teguh. Konsep leuweung larangan menciptakan kepatuhan seiring pembalutannya dengan berbagai mitos. Masyarakat Kampung Naga memiliki pantangan untuk tidak masuk ke dalam hutan larangan, dengan disertai dengan penanaman tentang sesuatu yang menakutkan, pamali, serta pelbagai konsekuensi negatif bagi si pelanggar. Mitos yang diwariskan berpuluh hingga beratus tahun tersebut pada dasarnya mengajarkan etika dan logika konservasi tentang keharusan menjaga sumber mata air, dan menghindarkan diri dari konsekuensi bencana.
Dalam konteks lainnya, masyarakat Sunda memiliki pepatah dalam pemanfaatan lahan yang disesuaikan dengan lanskap dan topogafinya.
ADVERTISEMENT
Gunung – kaian (gunung dihutankan);
Gawir – awian (tebing ditanami bambu);
Cunyusu – rumateun (mata air supaya dirawat);
Sampalan – kebonan (tanah kosong supaya dijadikan kebun);
Pasir–talunan (bukit supaya dijadikan wanatani/agroforest);
Dataran – sawahan (lahan datar supaya dijadikan sawah);
Lebak–caian (tempat rendah agar dipakai menyimpan air);
Legok – balongan (tempat cekung supaya dijadikan kolam);
Situ – pulasaraeun (danau/telaga supaya dipelihara);
Lembur – uruseun (desa supaya diurus);
Walungan – rumateun (sungai supaya dirawat);
Basisir – jagaeun (pesisir/pantai supaya dijaga).
Jika memaknai falsafah tersebut, isu lingkungan yang berhembus sekarang ini adalah suatu pemakluman. Longsor dan banjir adalah konsekuensi logis dari pemanfaatan tebing untuk pemukiman, serta pemanfaatan sungai sebagai tempat pembuangan limbah. Di Jawa Barat khususnya, isu banjir di Kota dan Kabupaten Bandung – yang merujuk pada alih fungsi lahan Bandung Utara dan pencemaran Sungai Citarum - dianggap sebagai serangkaian kekeliruan dalam memaknai siloka leluhur. Nampaknya, pola tersebut bisa jadi serupa dengan kondisi di wilayah Indonesia lainnya.
ADVERTISEMENT
Secara umum, perlindungan alam sejatinya telah mandarah daging dalam sejarah dan budaya Indonesia. Hanya saja, kepentingan ekonomi yang lebih besar selalu menampik makna penting kelestarian alam, disadari atau tidak. Akar masalah dari semua itu selalu merujuk pada ‘kurangnya kesadaran’, yang juga melulu bermuara pada ‘perlunya edukasi’. Bagaimana mengedukasi masyarakat agar alam tetap lestari? Pertanyaan yang nampaknya akan selalu menyertai peringatan Hari Konservasi Nasional setiap tahunnya. Pelan tapi pasti, semoga ibu pertiwi tidak lagi berlinang dan bersusah hati.
Budi Gustaman
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
Penulis Buku Kolonialisasi Satwa