Kartu Kuning Ketua BEM UI: Antara Kenaifan dan Kebodohan

Konten dari Pengguna
5 Februari 2018 20:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aksi seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang meniup peluit dan memberi kartu kuning bagi Presiden Jokowi menjadi viral di media sosial. 
Adalah Zaadit Taqwa, Ketua BEM Universitas Indonesia yang melakukan itu. Aksi tersebut dilakukan saat Presiden Jokowi memberikan pidato di acara Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia, Depok, pada Jumat (02/02).
ADVERTISEMENT
Tak pelak, ia pun memperoleh pujian, tentunya dari para pembenci Presiden Jokowi. Namun tampaknya lebih banyak yang mengecamnya di media sosial.
Kenapa? Karena masyarakat bisa menilai sendiri apa relevansi yang dikritiknya dengan kondisi di lapangan. Zaadit mengkritik soal gizi buruk di Asmat, Papua. Padahal dia sendiri belum pernah melakukan apa-apa sebagai kontribusi dan kepeduliannya pada masyarakat Papua.
Sedangkan, Pemerintah sudah melakukan berbagai usaha untuk menanggulangi itu. Baik dari segi pelayanan kesehatan, monitoring perbaikan gizi, hingga pembangunan infrastruktur ke daerah tersebut.
Diakui, masalah gizi buruk memang sangat kompleks. Itu melibatkan berbagai dimensi sosial. Maka pemerintahan Jokowi juga berusaha meng-cover itu.
Namun, seseorang yang hidupnya saja masih bergantung pada orang tua, sekaligus masih belajar sudah sok-sokan mengkritik, tanpa melihat kompleksitas masalahnya. Itu bisa dikatakan sangat naif.
ADVERTISEMENT
Apalagi di saat kejadian gizi buruk terjadi, BEM UI sebagai institusi mahasiswa juga tak melakukan kontribusi apa-apa. Sedangkan, universitas di Indonesia lainnya sudah melakukan aksi langsung, seperti UGM yang mengirim dua gelombang Disaster Response Unit (Deru) sejak 24 Januari lalu untuk turut membantu pemerintah menangani kejadian gizi buruk di Papua.
Selain itu, Universitas Hasanuddin Makasar juga sudah memberangkatkan 19 orang tim tanggap darurat ke Kabupaten Asmat yang tediri dari dokter senior dengan berbagai bidang, perawat, serta 6 orang profesor dari berbagai disiplin ilmu.
Semua itu dilakukan tanpa publikasi berlebihan. Mereka tak pernah melakukan pencitraan. Semuanya berjibaku membantu pemerintah tanpa pernah diliput media secara luas. Merekalah yang patut diapresiasi itu. Bukan mahasiswa pengkritik, yang tak tahu permasalahan di lapangan seperti Zaadit tersebut.
ADVERTISEMENT
Kita tentu berharap bahwa seorang mahasiswa itu menjadi tumpuan solusi di masa depan. Untuk itu seyogyanya mahasiswa bisa memberikan dampak yang positif bagi masyarakat, sesuai dengan salah satu isi tridharma-nya yaitu untuk mengabdi pada masyarakat.
Bukan justru hanya bisa mengkritik saja. Apalagi ikut melakukan aksi politis yang menyudutkan pemerintah dengan dalih yang tak jelas.
Kita patut waspada bahwa itu ditunggangi oleh kelompok politik tertentu yang menginginkan kegaduhan di masyarakat. Karena tanpa bisa kita bantah, organ mahasiswa seperti BEM UI itu banyak dipengaruhi oleh partai politik tertentu.
Untungnya kita punya Presiden seperti Pak Jokowi yang sangat santai menilai aksi mahasiswa tersebut. Ia tidak marah, justru sangat senang telah diingatkan.
ADVERTISEMENT
Presiden pun ingin mengajak Zaadit dan kawan-kawannya untuk pergi ke Asmat meninjau langsung situasi di sana. Itu agar Zaadit sebagai pemuda tidak naif dengan kritik dan protes-protesnya.
Itu juga agar Zaadit tidak hanya bisa memberikan kritik tanpa solusi yang ditawarkan. Kunjungan ke Asmat itu sebaiknya bisa dimanfaatkan agar yang bersangkutan bisa menawarkan solusi yang masuk akal bagi pemerintah.
Itulah sekelompok mahasiswa naif yang tersisa di dunia milenial saat ini. Ia tak paham bahwa realitas itu keras, dan hanya bisa meminta pada orang tuanya saja. Tapi tak apa, semoga kejadian kemarin bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.