Konten dari Pengguna

Penyalahgunaan “Uang Damai” Dalam Penegakan Hukum

Budi Suhariyanto
Peneliti pada Pusat Riset Hukum BRIN
18 Desember 2024 16:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Budi Suhariyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penyalahgunaan "Uang Damai" dalam beberapa waktu lalu telah menjadi berita viral terkait penanganan perkara penganiayaan guru Supriyani di Konawe Selatan yang menyebabkan oknum Aparat Penegak Hukum (APH) mendapatkan sanksi demosi. Delapan bulan yang lalu, terdapat berita juga soal uang damai dalam penanganan perkara Narkoba yang dilaporkan melibatkan oknum APH sehingga dilakukan pemeriksaan oleh Propam Polda Jawa Timur. Dari kedua kasus ini, uang damai diasosiasikan secara negatif sebagai suatu tawaran kepada pelaku atau keluarganya dari oknum APH untuk keperluan penghentian penanganan perkara.
ADVERTISEMENT
Uang damai sebenarnya dapat dimaknai secara positif sebagai ganti kerugian dari pelaku terhadap korban. Uang damai adalah manifestasi perdamaian yang dibangun dari keinsafan pelaku atas kesalahannya, meminta maaf dan mengambil tanggung jawab mengganti kerugian yang diderita korban, sedangkan di sisi lain merupakan wujud penerimaan maaf korban dan kesediaannya memulihkan hubungan baik dengan pelaku (restorasi).
Uang Damai dan Restorative Justice
Pada Sistem Peradilan Pidana (SPP) konvensional, kedudukan korban sangat minim karena telah diwakili oleh Jaksa sebagai representasi negara untuk menuntut pelaku. Bahkan dalam hal tuntutan ganti kerugian, korban tidak memiliki “bargaining position”.
Dengan perkembangan ilmu viktimologi, kedudukan korban beserta ganti kerugian akibat terjadinya tindak pidana berupa restitusi dapat dituntut dan diakomodir dalam putusan. Pada era mutakhir dimana SPP telah mengakomodasi Restorative Justice (RJ), maka melalui forum RJ (mediasi) akan dibuka kesempatan kepada pelaku dan korban membicarakan penyelesaian kasusnya, termasuk menyepakati ganti kerugian secara finansial bilamana dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Raymond R. Corrado dkk berpendapat bahwa restitusi menunjukkan elemen kunci paradigma keadilan restoratif, seperti menjadikan pelaku bertanggung jawab kepada korbannya. (2011: 4-5) Pada prinsipnya, uang damai bukan merupakan tujuan RJ, tetapi salah satu elemen dari RJ. Meskipun demikian, James Dignan tidak menampik bahwa restitusi finansial terhadap korban memiliki keterkaitan erat dengan pendekatan RJ (2005: 108).
Penyelesaian Perkara
Di kalangan masyarakat umum dan masyarakat hukum adat merupakan hal yang biasa terjadi dimana korban menuntut pelaku untuk mengganti kerugian akibat terjadinya tindak pidana, seperti biaya pengobatan dalam kasus penganiayaan. Biasanya, tuntutan tersebut disampaikan dalam forum yang dimediasi tokoh masyarakat atau tokoh adat. Jika disepakati berbentuk barang atau uang yang nilainya proporsional (umumnya disebut uang damai atau dalam masyarakat adat tertentu dikenal dengan denda adat), maka akan dilakukan penggantian kerugian dengan disaksikan oleh tokoh masyarakat atau adat setempat.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan prosesi dan kesepakatan perdamaian tersebut kemudian dituangkan dalam suatu berita acara atau surat pernyataan perdamaian. Dengan adanya surat perdamaian tersebut, korban memberikan jaminan bahwa perbuatan pelaku tidak dilaporkan atau diproses hukum lebih lanjut sebab kasusnya dipandang sudah selesai dengan dilakukannya penggantian kerugian atau pemulihan oleh pelaku (restorasi). Model penyelesaian perkara di luar pengadilan yang demikian dikenal dengan istilah “mediasi penal”.
Salah satu prosesi dalam penyelesaian kasus penghinaan menggunakan mekanisme hukum adat (Mediasi Penal) yang diselenggarakan oleh para tokoh adat di Istana Kedatuan Luwu pada tahun 2022. Sumber foto koleksi pribadi Budi Suhariyanto
Kesepakatan uang damai juga dapat terjadi saat posisi kasus telah dilaporkan. Jika memungkinkan, korban dapat mencabut laporan berdasarkan perdamaian tersebut. Dalam keadaan ini, pihak kepolisian bersifat pasif yaitu menunggu hasil dari kesepakatan perdamaian secara tertulis dan ditandatangani pelaku, korban dan saksi (mediator).
Jika telah masuk tahap penyidikan atau penuntutan masih dimungkinkan untuk dihentikan bilamana memenuhi syarat untuk ditangani berdasarkan RJ sebagaimana diatur oleh Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 dan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020. Berdasarkan regulasi tersebut, sebenarnya pembayaran uang damai dalam penerapan RJ bukan menjadi penilaian utama. Yang menjadi penilaian yaitu apakah telah terwujud pemulihan keadaan dan hubungan atau belum?
ADVERTISEMENT
Penyalahgunaan
Meskipun uang damai dapat digunakan sebagai syarat dalam penyelesaian perkara berdasarkan RJ, tetapi pengaturan dan penerapannya harus selektif. Misalnya, perlu dibedakan dalam perkara apa uang damai diberikan? Jika perkara penganiayaan yang mengakibatkan luka dan untuk penggantian biaya pengobatan itu masih relevan untuk ditawarkan dan disepakati mengenai uang damai sebagai suatu ganti rugi.
Akan tetapi jika terkait dengan perkara narkoba maka menjadi pertanyaan untuk penggantian kerugian apa jika uang damai itu ditawarkan kepada pengedar, pecandu atau penyalahguna? Bukankah korban dari tindak pidana pengedar narkotika yaitu masyarakat, bangsa dan negara, sedangkan korban untuk pencandu dan penyalahguna narkotika adalah dirinya sendiri?
Penting untuk dibedakan pula terkait terhadap siapa uang damai tersebut diberikan? Bilamana itu untuk korban individu yang mengalami kerugian secara nyata maka relevan ditawarkan uang damai. Berbeda dengan uang damai yang ditawarkan dan kemudian diberikan pelaku kepada oknum Aparat agar penanganan perkaranya dihentikan. Tentu penerapan uang damai yang demikian adalah salah dan merupakan menyalahgunakan kewenangan, bukan?
ADVERTISEMENT