Konten dari Pengguna

2 Tahun Pasca-Penembakan di Christchurch: Refleksi Pengalaman di Selandia Baru

Budi Annisa Sidi
Alumna University of Otago. PhD in Politics dengan fokus pada identitas nasional dan multikulturalisme.
23 Maret 2021 17:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Budi Annisa Sidi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbagi sudut pandang seorang mahasiswa Indonesia di Dunedin, Selandia Baru, saat terjadinya penembakan massal di Masjid Al Noor dan Linwood Islamic Centre di Christchurch tahun 2019 lalu.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2016 sampai dengan 2019, saya menjalani tugas belajar program doktoral pada jurusan politik di University of Otago, Dunedin, Selandia Baru. Suami saya dan putra kami turut mendampingi ke sana. Dibandingkan banyak negara yang pernah saya datangi, saya merasa Selandia Baru adalah negara yang sangat aman, dan orang-orangnya terbuka, bahkan pada pendatang seperti saya, seorang perempuan berjilbab dari Indonesia. Tidak pernah kami bayangkan hal yang terjadi pada tanggal 15 Maret 2019: penembakan massal di Masjid Al Noor di Christchurch yang menewaskan 51 orang.
Masjid Al Noor di Christchurch, Selandia Baru
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Al Noor di Christchurch, Selandia Baru
Hari Jumat itu dimulai seperti biasa bagi kami. Kami bangun pagi dan bersiap-siap untuk kegiatan hari itu: mengantar anak ke sekolah sebelum melakukan aktivitas lainnya. Pada saat itu, di Dunedin terdapat satu taman kanak-kanak (TK) Islam, namanya An-Nur.
ADVERTISEMENT
Putra kami yang saat itu berusia empat tahun pergi ke TK An-Nur ini setiap hari Jumat. Di lingkungan itu, putra kami dapat memperoleh pendidikan agama dan berbaur dengan anak-anak maupun guru Muslim dari berbagai negara.
Setelah mengantar anak ke sekolah, saya berangkat ke kampus seperti biasa, sementara suami pergi kerja paruh waktu. Sekitar pukul 1 siang, saya merapikan meja dan bersiap untuk menjemput anak dari TK An-Nur. Di saat yang sama, suami saya mengikuti ibadah Salat Jumat di Masjid Al-Huda di dekat kampus.
Menjelang pukul 2 siang, saya sampai di pelataran parkir dekat TK An-Nur. Masih ada waktu sampai sekolah bubar, saya pikir. Saya pun mengeluarkan telepon genggam saya untuk baca-baca pesan Whatsapp sambil menunggu.
ADVERTISEMENT
Betapa kagetnya ketika saya membuka grup Whatsapp mahasiswa Indonesia penerima beasiswa LPDP se-Selandia Baru. Beberapa mahasiswa di Christchurch menulis di grup bahwa mereka sedang bersembunyi dari active shooter yang menembaki orang pada saat ibadah Salat Jumat berlangsung. Ada yang bilang sedang bersembunyi di gudang, ada yang bilang berhasil berlindung di rumah warga di sekitar masjid. Mereka bilang sudah menghubungi polisi dan meminta didoakan agar selamat.
Saya berupaya menelepon suami, namun tidak tersambung. Sebetulnya tidak heran, karena ia biasa mematikan ponselnya pada waktu Salat Jumat. Namun kali ini saya ingin memastikan ia baik-baik saja, bahwa hal serupa tidak sedang terjadi juga di Dunedin.
Jam tangan sudah menunjukkan pukul 2 siang. Waktunya sekolah bubar. Dengan sedikit terhuyung, saya berjalan menuju pintu sekolah, menuju area untuk menjemput anak. Saya lihat kepala sekolah membuka pintu dan membiarkan anak-anak keluar dari gedung sekolah. Saya coba tilik raut wajahnya. Terlihat biasa-biasa saja. Mereka belum dapat berita soal ini, saya pikir. Seketika saya mengambil keputusan untuk tidak bercerita soal kabar yang saya terima, karena saya takut menimbulkan kepanikan. Sementara saya sendiri pun belum punya berita yang lebih kredibel, karena saya belum sempat cek situs berita.
ADVERTISEMENT
Saya bawa anak saya kembali ke mobil, dan kemudian saya buka situs berita Selandia Baru. Benar saja, ada breaking news tentang penembakan di Christchurch. Kota Christchurch dalam kondisi lockdown. Warga di kota-kota lain di Selandia Baru diminta untuk waspada.
Saya pikir, saya harus segera pulang. Namun entah mengapa, mungkin karena kondisi shock, saya tetap melaksanakan kegiatan seperti biasa: setiap Jumat, setelah menjemput anak, kami selalu pergi belanja keperluan sehari-hari di supermarket. Badan saya rasanya bergerak autopilot saja. Di supermarket, beberapa kali saya merasakan ada orang yang menatap ke arah saya, dan saya pikir mungkin mereka sudah lihat berita sehingga adanya perempuan berjilbab jadi menarik perhatian.
Ketika di supermarket, saya lihat ada telepon masuk dari suami saya. Ia sudah lihat berita. Ia menanyakan keberadaan dan kabar kami. Saya bilang, saya masih di supermarket, dan kami aman. Suami saya juga dalam kondisi aman, walau semua kenalannya di masjid terguncang dengan berita penembakan itu. Kami berjanji untuk segera bertemu di rumah.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di rumah, kami memutuskan untuk tidak menyalakan televisi. Insting kami ingin melindungi putra kami, ia belum perlu tahu adanya kejadian ini. Banyak pesan Whatsapp, SMS, dan email yang masuk dari teman-teman, keluarga, dan kolega yang menanyakan kabar kami. Kami aman, kami bilang. Namun kami juga amat kaget. Bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi di Selandia Baru yang aman ini?
Sepanjang akhir minggu, sebetulnya tidak ada keinginan untuk keluar rumah. Namun putra kami menagih jalan-jalan, sebagaimana kami biasa lakukan setiap akhir pekan. Pada hari Minggu siang, kami putuskan untuk ke luar rumah. Semua keliatan biasa-biasa saja, kecuali memang rasanya lebih banyak orang yang menatap kami.
Tetangga kami sempat berkunjung ke rumah. Mereka menyampaikan bahwa mereka dapat dihubungi sewaktu-waktu jika kami merasa tidak aman atau perlu bantuan. Hal ini membuat kami merasa lebih aman.
ADVERTISEMENT
Senin pagi, saya ada jadwal mengajar kelas tutorial di kampus. Dosen pengampu sudah menawarkan saya untuk libur, tapi saya tidak mau. Saya mengajar seperti biasa. Rasanya, segala sesuatu masih saya lakukan secara autopilot. Setelah selesai kelas, saya menuju ruang kerja saya di jurusan. Teman-teman dan dosen pembimbing menanyakan kabar saya, dan saya masih bersikap biasa-biasa saja. Rasanya masih sulit memproses apa yang telah terjadi.
Sementara itu, di pemberitaan, muncul desas-desus bahwa pelaku penembakan awalnya bermaksud melakukan aksi kejamnya di Masjid di Dunedin. Saya merasa mual mendengarnya. Jika pelaku saat itu beraksi di Dunedin, di situ ada suami saya, dan banyak teman kami di Dunedin… Dan anak saya pun pada hari Jumat itu ada di satu-satunya TK Islam di Dunedin. Bagaimana jika…?
Suasana Masjid Al Huda di Dunedin pasca kejadian
Di siang hari, saya menuju common room di kampus untuk makan siang. Ternyata, pihak universitas telah mendirikan posko konseling untuk keluarga besar kampus yang merasa terdampak kejadian penembakan. Di situlah baru saya menangis sejadi-jadinya. Baru saya biarkan diri saya benar-benar merasakan guncangan yang kami alami. Ternyata, walaupun tidak terdampak langsung, saya tetap merasa amat shock.
ADVERTISEMENT
Sepanjang hidup saya, beberapa kali saya pernah tinggal di luar negeri. Saya sudah beberapa kali mengalami peristiwa yang bersifat rasis maupun Islamofobia. Biasanya, dalam bentuk umpatan atau ejekan, atau pertanyaan-pertanyaan yang mencecar gaya hidup saya. Di Selandia Baru sekalipun, saya pernah mengalami kejadian rasis. Namun kekerasan dalam skala ini?
Ketika itu, saya amat menghargai respons Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, terhadap kejadian ini. Beliau begitu merangkul komunitas Muslim di Selandia Baru dan mengatakan “They are us.” Tidak ada sikap mengalienasi. Beliau bahkan memakai kerudung saat mengunjungi orang-orang yang terdampak langsung di Christchurch.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengunjungi lokasi kejadian. Photo credit: Radio NZ
Di kampus saya, ditawarkan layanan konseling khusus untuk mahasiswa-mahasiswa yang terdampak. Orang tua siswa di sekolah anak saya juga melakukan outreach pada kami dan menawarkan waktunya jika kami perlu teman bicara. Kolega dan teman-teman saya dari kampus maupun komunitas lainnya di Dunedin juga sangat perhatian. Bahkan anak-anak usia dini diajarkan untuk lebih merangkul satu sama lain.
Siswa TK Islington Early Childhood Centre di Dunedin membuat prakarya berjudul "We Are One Family"
Ketika saya mengantarkan putra saya ke TK An-Nur hari Jumat depannya, sekolah dijaga oleh polisi hingga dua minggu ke depannya. Demikian pula Masjid di Dunedin. Warga Dunedin juga mendatangi masjid untuk menyampaikan solidaritasnya. Bahkan, Perdana Menteri Selandia Baru pun melakukan kunjungan.
Perdana Menteri Jacinda Ardern mengunjungi TK An-Nur di Dunedin. Photo credit: Otago Daily Times
University of Otago secara khusus mengadakan vigil untuk mengecam kejadian tersebut, mengenang para korban, dan memberi ruang bagi para mahasiswa, khususnya mahasiswa Muslim, untuk mengekspresikan dukanya. Kota Dunedin sendiri mengadakan vigil secara khusus di Stadion Forsyth Barr, stadion rugby terbesar di kota tersebut.
Warga Dunedin meletakkan karangan bunga pada acara vigil di Forsyth Barr Stadium, Dunedin
Isu rasisme dan Islamophobia memang tidak akan selesai demikian saja. Prejudice and stereotipe terhadap kelompok-kelompok minoritas adalah hal yang bisa ditemukan di negara manapun, termasuk di Indonesia. Namun respons pemimpin maupun masyarakat di Selandia Baru pada Maret 2019 ini patut juga dijadikan lesson learned bagaimana suatu negara dapat merangkul kelompok minoritas di dalamnya.
Vigil di pelataran University of Otago. Photo credit: University of Otago
Dua tahun berselang semenjak 15 Maret 2019, saya masih bergidik membayangkan kejadian saat itu. Bagi diri saya sendiri, yang notabene merupakan bagian dari kelompok mayoritas di Indonesia, pengalaman hidup menjadi kelompok minoritas di luar negeri adalah bagian dari sekolah kehidupan.
ADVERTISEMENT
Dengan merasakan hidup sebagai kelompok minoritas, kita dapat menjadi lebih mawas terhadap hal-hal yang sifatnya diskriminatif, walau sekecil apa pun. Kita juga jadi lebih menghargai perspektif kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Semoga ke depannya, di mana pun di dunia ini, masyarakat dapat lebih menerima dan menghargai perbedaan, dan memanusiakan manusia, apa pun latar belakangnya.