Menelusuri Jejak Islam di Banten Lama

Konten dari Pengguna
1 Januari 2019 6:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Budiharjo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menelusuri Jejak Islam di Banten Lama
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pintu Masuk Keraton Surosowan di Lingkungan Konservasi Sejarah Banten Lama
ADVERTISEMENT
Jalan-jalan ke Banten Lama bisa menjadi salah satu tujuan wisata yang patut dipertimbangkan. Lokasinya pun boleh dibilang dekat dengan ibukota. Ketika keluar pintu tol Serang Timur, perjalanan yang harus ditempuh ke Banten Lama sekitar 11 km lagi.
Pemerintah Provinsi Banten saat ini memugar sejumlah situs untuk meningkatkan jumlah pengunjung. Pembangunan Masjid Agung Banten Lama terus dilakukan, salah satunya memasang tiang-tiang berpayung seperti di Masjid Nabawi Madinah dan Masjidil Haram Makkah.
Di Banten Lama, kita akan diajak memasuki era Kesultanan Islam Banten abad ke-16 dan ke-17. Sisa-sisa bangunan berupa benteng, makam, kolam pemandian menjadi saksi bagaimana megahnya keraton di era Kesultanan Islam Banten.
Para Sultan menjadikan kerajaan mereka maju secara teknologi yakni mengembangkan sistem perdagangan di pelabuhan hingga mendatangkan pengembara dari dalam dan luar negeri.
Menelusuri Jejak Islam di Banten Lama (1)
zoom-in-whitePerbesar
Situs Danau Tasikardi yang Dahulunya Menjadi Pusat Irigasi dan Kebutuhan Sehari-hari
ADVERTISEMENT
Mereka juga mampu membangun sistem pengairan untuk menggarap sawah dan kebutuhan sehari-hari. Situs danau Tasikardi menjadi saksi bagaimana kehebatan Sultan Banten membangun sistem perairan saat itu.
Raja Banten membangun pasar sekaligus bandar yang menjadi pusat perdagangan internasional. Bandar itu adalah pelabuhan Karangantu yang terletak di luar tembok kota sebelah timur dekat laut.
Dikutip dari buku Atlas Pelabuhan-pelabuhan Bersejarah di Indonesia yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013), dijelaskan di masa keemasannya, pelabuhan Karangantu adalah tempat terjadinya perdagangan besar. Setiap harinya diramaikan oleh pedagang, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka adalah saudagar dari berbagai bangsa seperti Portugis, Arab, Turki, Cina, Melayu, Bengala, Gujarat, Malabar dan para pedagang dari Nusantara.
Namun saat ini, Karangantu menjadi pelabuhan yang “dilupakan”, meski masih dikunjungi untuk berwisata dan memancing. Karangantu letaknya tidak jauh dari Banten Lama yang kini menjadi wilayah konservasi sejarah.
ADVERTISEMENT
Di Banten Lama, ada peninggalan Keraton Surosowan yang menjadi destinasi wisata reliji para peziarah dari berbagai tempat di Indonesia. Selain keraton, wisatawan bisa mengunjungi Masjid Agung, Museum Kepurbakalaan Banten Lama, Danau Tasikardi, Keraton Kaibon, Vihara Avalokitesvara dan masih banyak lagi.
Menelusuri Jejak Islam di Banten Lama (2)
zoom-in-whitePerbesar
Salah Satu Makam yang Dijadikan Destinasi Wisata Reliji di Masjid Agung Banten Lama
Destinasi paling favorit adalah makam Sultan Banten Maulana Hasanuddin yang merupakan putra Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan wali (Wali Songo) yang mendirikan Kerajaan Islam Banten.
Menurut Staf Informasi Museum Kepurbakalaan Banten Lama, Siti Rohani, Keraton Surosowan adalah peninggalan Kesultanan Islam Banten yang pernah ditinggali mulai dari Sultan Maulana Hasanuddin hingga Sultan Raja.
ADVERTISEMENT
“Pengaruh Islam pada Kesultanan Banten sangat besar, hampir 90 persen peninggalan-peninggalan di Banten Lama itu dipengaruhi Islam,” kata Rohani saat ditemui di kantornya belum lama ini.
Menelusuri Jejak Islam di Banten Lama (3)
zoom-in-whitePerbesar
Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama
Menurutnya, di antara peninggalan Islam di Banten berupa masjid yang kini menjadi Masjid Agung Banten Lama. Ada pula gerabah yang bermotif kaligrafi Islam, nisan dan makam keluarga sultan.
“Yang paling banyak diziarahi adalah makam Sultan Maulana Hasanuddin,” jelasnya.
Para peziarah bertawasul dan bertabaruk (mencari berkah) dengan berdoa di dekat makam. Ada hari-hari tertentu yang menjadi favorit untuk bertabaruk, salah satunya adalah saat bulan maulud Nabi, yakni Rabi’ul Awal.
Selain makam, ziarah juga dilakukan masyarakat kepada meriam yang dianggap keramat. Meriam yang dianggap penjelmaan seorang kiai adalah Meriam Ki Amuk.
ADVERTISEMENT
“Di sini, yang dianggap sebagai masterpiece, itu Meriam Ki Amuk. Meriam ini diziarahi oleh masyarakat yang memiliki kepercayaan dia adalah penjelmaan dari seorang kiai sakti,” kata Rohani.
Menelusuri Jejak Islam di Banten Lama (4)
zoom-in-whitePerbesar
Meriam Ki Amuk yang Dikeramatkan oleh Sebagian Kalangan
Meriam menjadi bagian tidak terpisahkan dari Kesultanan Islam Banten. Alat perang ini diletakkan di tempat-tempat strategis seperti benteng dan pelabuhan. Salah satu benteng yang terkenal adalah benteng Speelwijk.
Dahulunya, benteng Speelwijk digunakan sebagai menara pemantau yang berhadapan langsung ke Selat Sunda dan sekaligus berfungsi sebagai penyimpanan meriam. Di dalam benteng terdapat terowongan yang terhubung dengan Keraton Surosowan.
Istana ini dahulunya merupakan kediaman para Sultan Banten, mulai dari Sultan Maulana Hasanuddin hingga Sultan Haji yang pernah berkuasa pada tahun 1672 hingga 1687. Istana Surosowan dibangun pada tahun 1552 namun kemudian dihancurkan oleh Belanda pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1680.
ADVERTISEMENT
Selain di keraton, meriam juga diletakkan di Pelabuhan Karangantu. Kesultanan Islam Banten memiliki koleksi sejumlah meriam sebagai senjata pamungkas menghadapi gempuran kaum agresor. Sebagai salah satu senjata andalan, meriam diletakkan di benteng-benteng pertahanan yang posisinya strategis.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten, beberapa meriam Kesultanan Banten diberi nama, di antaranya:
1. Ki Amuk adalah meriam besar memiliki panjang 3,45 meter, kaliber 31 cm dan beratnya mencapai 6 ton. Meriam ini oleh beberapa ahli diyakini sebenarnya adalah Meriam Ki Jimat. Meriam Ki Jimat disebut dalam Babad Banten yang ditempatkan dalam bangunan mandapa (tempat suci di keraton) Keraton Surosowan yang moncongnya mengarah ke utara. Ki Amuk memiliki ciri khas adanya tiga inskripsi tulisan Arab pada punggungnya, hiasan matahari yang dikenal dengan Surya Majapahit dan sepuluh gelang pada tubuhnya.
ADVERTISEMENT
2. Ki Kalantaka, satu dari dua meriam yang dirampas dari kapal orang Parenggi (orang-orang Eropa) atas perintah Mangkubumi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Pangeran Muhammad (Kanjeng Ratu Baten Surosowan). Pada peristiwa penyerbuan Mataram terhadap Belanda di Jaketra, meriam ini dipakai untuk menembaki pasukan Belanda dan dijaga oleh para punggawa.
3. Ki Urang, satu dari dua meriam yang dirampas dari kapal orang Parenggi (orang-orang Eropa).
4. Ki Jajak Tua, meriam yang dipakai pada peristiwa penyerbuan para pemberontak di Pailir. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan raja Abdul Kadir Kenari. Pada saat itu raja masih kecil menyaksikan peristiwa peperangan tersebut. Perang berhenti setelah ditengahi oleh Pangeran Jaketra. Di antara orang yang dikenal dalam peristiwa ini adalah Pangeran Abdul Kadir, Pangeran Kulon, Pangeran Jaketra, Pangeran Papatih, Pangeran Singareja dan Tubagus Prabangsa. Meriam ini pernah dipakai dalam satu peristiwa peperangan bersama dengan meriam Ki Kalantaka dan beberapa meriam lainnya.
ADVERTISEMENT
Meriam digunakan untuk melawan penjajahan Belanda. Ini menunjukkan Kesultanan Islam Banten sangat keras menghadapi agresi Belanda. Semangat keislaman ini berbarengan dengan semangat perlawanan terhadap kezaliman dan ketidakadilan. Di bawah pengaruh kerajaan, rakyat Banten bersama kerajaan melakukan perlawanan gigih terhadap agresi Belanda.
Sultan mengobarkan perlawanan karena kaum penjajah telah bertindak zalim dan tidak adil terhadap masyarakat pribumi. Banten merupakan salah satu wilayah yang paling keras perlawanannya terhadap penjajahan Belanda.
Menelusuri Jejak Islam di Banten Lama (5)
zoom-in-whitePerbesar
Benteng Speelwijk yang Pernah Menjadi Pertahanan Kesultanan Banten
Islam memberi pengaruh kuat terhadap rakyat Banten untuk bangkit melawan penjajahan. Hal itu masuk akal karena kantong-kantong pemukiman muslim di Banten telah tumbuh pada awal abad ke-16 Masehi, khususnya di di pesisir utara teluk Banten. Saat itu, Banten merupakan bandar pelabuhan yang strategis dan penting, karena didatangi oleh sejumlah pedagang dari berbagai negara.
ADVERTISEMENT
Islamisasi di Banten sangat gencar dilakukan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah yang merupakan salah satu Wali Songo. Syarif Hidayatullah adalah yang mendirikan Kesultanan Islam di Banten dengan gelar Fatahillah. Bersama 98 muridnya dari Cirebon, Fatahillah berhasil mengislamkan kawasan Banten Ilir dan pelabuhan Kerajaan Sunda-Pakwan. Pengaruh Islam kemudian meluas hingga sejumlah pelabuhan di pantau utara Jawa.
Menelusuri Jejak Islam di Banten Lama (6)
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Agung Banten Lama yang Kini Memiliki Payung Seperti di Haramain
Di bawah Fatahillah, Banten mengalami kemajuan pesat di bidang perdagangan, militer dan ekonomi. Roda perekonomian terjadi di pelabuhan Karangantu. Pelabuhan ini merupakan yang terbesar sekaligus tertua dalam sejarah perdagangan internasional di Indonesia.
Meski Islam mendominasi sejarah Banten, ternyata ditemukan juga peninggalan dari zaman Hindu berupa Arca Nandi. Selain itu, Banten juga pernah dipengaruhi kebudayaan Cina dengan ditemukannya keramik dari Dinasti Ming, Dinasti Qing dan mata uang dari Dinasti Tang. (*)
ADVERTISEMENT