Seberapa Valid Metrik Peringkat Universitas dan Lembaga Riset?

Budi Nugroho
Peneliti dalam Kelompok Riset Informetrika dan Multimedia pada Pusat Riset Sains Data dan Informasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PR SDI - BRIN).
Konten dari Pengguna
21 Juni 2021 11:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Budi Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wordcloud artikel ilmiah tentang "university ranking" dari pangkalan data Web of Science 5 tahun terakhir (Gambar dibuat oleh penulis dengan bahasa pemrograman R)
zoom-in-whitePerbesar
Wordcloud artikel ilmiah tentang "university ranking" dari pangkalan data Web of Science 5 tahun terakhir (Gambar dibuat oleh penulis dengan bahasa pemrograman R)
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu kita cukup dihebohkan dengan dikeluarkannya peringkat universitas di Indonesia dari berbagai lembaga pemeringkat. Yang membuat heboh di antaranya adalah merosotnya peringkat beberapa universitas top di Indonesia. Ada yang tidak terima, banyak pula yang mengamini situasi ini dengan berbagai alasannya.
ADVERTISEMENT
Saya tidak ingin euforia membahas pro kontra peringkat universitas dan lembaga riset ini. Namun, bagaimana peringkat itu bisa muncul, menurut saya adalah hal penting yang tidak boleh kita lewatkan.
Kebanyakan lembaga pemeringkat melakukan pemeringkatan dengan mengukur seberapa banyak kontribusi universitas dalam konten yang dimuat di internet. Dengan berbagai metode pengukuran yang mereka tetapkan, peringkat universitas dihitung dan dimunculkan sebagai peringkat sesuai dengan kategorinya. Salah satu lembaga pemeringkat Webometrics misalnya, mempunyai formulasi penghitungan peringkat lembaga berdasarnya jumlah artikel yang diunggah ke internet, jumlah tautan masuk dan keluar, kesinambungan pembaharuan konten laman situs, dan lain sebagainya.
Hal ini tidak berbeda jauh dengan lembaga lainnya semisal THE World University Rankings dan Scimago Institution Rankings. Tentu saja formula perhitungan mereka tidak sama persis. Namun terdapat kesamaan dalam formula dasar perangkingan adalah seberapa banyak kontribusi di internet yang bisa diakses dan ditemukan kembali. Saya ingat suatu ungkapan di era teknologi digital hari ini, yaitu "Saya ada (di internet) karena saya mengunggah konten". Kebetulan saya mengikuti kelas menulis yang diselenggarakan ASNation, ungkapan ini masih sangat relevan, yaitu membuat tulisan sebanyak mungkin dan diunggah di internet. Tentunya tetap memperhatikan kualitas dan kebermanfaatan dari tulisan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, universitas dan lembaga riset juga harus melakukan hal yang sama agar dapat eksis di internet yang pada akhirnya akan mempengaruhi peringkat yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat berbasis kontribusi konten di internet.

Seberapa valid metrik peringkat berbasis konten di internet?

Mengingat formula penghitungan peringat berbasis kontribusi konten di internet, secara logika, yang paling banyak berkontribusi tentu akan mendapatkan skor yang tinggi. Pada tataran ini, peringkat universitas menjadi bias. Apakah benar kontribusi konten di internet mencerminkan kualitas universitas? Pasti banyak pendapat, tapi menurut saya hal ini bias. Tidak serta merta kontribusi di internet sejalan dengan kualitas pendidikan dan riset pada suatu universitas.
Pengalaman saya, ketika berkesempatan mengambil studi di luar negeri, saya bisa membandingkan iklim riset yang berbeda dengan studi di kampus dalam negeri. Perhatian terhadap kebutuhan mahasiswa dalam melakukan riset dan penulisan paper ilmiah sangat terasa.
ADVERTISEMENT
Ketika saya membutuhkan seperangkat alat komputasi dengan spesifikasi yang cukup tinggi, dari pembimbing tidak banyak tanya dan lansung disetujui. Begitu pula ketika saya membutuhkan jasa proofread profesional dengan biaya yang cukup tinggi. Hal ini mungkin yang agak berbeda dengan situasi yang pernah saya alami ketika studi di salah satu kampus dalam negeri. Padahal peringkat THE World University Rankings universitas yang saya ambil di luar negeri tersebut di bawah peringkat universitas dalam negeri saya sebelumnya.
Ketika heboh munculnya peringkat dari THE World University Rankings, sebetulnya sebelum itu Kemendikbud melalui Dirjen Dikti telah mengeluarkan klasterisasi universitas tahun 2020 yang merupakan hasil pemetaaan atas kinerja universitas akademik di Indonesia. Meskipun pihak Dirjen Dikti menyatakan klasterisasi ini bukan dimaknai sebagai pemeringkatan, tetapi tetap saja bagi universitas terkait dianggap sebagai peringkat yang mencerminkan citra kualitas pendidikan dan riset yang mereka selenggarakan. Terbukti banyak perguruan tinggi yang ramai-ramai mengunggah hasil klasterisasi terutama perguruan tinggi yang berada di klaster 1 yang memuat nama-nama perguruan tinggi top di Indonesia semisal IPB, UI, UGM, ITB dan ITS.
ADVERTISEMENT
Yang menarik dari formula klasterisasi ini, sebagaimana diumumkan di laman web Dikti, klasterisasi dilakukan berdasarkan data yang diunggah dalam berbagai kanal media baik yang dimiliki perguruan tinggi, Kemendikbud maupun pangkalan data eksternal lainnya. Meskipun klasterisasi ini membuat pembobotan data yang diharapkan menggambarkan kinerja perguruan tingga, faktanya tetaplah perhitungannya didasarkan atas data yang diunggah ke berbagai kanal media tersebut.
Dengan kata lain, semakin banyak dan semakin mudah konten yang mencerminkan kinerja pendidikan dan riset perguruan tinggi diunggah serta diakses, tentu saja peluang mendapatkan klaster terbaik akan lebih mudah dicapai. Akhirnya berbagai upaya dilakukan oleh perguruan tinggi dan lembaga riset untuk meningkatkan peringkatnya. Hal ini pernah booming pada tahun 2010-an yang mana perguruan tinggi dan lembaga riset berlomba-lomba meningkatkan peringkat di Webometrics.
ADVERTISEMENT
Salah satu pengalaman yang pernah penulis lakukan adalah mengadakan bimbingan teknis untuk para pustakawan untuk mengolah data bibliografi dan alih media. Pada saat itu kebanyakan jurnal ilmiah di Indonesia masih dalam bentuk tercetak dan disimpan di pusat ISSN Indonesia di LIPI (sekarang Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah). Pustakawan berperan penting dalam membuat deskripsi bibliografi dan alih media dari cetak ke digital. Luaran kegiatan mereka kemudian diunggah ke pangkalan data jurnal ilmiah. Nah, konten yang diunggah oleh para pustakawan ini yang memberikan sumbangan besar terhadap penilaian Webometrics, yaitu ketersediaan berkas pdf dan kesinambungan unggahan. Namun saat ini hal tersebut telah berubah dan kebanyakan jurnal ilmiah telah menerbitkan versi daring yang tentunya langsung menyumbang data ke repositori masing-masing lembaga.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, kita tidak boleh terpaku dengan peringkat yang baru dikeluarkan tersebut. Namun lebih penting menjadikan peringkat tersebut sebagai motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan riset di dalam negeri. (bn)