Menebus Patah Hati pada Presiden

Bukan Remahan Rengginang
Kisah Orang Muda di Istana. Link untuk mengunduh e-book 'Bukan Remahan Rengginang': http://ksp.go.id/unduh-buku/
Konten dari Pengguna
1 November 2019 12:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bukan Remahan Rengginang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Nadia Misero Foto: Foto: Dok: Bukan Remahan Rengginang.
zoom-in-whitePerbesar
Nadia Misero Foto: Foto: Dok: Bukan Remahan Rengginang.
ADVERTISEMENT
Harusnya, tak ada yang salah dengan angka 6. Tapi entah mengapa, aku pernah diteror angka itu. Bayangkan saja, aku mendadak mendapat tugas membuat video profil 16 perempuan, yang satu pun gambarnya tak kumiliki. Video itu bakal diputar di depan Presiden besok pagi, tanggal 6 Maret 2019. Artinya, tinggal 16 jam lagi.
ADVERTISEMENT
Kalau aku gagal, agenda pertemuan presiden dengan 400 perempuan di peringatan Hari Perempuan Internasional itu bakal berantakan.
“Mbak bikin videonya. Kalau mereka bicara langsung, kelamaan. Presiden ada acara lain,” begitu perintah pimpinan rapat dari Sekretariat Presiden, siang itu.
“Bisa, Pak,” jawabku asal-asalan. Gila! Aku mengumpat dalam hati sambil mencoretkannya pada kertas di depanku. Bahkan huruf G terlihat seperti angka ‘6’. Huh…!
Bergegas aku kembali ke ruanganku di Kantor Staf Presiden (KSP) Bina Graha sambil mengutuki sepatu hak tinggi yang menghalangi laju lariku. Masuk ruangan Kedeputian V aku langsung mencari rekanku, Arju Falah.
“Mas Arju, tolong bantuin gue buat video,” kataku sambil memasang wajah memohon.
Kedeputian V Foto: Bukan Remahan Rengginang
“Buat kapan?” responsnya datar.
ADVERTISEMENT
“Malam ini, Mas. Besok pagi ditayangin di depan Presiden,” jawabku dengan wajah memohon level dewa.
Pupil mata Arju membesar, dahinya berkerut. Celaka, kalau sampai dia menolak.
“Mana bahannya?” tanya Arju.
“Gak ada, aku cuma tahu nama-nama mereka,” jawabku singkat sambil menatap tajam matanya berharap belas kasihnya.
“Mereka?” tanya dia lagi.
Aku menerangkan 16 perempuan yang akan dibuat profil. Sore itu aku menagih foto atau apa pun yang bisa kupakai menjadi materi video. Aku pasang tenggat waktu, pukul 6 sore.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menetapkan 8 Maret sebagai Peringatan Hari Perempuan Internasional. Organisasi dunia itu mengingatkan bahwa perempuan, apa pun latar belakang negara, bahasa, agama, suku, warna kulit, dan budaya, harus berjuang menciptakan kondisi terbaik demi terpenuhinya hak-hak mereka.
ADVERTISEMENT
Bagi Indonesia, peringatan kali ini baru pertama dilakukan. Pelaksanaannya dimajukan dua hari, karena padatnya acara Presiden.
Kementerian dan Lembaga bersama beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat dan pegiat isu perempuan merancang dialog Presiden dengan 16 tokoh perempuan berprestasi.
Acara pertemuan Presiden Joko Widodo dengan para perempuan berprestasi dari seluruh negeri sebetulnya dirancang pada 10 Desember 2017, bertepatan dengan Hari HAM Sedunia. Semua peserta, panitia, sudah bersiap ketika itu.
Sayang, acara tersebut dibatalkan dua hari menjelang hari H. Meski ada yang memahami alasan pembatalannya, namun banyak juga yang patah hati. Ada yang menyebut Presiden tidak punya hati untuk kaum perempuan.
Akhirnya, dibuatlah acara kali ini, pada Hari Perempuan Internasional. Aku tak bisa membayangkan jika kali ini batal lagi.
ADVERTISEMENT
Batas waktu yang kuberikan sudah terlewat dua jam.
“Mas, chaos nih. Kualitas fotonya under semua. Gue cari di Google juga gak ada,” kataku.
Arju menenangkanku. Foto yang ada akan dia edit agar layak ditampilkan. Kurang dari dua jam menjelang tengah malam, video rampung.
Arju menanyakan judul lagu yang bakal dijadikan latar belakang. “'Bagimu Negeri',” jawabku tanpa pikir panjang.
Setelah semua ornamen video rampung, aku unggah di group WhatsApp panitia. Aku berharap mereka menyetujuinya, tanpa koreksi. Kami pun meninggalkan kantor yang hampir senyap dan hanya tersisa penjaga keamanan.
Sampai di rumah menjelang tengah malam. Ternyata harapanku video tanpa koreksi, pupus. Aku periksa ponsel, tuntutan revisi sudah berderet. Dari kesalahan ejaan nama, hingga penulisan gelar selengkap-lengkapnya. Aku teruskan koreksi itu ke Arju.
ADVERTISEMENT
Subuh belum menjelang, saat aku masuk gerbang Istana. Sampai di ruangan aku kontak Arju, menanyakan hasil revisi yang belum juga kuterima.
Panggilan pertama, tidak dijawab. Panggilan kedua, idem. Panggilan ketiga, keempat, kelima, terus begitu hingga ke lima belas. Aku lemas, namun apa daya.
Arju, entah ke mana dia. Mungkin dia lelah. Lalu, tepat dua jam sebelum acara dimulai, layar ponsel berkedip. Video revisi terkirim. Terima kasih, Arju. Terima kasih, Tuhan!
Bergegas aku menuju Ruang Utama Istana Negara tempat acara bakal digelar. Belum ada orang, pintu masih terkunci.
Aku duduk termenung di anak tangga Istana. Baru tersadar ketika mendengar suara gaduh dari dalam Istana. Aku cek, pintu Ruang Utama telah terbuka. Segera aku masuk ke dalam.
ADVERTISEMENT
Rekan-rekan dari Sekretariat Presiden ternyata sedang mencoba sound system. Melihat wajahku, mereka langsung menodong, “Mbak, mana videonya?”
“Ini, Pak,” jawabku mantap.
Pagi itu tepat pukul 9, 16 tokoh perempuan duduk di barisan terdepan berhadapan dengan Presiden Joko Widodo. Wajah mereka berseri-seri. Sapa Presiden menghangatkan ruangan. Video diputar, tampil manis diiringi lagu 'Bagimu Negeri'.
Bulu kudukku berdiri, mata berkaca-kaca. Entah karena semua keteganganku lunas terbayar atau syairnya yang memang menyentuh. Yang pasti, pagi ini aku rasakan lantunan 'Bagimu Negeri' tercantik yang pernah kudengar.
Kakiku lemas, hingga aku terduduk di kursi di balik pengeras suara. Dari posisi itu, sepanjang perhelatan acara aku tak bisa melihat wajah Presiden. Memang aku tak perlu nampak. Aku tak perlu terlihat oleh Presiden sekalipun.
ADVERTISEMENT
Wajah-wajah sumringah para undangan, gelak tawa saat empat tokoh perempuan berdialog dengan Presiden, menjadi kepuasan terbesar bagiku.
Usai acara, ibu-ibu menyalamiku. “Mbak, terima kasih ya. Saya punya foto dengan Jokowi.”
Aku tersenyum. Lega. Ku akhiri teror angka 6 dengan sempurna.