Konten dari Pengguna

Menyandang Janji untuk Nyak Sandang

Bukan Remahan Rengginang
Kisah Orang Muda di Istana. Link untuk mengunduh e-book 'Bukan Remahan Rengginang': http://ksp.go.id/unduh-buku/
6 November 2019 10:43 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bukan Remahan Rengginang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dina Rifqiana. Foto: Dok: Bukan Remahan Rengginang
zoom-in-whitePerbesar
Dina Rifqiana. Foto: Dok: Bukan Remahan Rengginang
ADVERTISEMENT
Di antara tumpukan tugas di Kantor Staf Presiden (KSP), salah satunya memastikan janji Presiden Joko Widodo terlaksana. Kali ini saya mendapat tugas untuk mengawal janji Presiden kepada Nyak Sandang di Lamno, Aceh Jaya. Nyak Sandang merupakan salah satu penyumbang pembelian Seulawah, pesawat pertama milik Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Presiden pada Maret 2018 bertemu Nyak Sandang. Atas jasa Nyak Sandang pada Republik ini, Presiden menjanjikan tiga hal sesuai permintaan. Pertama, katarak di mata Nyak Sandang segera dioperasi, kemudian memberangkatkan Nyak Sandang untuk menunaikan Ibadah Haji. Terakhir, pembangunan masjid di kampung halaman Nyak Sandang di Lamno.
Siang itu, sebuah pesan masuk ke ponsel saya. “Kamu siap-siap, besok pagi kita berangkat ke Aceh.” Duh, badan terasa mau rontok. Saat itu, saya sedang bertugas di Surabaya. Perasaan campur aduk. Senang karena akhirnya bisa pergi ke Aceh, daerah paling barat gugusan kepulauan Nusantara. Kaget, karena harus menjalani proses administrasi yang sedikit rumit untuk kebutuhan perjalanan ke Aceh yang dimulai dari pemesanan tiket, akomodasi, dan sewa kendaraan dalam waktu yang sangat-sangat singkat. Saya hanyalah remahan rengginang pada gugus tugas tersebut.
ADVERTISEMENT
Segera siang itu saya kembali ke Jakarta. Semua bekal dan baju kotor saya bongkar dari tas. Segera saya ganti dengan stok pakaian bersih yang masih tersedia di lemari. Bayangan tentang Aceh membuat saya susah tidur. Penasaran sekali. Malam itu mata saya gagal terpejam dengan layak.
Esoknya, kaki akhirnya menjejak di Aceh Jaya. “Inilah Aceh. Tempat yang pernah diterjang dahsyatnya tsunami, juga tempat yang memiliki kopi terbaik,” bisik Ibu Deputi V, Jaleswari Pramodhawardani, ke telinga saya. Takjub!
Sebelum bertemu Nyak Sandang kami bertemu dulu dengan kerabatnya. Kami membahas kembali janji Presiden. Dari tiga janji yang disampaikan Presiden, tinggal pembangunan masjid yang belum bisa teralisasi. Kami membicarakan detil perencanaan agar pembangunan masjid bisa segera dilakukan.
Kedeputian V Foto: Bukan Remahan Rengginang
Baru keesokan harinya, 16 Februari 2019 kami bersiap berkunjung ke rumah Nyak Sandang, di Lamno, Aceh Jaya. Perjalanan dari Kota Banda Aceh menggunakan mobil kami tempuh sekitar tiga jam. Kami melintasi sisi paling barat Pulau Sumatera. Bibir pantai menyajikan pemandangan indah dengan debur ombak yang bersahabat. Padahal 15 tahun lalu, ombak pantai barat itu membumbung tinggi dan menggulung semua benda yang ada di pantai.
ADVERTISEMENT
Perjalanan berlanjut melintasi perbukitan dengan hutan ada di sisi kiri jalan. Sementara di sisi kanan jalan, jurang curam langsung berbatasan dengan laut. Jalanan curam dan berliku sempat menciutkan nyali. Beruntung aspal yang kami lewati mulus sehingga mengurangi kekhawatiran kami.
Menjelang masuk Lamno, sopir yang mengantar rombongan menunjukkan kawasan terparah yang kena hantaman gelombang tsunami. Akhirnya batas masuk Lamno kami lewati. Mobil mulai beringsut lambat. Beberapa ratus meter kemudian mobil berhenti, kami sampai di tujuan.
Di Lamno, kami disambut meriah keluarga Sandang. Anak, cucu, dan kerabat, semua menyambut dengan pakaian rapi. Para pria mengenakan sarung khas Aceh. Sementara para perempuan mengenakan cadar. Semuanya ramah, camilan serta kopi khas Aceh dengan aroma pekat tersaji menggoda indra mata dan hidung kami.
ADVERTISEMENT
Tak lebih dari lima menit kemudian satu sosok renta bersahaja berjalan mendekat dari kejauhan. Ia tampak rapuh. Berjalan perlahan dituntun dua pria di setiap sisinya. Mereka mendekati kami, hingga akhirnya duduk bersama.
“Ini Nyak Sandang,” kata salah seorang kerabat. Serentak semua berdiri dan bersalaman. Saya terpukau. Saya pikir Nyak Sandang tadinya seorang perempuan, ternyata pria. Ia berambut putih, menggunakan peci, dan tongkat untuk menyangga jalannya. Suaranya parau dan bergetar saat berbicara (dalam bahasa Aceh). Umurnya mendekati 91 tahun. Darah Portugis yang mengalir masih bisa dilacak dari matanya yang biru.
Setelah percakapan ringan membuka perkenalan, kami meninjau lokasi masjid yang akan dibangun. Di lokasi itu saya sempat tertegun. Lahannya nyaris dipenuhi puing-puing bangunan yang terbengkalai dan dipenuhi rumput. Sungguh terharu. Apalagi menyadari keinginan membangun masjid ini pun didasarkan pada keinginan Nyak Sandang agar warga setempat bisa beribadah di masjid yang layak.
ADVERTISEMENT
Saya mencatat semua komunikasi yang terjadi, lalu mengabadikan momen tersebut sebagai dokumentasi. Ya, selain memastikan semua administrasi perjalanan aman, saya harus mencatat serta mendokumentasi semua aktivitas selama perjalanan. Semuanya akan tercatat sebagai laporan, yang mungkin akan menjadi bagian dari catatan sejarah.
Bagi saya, ini awalnya memang sekadar perjalanan dinas. Tapi, tidak sesudahnya. Jejak kedatangan saya dan tim menjadi pertanda bagi masyarakat bahwa pemerintah peduli dan benar-benar akan melakukan tindakan untuk mewujudkan janji.