Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Mission Impossible di Tanah Gempa
4 November 2019 10:45 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Bukan Remahan Rengginang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Ya Tuhan, tolong selamatkan saya!” Hanya kalimat itu yang terucap saat beberapa menit mendarat di Pulau Lombok, Minggu sore 5 Agustus 2018. Gempa berkekuatan 7,0 Magnitudo baru saja menyerang pulau yang bertetangga dengan Pulau Bali ini.
ADVERTISEMENT
Saya dan semua orang di Bandara Zainuddin Abdul Majid berlarian ke tempat terbuka. “Tuhan! Tsunami! Ayah! Ibu! Tolong!” Semua kata seakan-akan berlomba keluar dari mulut warga yang berhamburan di sepanjang jalan.
Kedatangan saya di Lombok pada saat itu adalah penugasan dari Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani. Saya diminta mengawal agenda kampanye peningkatan konsumsi ikan di Kota Mataram, pada 6 Agustus 2018. Saya bersama satu staf magang ditugaskan untuk berangkat lebih dulu sebelum pelaksanaan lomba.
Kaget. Bingung. Takut. Kedatangan kami disambut gempa. Lebih bingung lagi, saat itu tak ada staf ahli yang turut serta. Tak ada senior, tempat kami bertanya. Salah satu tugas saya adalah menggelar dan mengawal perlombaan masak ikan di Kota Mataram. Mendapatkan tugas pertama kali ke daerah yang belum pernah didatangi sebelumnya, jelas membuat saya sangat antusias. Ada perasaan khawatir karena baru pertama kali inilah saya harus menggelar dan mengawal lomba memasak ikan nusantara tanpa ditemani staf ahli.
ADVERTISEMENT
Lomba Masak Ikan Nusantara diselenggarakan untuk mendorong peningkatan konsumsi ikan nasional, bagian dari rangkaian perayaan HUT RI ke-73. Kampanye ini penting karena konsumsi ikan dapat mengurangi permasalahan balita stunting dan gizi buruk. Pemenang dari setiap kota dan kabupaten akan diundang memasak dan menghidangkan masakannya untuk Presiden pada 17 Agustus 2018.
Persoalannya, gempa baru menghempas. Apa mungkin lomba digelar esok pagi? Malam itu, Kota Mataram seperti “kota mati”. Penerangan hanya mengandalkan lampu mobil. Hotel-hotel hancur, saya hanya minum dari persediaan minuman kemasan dalam bentuk gelas yang masih tersedia.
Saya pasrah. Lelah. Badan risih lengket bercampur keringat, sejenak saya lupakan. Dengan rasa takut dan sedih, kami bergabung dengan penduduk yang mengungsi. Ada yang memakai alas tikar dan tenda, ada juga yang berbaring hanya berkalang langit. Nyamuk yang berseliweran sepertinya menjadi sesuatu yang tak berarti di tengah kecamuk khawatir gempa susulan.
ADVERTISEMENT
Rasa lelah yang sangat membuat saya cepat tertidur di antara para pengungsi saat itu. Saat terbangun, jam sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi waktu Lombok. Rencana pagi itu, setelah membersihkan diri ala kadarnya, saya akan pergi ke Kantor Wali kota Lombok, memeriksa situasi.
Di halaman kantor wali kota, berbagai pihak yang terlibat sudah berkumpul. Kagum juga saya. Di tengah situasi kalut, panitia, peserta, berkumpul. Saya ingat ada seorang peserta berkata, “Mas, Mbak, ini satu-satunya kesempatan kami, yang mungkin tidak akan terulang. Kami ingin menang, berangkat ke Jakarta, dan memasak untuk Pak Presiden. Jadi, biar pun habis gempa, lomba harus jalan terus. Mudah-mudahan gempa susulan berhenti.”
Semangat para peserta itulah yang membuat panitia terpacu. Kami sepakat, lomba jalan terus. Kami tak ingin mengecewakan peserta, juga ingin menunjukkan semangat warga Lombok. Sebagian besar peserta memang tak hadir. Maklum, mereka harus menghadapi rumah rusak dan kepanikan akibat gempa. Ada 10 dari 75 peserta yang masih ingin mengikuti lomba.
ADVERTISEMENT
Hati saya tersentuh mengetahui perjuangan salah satu peserta, yaitu Ibu Baiq Damayanti. Gempa membuat persiapan alat masak berantakan. Namun, berbekal tekad kuat ingin bertemu Presiden, dia menguatkan diri: harus tetap ikut lomba. Pukul 02.00 dini hari, dalam kondisi mati lampu, saat orang lain berbaring di lapangan terbuka, dia memberanikan diri masuk ke rumah. Dia cari peralatan masak yang sudah berhamburan dan mempersiapkan segala kebutuhan untuk lomba keesokan hari.
Hari itu, suasana lomba cenderung senyap. Seluruh yang hadir pun tak menyinggung soal gempa yang menimpa malam sebelumnya. Hasil pengumuman pemenang lomba masak ikan Kota Mataram telah diumumkan. Terlihat rasa kecewa dari raut muka peserta yang belum berhasil berangkat ke Jakarta. Namun di balik kekecewaan tersebut, saya melihat sebuah tekad yang luar biasa. Tekad bertemu sang Presiden, mengalahkan segala kekhawatiran dan ketiadaan akibat gempa sekali pun.
ADVERTISEMENT
Di Jakarta, tepat pada 17 Agustus 2018, saya melihat dua peserta yang mewakili Kota Mataram berada di Kompleks Istana untuk memasak dan menyajikan masakan mereka di hadapan Bapak Presiden, Ibu Iriana Jokowi, dan beberapa menteri. Saya tak bisa menyembunyikan rasa haru.
Apalagi ketika saya lihat Ibu Baiq adalah perwakilan pemenang dari Kota Mataram. Ah, akhirnya tercapai juga mimpinya bertemu Presiden. Dia tampak sangat bahagia dan bangga ketika Bapak Presiden mampir dan mencicipi makanan khas Lombok. Bagi saya, mungkin inilah yang disebut mission impossible accomplished.
Live Update