Perjalanan Sang Atma di Tanah Papua

Bukan Remahan Rengginang
Kisah Orang Muda di Istana. Link untuk mengunduh e-book 'Bukan Remahan Rengginang': http://ksp.go.id/unduh-buku/
Konten dari Pengguna
7 November 2019 11:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bukan Remahan Rengginang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
R. Akbar Fajri Sumaryanto. Foto: Dok: Bukan Remahan Rengginang.
zoom-in-whitePerbesar
R. Akbar Fajri Sumaryanto. Foto: Dok: Bukan Remahan Rengginang.
ADVERTISEMENT
“Bapak, beta ucapkan terima kasih kepada Bapak dan kawan-kawan lain, jauh-jauh dari Jakarta su mau datang kemari mengajarkan kami.” Logat khas Indonesia Timur itu keluar dari mulut seorang mama dari Dinas Pendidikan salah satu kabupaten di Papua Barat.
ADVERTISEMENT
Mendengar itu, perasaan riuh bergejolak. Haru sekaligus bangga. Menatap wajah-wajah mereka yang tersenyum lebar dan ramah. Sebuah tanda bahwa kehadiran kami punya arti khusus di tengah-tengah mereka. Di antara penugasan negara berkeliling negeri, perjalanan ke tanah Papua bukanlah sekedar misi mengajak maju saudara-saudara di timur Indonesia demi masa depan yang lebih cerah. Tapi, perjalanan ini juga tentang penuntasan gejolak jiwa. Gejolak ‘atma’ yang terpendam.
Kamis, 28 Februari 2019 itu adalah hari dimulainya Agenda Rapat Koordinasi Teknik (RAKORTEK) bagi seluruh Organisasi Perangkat Daerah di Papua Barat. Saya, satu-satunya yang mewakili Kantor Staf Presiden (KSP) saat itu. Ini kehadiran Pemerintah Pusat yang pertama kali sejak hadirnya kebijakan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
ADVERTISEMENT
Manokwari adalah ibukota Provinsi Papua Barat. Kota injil bersejarah di mana kisah peradaban di tanah Papua berawal. Damainya kota Manokwari pagi itu terasa kental. Perjalanan perdana ke tanah Papua selama 5 jam meninggalkan penat, namun hilang begitu saja saat menuruni anak tangga pesawat. Hangatnya sinar matahari dan segarnya udara pagi menjadi penyambut terbaik. Keduanya kompak memberikan ketenangan.
Tidak banyak waktu yang dimiliki untuk menikmati suasana ini. Saya harus segera ke hotel, menaruh barang dan bersiap menuju Kantor Gubernur di mana rapat akan dimulai pagi itu juga. Jangan membayangkan jika semua ibu kota provinsi di Indonesia memiliki sarana dan prasana yang sama, pun di Kota Manokwari. Bagai semang kehilangan induk, saya kebingungan mencari transportasi yang bisa mengangkut saya ke Kantor Gubernur. Tidak ada taksi online ataupun taksi konvensional yang mudah dijumpai pada kota-kota besar di pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah sewa kendaraan yang tak tanggung-tanggung mahalnya. Padahal jaraknya tidaklah lebih dari 15 km. Kantor Gubernur yang megah pagi itu memberi kesan wajah baru Papua yang siap berlari ke arah perubahan yang lebih baik. Rapat pagi ini adalah pertemuan koordinasi pengimplementasian amanat Inpres 9/2017 yang menginstruksikan akselerasi pada seluruh aspek pembangunan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Kegiatan ini dinilai strategis karena di sinilah masukan penyusunan program-program yang tepat guna dan tepat sasaran disusun.
Inpres ini bukanlah kebijakan semu semata, melainkan demi memberikan kehidupan yang sama, demi Indonesia yang setara. Banyak pertanyaan sederhana terlontar pada forum ini. Hingar bingar antusiasme peserta yang tak sabar mendapat giliran bertanya menggambarkan kondisi saat itu.
ADVERTISEMENT
“Bapak, bagaimana caranya kami membangun sekolah? Kami mau anak-anak di distrik kami dapat bersekolah dan tidak usah menempuh puluhan jarak km”.
“Bagaimana kami bisa membangun puskesmas di distrik kami?”
“Mengapa koperasi yang kami bangun tidak memberi keuntungan?”
Saya tertegun. Pemahaman akselerasi yang saya siapkan di kepala, buyar. Ternyata implementasi akselerasi yang diharapkan oleh pemerintah pusat tidak berada pada poros yang sama dengan daerah. Pertanyaan-pertanyaan tadi menyadarkan saya pada realitas yang ada. Pada satu titik, di jam dan di tempat yang sama, pikiran saya terbang. Membayangkan dan menempatkan diri pada kedudukan yang sama dengan mereka.
Kedeputian V Foto: Bukan Remahan Rengginang
“Mama, apakah di dekat lokasi rencana pembangunan sekolah tersedia mata air? Tersedia jalur listrik? Tersedia siswa didik? Tersedia tanah hak ulayat?”
ADVERTISEMENT
Bentuk jawaban yang saya berikan merupakan hasil dari pergolakan batin bahwa merekalah pemeran utama sang penggerak roda perputaran daerah. Bahwa pendekatan kontekstual-lah yang seharusnya dimiliki. Komunikasi yang muncul saat itu memberikan banyak pencerahan bagi saya. Senyuman dan anggukan kepala dari peserta pada akhir sesi mulai bertebaran. Sebuah refleksi diri, sekecil apapun upaya yang dilakukan merupakan langkah awal menuju perubahan-perubahan besar.
Mendudukkan pada tempat yang sama antara aku dengan kamu ternyata dapat membuka sekat-sekat kaku. Memunculkan keingintahuan yang menggebu. Antusias membuka peluang-peluang baru. Peluang untuk mau diajak berlari. Peluang untuk menjadi tuan rumah di tanah mereka sendiri.
Perjalanan perdana di tanah Papua ini telah memperkaya jiwa. Untuk menuntaskan atma yang selama ini resah. Yaitu, atma yang selalu gelisah ingin menuntaskan keinginan Bapak. “Pak, aku sudah memenuhi pesan bapak untuk menebar kasih sayang. Dan hari ini aku sudah ada di tanah Papua. Tuntas, akhirnya semua pulau besar di Indonesia sudah aku singgahi. Semoga Bapak bangga. Salam rindu, Pak.” Pesan monolog di whatsapp untuk Bapak di surga. Pesan yang tak akan berbalas.
ADVERTISEMENT