Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Sekretariat Penampung Curhat
13 November 2019 11:14 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Bukan Remahan Rengginang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kamis pagi, Januari 2019. Saya berkantor seperti biasa. Baru saja duduk di kursi meja kerja di Gedung Bina Graha Kantor Staf Presiden, telepon berdering. Saya angkat. Di ujung telepon suara perempuan langsung menodong dengan pertanyaan: “Apakah surat saya sudah diterima?” tanyanya.
ADVERTISEMENT
Saya tentu saja tak ingat dengan semua surat. Kendati demikian, saya meminta penelepon untuk menceritakan permasalahan yang disampaikan dalam surat tersebut. Sejurus kemudian ibu tersebut lancar menceritakan kisah hidupnya. Dari ceritanya, dia adalah istri seorang pegawai negeri sipil. Ia dan suami menjalani hubungan suami istri yang terpisah jarak dan waktu, LDR (long distance relationship), hingga 15 tahun.
Belasan tahun menjalani LDR dan belakangan hubungan keduanya memanas berujung kandas. Sang ibu tak ingin keluarganya berantakan karena sudah memiliki dua anak. Saya yang tadinya sebal mendadak terharu dan memilih untuk menjadi pendengar yang baik.
Tapi, sebenarnya saya masih belum klik, apa hubungan kisah ini dengan KSP?
Di tengah mendengarkan, saya mulai teringat dengan surat yang berisi persis sama dengan cerita sang ibu. Setelah ibu itu selesai bercerita, saya sampaikan bahwa surat sudah diterima. Saya meminta ibu itu menghubungi kami kembali di kemudian hari. Setelah telepon ditutup, saya bergegas mencari surat si ibu. Saya baca ulang isinya. Dalam isi surat sang ibu menuliskan keinginannya agar pemerintah memindahkan tugas kerja suami ke daerah tempat keluarganya tinggal. Oooo… ini toh, kaitannya dengan KSP.
ADVERTISEMENT
Ini bukan pertama kali saya menerima pengaduan yang sifatnya persoalan keluarga. Sebelumnya banyak cerita serupa, juga cerita lain yang nadanya ketus hingga marah-marah. Beragam persoalan yang terpaksa saya harus dengarkan, yang sering tak ada kaitan dengan KSP. Hal ini membuat perjalanan di awal karier saya begitu sulit.
Saya adalah pegawai negeri sipil dengan latar belakang teknologi informasi. Setelah saya diterima bekerja di Sekretariat Negara, penempatan saya adalah sekretariat Kantor Staf Presiden. Saya bergelut dengan surat menyurat. Kendati mendengarkan cerita curahan hati bukan bagian dari pekerjaan administrasi, saya tak menghindarinya. Saya menilai mendengarkan keluh kesah masyarakat merupakan bagian dari komunikasi antara pemerintah dan warganya.
Meski sekadar mendengarkan, respons yang saya lakukan dianggap masyarakat sebagai perwakilan instansi. Maka saya perlu bersikap bijak, sopan, juga menunjukkan empati. Bersikap seperti ini merupakan sesuatu yang baru sebab sepanjang menempuh pendidikan di universitas saya hanya berfokus terhadap benda statis.
ADVERTISEMENT
Saya cuma belajar berurusan dengan mesin dan data teknologi. Alih-alih menunjukkan empati, berkomunikasi dengan orang baru sulit saya lakukan. Kesulitan itu muncul karena kurangnya kepercayaan diri yang terus terang saja jarang saya latih.
Tapi semua berubah sejak saya memasuki dunia kerja dan mengantarkan saya masuk Kantor Staf Presiden. Awal mula bekerja di KSP saya menganggap job desc yang diberikan bukan passion saya. Namun seiring perjalanan karier berkecimpung dalam tugas administrasi, saya mulai menikmati dinamikanya. Tugas saya memaksa saya berkomunikasi dengan banyak pihak, mulai dari Kementerian dan Lembaga pemerintah, kalangan swasta, hingga masyarakat umum.
Harus saya akui mengelola administrasi persuratan tak mudah. Saya wajib tahu perjalanan proses sebuah surat terbit atau sebuah surat sampai ke tangan pejabat yang tepat. Satu surat bisa menjadi penting karena bisa menginisiasi sebuah kebijakan atau program pemerintah yang berpengaruh pada hajat hidup orang banyak. Administrasi surat-menyurat bukan tugas sepele, tetapi ia bisa menjadi bagian yang menentukan.
ADVERTISEMENT
Adapun untuk surat-surat yang masuk atau berasal dari pihak eksternal, saya selalu membuka dulu dan membacanya. Dengan membaca isi surat dari pihak luar, saya menjadi tahu topik yang dibahas. Tak jarang topik permasalahan dalam isi surat justru mengenai topik sosial, ekonomi, politik yang sedang viral dalam pemberitaan. Namun tak sedikit surat yang berisi permasalahan pribadi dan keluarga.
Sering juga surat dari masyarakat ditindaklanjuti dengan telepon. Ini biasanya terjadi karena masyarakat menilai kurang ada respons dari KSP. Sehingga si pengirim memilih menindaklanjuti lewat telepon. Jika sudah demikian maka si penelepon akan bertemu dengan saya. Saya menjadi pendengar.
Suatu ketika, saya menerima telepon marah-marah dari Gorontalo. Penelepon sedang menghadapi sengketa tanah. Entah alasan apa yang membuat orang tersebut membawa sengketa tanahnya hingga KSP. Kasus yang membelitnya itu membuat orang tersebut berbicara dengan nada tinggi yang bercampur dengan kekesalan. Saya yang mendengarnya juga terbawa emosi. Namun tak banyak yang bisa saya lakukan selain mendengar dan menjanjikan akan meneruskan uneg-unegnya kepada pihak terkait.
ADVERTISEMENT
Berkomunikasi dengan pihak luar sekilas terlihat sepele. Padahal, saya yakin, kualitas komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan sangat menentukan kinerja pemerintah. Bagi saya, komunikasi sosial tak kalah penting dengan teknologi yang selama ini saya pelajari. Inilah alasan saya untuk setia dan tetap bersemangat bekerja dan berteman dengan surat-menyurat.
Live Update