Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kisah dari Sudut Sunda Kelapa
15 November 2019 8:24 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Bukanrastaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lama tak berjalan menyusuri Jakarta. Ada perasaan rindu untuk mengunjungi Sunda Kelapa. Kapal-kapal kayu yang bersandar, aroma laut dan riuh para manusia dengan segala kesibukannya selalu menggoda untuk dijelajahi. Karena pada umur yang sekarang, aku pikir perjalanan bukan lagi soal lomba jarak mana yang paling jauh, namun juga soal memetik makna paling bisa berpengaruh dalam hidup.
ADVERTISEMENT
Saya sampai di Sunda Kelapa pukul 6 pagi. Semburat mentari sudah meninggi. Namun kapal-kapal masih sepi. Beberapa penjaja sampan mulai menawarkan jasa. Bagi kalian yang belum tahu, di Sunda Kelapa ada dua menara indah. Hanya bisa ditempuh dengan naik kapal. Harganya pun beragam, tapi tidak sampai mengoyak kantong lebih dalam. Karena dengan harga berkisar Rp 60 ribu kamu akan dibawa berkeliling dermaga. Melihat jejeran buritan kapal, sampai penampakan Kapal Tol Laut yang sempat menjadi viral. Mengantarkan orang dan barang ke Pulau Seribu.
Laut di Sunda Kelapa jelas tak biru. Namun entah kenapa ada perasaan betah berada di sana. Ayunan ombak yang tidak terlalu besar, sampah yang cukup mengganggu, bersama aktivitas manusia mencari nafkah menjadikan daerah ini hiburan sendiri.
ADVERTISEMENT
Kau akan melihat aktivitas pemancing di sana, orang mengais rezeki dari sampah laut sampai lalu lalang cerita pembawa kapal untuk wisata.
Hari itu, satu dua patah kata dengan pembawa kapal membuka sebuah cerita. Saya menyebut namanya Jamal. Seorang nelayan dari kecil, lahir dari rahim Samudra yang berasal dari Bugis, suku laut terkenal di negeri ini. Sebuah manusia hidup dan berjuang untuk merantau. Dari laut ke laut hingga menetap di Jakarta. Lewat daerah bernama Sunda Kelapa.
Jamal adalah salah satu kisah diantara ratusan cerita dari Sunda Kelapa. Dari mencari ikan di laut sampai mengantar wisatawan, dia mampu menyekolahkan empat anaknya sampai satu dari mereka mendapatkan gelar sarjana. Saya cukup terkejut dengan apa yang dia tuturkan. Bagaimana semangatnya dalam menghadapi hidup, meski umurnya menua.
ADVERTISEMENT
Dari kecil dia sudah ikut kapal Phinisi. Mengantar barang dari satu pulau ke pulau lainnya. Dari jaman kapal hanya bergerak mengandalkan layar dan angin, sampai terciptanya mesin untuk lebih cepat menambahkan gerakan kapal. Tak heran dia kaya cerita, dari ombak yang hampir menenggelamkannya sampai uang yang benar-benar hanya cukup untuk makan walau sedikit saja.
Saya masih ingat sebuah cerita bagaimana suku Bugis dari desanya hampir 80 persen merantau. Lalu kemudian saling tak tahu kabar karena era smartphone belum ada seperti sekarang. Wajahnya masih kuat di usia senja, tapi sakit lambung yang menyapanya membuat gerakannya makin terbatas. Tak heran dia memikirkan cara bagaimana bertahan hidup nantinya.
Obrolan panjang menjelang siang tiba-tiba membawa sebuah kisah bahwa dia dulu adalah pengrajin replika kapal. Iya, hampir tiga tahun lalu Sunda Kelapa masih ramai dipenuhi pengrajin replika kapal untuk buah tangan.
Namun, minimnya apresiasi membuat buah karya itu akhirnya gulung tikar. Lewat pengalaman setengah umurnya di Kapal Phinisi, Jamal belajar otodidak membuat replika kapal. Saya iseng menawarkan untuk memesan kepada beliau kapal replika. Kemudian melihat bagaimana proses membuatnya.
Detail demi detail memang beliau siapkan. Karyanya menurut saya bagus, disamping bagaimana prosesnya yang begitu lama. Memotong, merakit dan menyulam layar dia kerjakan satu persatu. Konon butuh waktu seminggu untuk membuat satu kapal. Dan saat sudah jadi kemudian saya membatin dalam hati
ADVERTISEMENT
Barangkali sebuah karya di tempat wisata harusnya bukan soal harga. Tapi bagaimana sebuah cerita yang terkandung di dalamnya.
Hari itu Pak Jamal mengajarkan, bahwa perjalanan adalah tentang menemukan. Lalu menjadi diri sendiri untuk terus berbahagia.
Terima kasih Sunda Kelapa, terima kasih Jakarta.