UU Cipta Kerja: Mengawal Isu Moralitas Bangsa

Bukhori Yusuf
Anggota Komisi VIII DPR RI (2019-2024). Anggota Badan Legislasi Fraksi PKS. Ketua DPP PKS Badan Penelitian dan Pengembangan (2020-2025).
Konten dari Pengguna
30 Oktober 2020 8:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bukhori Yusuf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Komisi VIII DPR RI turut bertanggung jawab memelihara tatanan sosial dan keagamaan masyarakat. Foto: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Komisi VIII DPR RI turut bertanggung jawab memelihara tatanan sosial dan keagamaan masyarakat. Foto: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Moral adalah nilai (value) yang berkenaan dengan perilaku, ucapan, maupun pola pikir manusia terhadap sesamanya dan dipengaruhi oleh tatanan sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat. Dalam terminologi agama, moral kerapkali dikaitkan dengan akhlak, yakni wujud perbuatan maupun ucapan yang menampilkan budi pekerti yang luhur. Dalam prosesnya, pembentukan moral individu sesungguhnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah lingkungan sosial. Pada sisi lain, ekosistem lingkungan sosial ini terdiri dari sejumlah variabel pembentuk, antara lain yakni institusi pendidikan, keluarga, pergaulan, dan media massa.
ADVERTISEMENT
Guru Besar FIB UI, MT Hardjatno pernah menurunkan satu artikel menarik dalam surat kabar Media Indonesia edisi Oktober 2018 dengan judul "Peran Media sebagai Penjaga Moral". Dalam artikel tersebut ia menjelaskan, media bisa digunakan oleh pemiliknya, yang biasanya bermodal besar, untuk menentukan apa dan bagaimana mereka hendak memengaruhi alam bawah sadar kolektif suatu masyarakat. Pada gilirannya, masyarakat yang terbiasa terpapar oleh tayangan yang telah diatur sedemikian rupa akan menjalankan apa yang dikehendaki oleh kekuatan yang menguasai media tersebut. Artinya, bisa dikatakan bahwa kedudukan media memiliki pengaruh signifikan terhadap kontribusi pembentukan konstruksi budaya, perilaku, maupun cara pandang masyarakat terhadap sesuatu.
Pada sisi lain, tesis ini sebenarnya mengindikasikan bahwa pengaruh media juga menyimpan potensi bahaya terselubung. Khususnya dalam kacamata bisnis, media sebagai sebuah industri memiliki irisan dengan kepentingan kapitalisme, yakni hasrat untuk terus meningkatkan akumulasi profit.
ADVERTISEMENT
Tak ayal, sejak beroperasinya sejumlah stasiun TV swasta di Indonesia, persaingan bisnis antar stasiun TV semakin marak dengan perlombaan yang menampilkan sejumlah tayangan yang memikat banyak perhatian pemirsa. Lagipula jika dipetakan, eksistensi dari sejumlah grup korporasi media massa nasional mayoritas dimiliki oleh swasta. Alhasil, tidak jarang kuasa modal akhirnya memaksa penyelenggara siaran menyesuaikan acara-acara yang ditayangkan berdasarkan kepentingan kapitalis, yakni melalui iklan, sinetron ringan yang tidak mendidik, maupun film yang sarat dengan demoralisasi. Pemirsa dijadikan komoditas untuk dijual kepada pemasang iklan dalam rangka meraih profit sebesar-besarnya sehingga hak publik untuk memperoleh tayangan yang memadai acapkali tergadaikan.
Karman dalam Monopoli Kepemilikan Media & Lenyapnya Hak Publik (2014) menerangkan, media yang dimiliki oleh konglomerat menyebabkan terjadinya pemusatan kepemilikan media massa dan timbulnya tarik ulur antara idealisme pers, kepentingan bisnis, dan kepentingan politik. Dengan mengutip pendapat Devereux dalam Understanding the Media (2007), ia menambahkan, kondisi pasar media yang monopolistik tersebut pada gilirannya akan menyebabkan; 1) berita, current affair, dan jurnalisme investigasi mengarah pada hiburan, populisme, dan infotainment; 2) pergeseran paradigma, yakni audiens sebagai konsumen, bukan warga (citizen).
Konten penyiaran berpengaruh dalam proses pembentukan moral masyarakat. Foto: Google
Sebenarnya hak publik sebagai audiens sesungguhnya telah diatur dalam Pasal 36 UU No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang menyebutkan;
ADVERTISEMENT
“Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Selain itu isi siaran juga wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja”
Artinya, keberadaan UU Penyiaran sebagai sebuah instrumen hukum adalah dalam rangka memastikan tujuan penyelenggaraan penyiaran sejalan dengan tujuan nasional, yakni memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, serta mencerdaskan kehidupan bangsa (red, Pasal 3). Di samping itu, hal ini juga sejalan dengan arah dari penyelenggaraan penyiaran yang telah diatur undang-undang terkait, yakni dalam rangka menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa (red, Pasal 5 huruf b).
ADVERTISEMENT
Adanya UU Penyiaran selama ini adalah wujud keberpihakan Negara dalam menjaga moral bangsa dari ancaman penetrasi pengaruh negatif melalui media massa. Instrumen hukum ini adalah pagar moral untuk memastikan terpeliharanya nilai-nilai kesusilaan, norma sosial, budaya, dan nilai religiusitas di tengah kehidupan masyarakat.
Kendati demikian, sangat disayangkan bahwa “pagar moral” yang telah lama terbangun tersebut terpaksa dirombak melalui UU Cipta Kerja. Melalui aturan hukum baru tersebut, peran Negara untuk melindungi warganya dihapuskan secara sistematis melalui peralihan ketentuan terkait sanksi. Peran Negara untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada warga negara melalui siaran berkualitas seolah terkooptasi oleh kepentingan pemilik modal.
Dampak UU Cipta Kerja terhadap UU No 32/2002 Tentang Penyiaran
ADVERTISEMENT
UU Cipta Kerja (versi 812 hlm.) telah mengubah sejumlah ketentuan dalam pada UU No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Misalnya dalam Pasal 46 ayat (3) UU No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran disebutkan bahwa siaran iklan niaga dilarang melakukan:
a. promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain;
b. promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif;
c. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;
d. hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau
e. eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun
Mayoritas masyarakat Indonesia masih mengakses informasi melalui media TV. Foto: CNN Indonesia
Terkait konsekuensi hukum yang diberikan apabila terjadi pelanggaran terhadap pasal tersebut kemudian diatur melalui UU yang sama tepatnya pada Pasal 58 huruf d yang menyebutkan;
ADVERTISEMENT
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3).”
Artinya, barangsiapa yang terbukti mempromosikan konten yang ofensif terhadap nilai moral, kesusilaan, dan nilai agama di masyarakat berhak dihukum dengan sanksi pidana denda dan/atau pidana penjara. Sayangnya, UU Cipta Kerja justru melemahkan konsekuensi hukum tersebut dengan mengubah ketentuan sanksi yang sebelumnya bersifat sanksi pidana menjadi sanksi administratif. Selain itu, penghapusan ketentuan pidana ini sebenarnya terkait dengan klaster sanksi di Omnibus Law UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, hal ini dijelaskan di Pasal 72 UU Cipta Kerja terkait pengubahan beberapa ketentuan pada UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pada angka 5 disebutkan bahwa ketentuan Pasal 55 diubah, salah satunya dengan memasukan norma baru terkait pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (3), maka hanya dikenai sanksi administratif. Sedangkan di dalam Pasal 55 ayat (2) dijelaskan bahwa sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Pasal 55 ayat (1) dapat berupa;
a. Teguran tertulis;
b. Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
c. Pembatasan durasi dan waktu siaran;
d. Denda administratif;
e. Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
f. Tidak diberi perpanjangan Perizinan Berusaha penyelenggaraan penyiaran; dan/atau
ADVERTISEMENT
g. Pencabutan Perizinan Berusaha penyelenggaraan penyiaran.
Selanjutnya pada Pasal 55 ayat (3) UU Penyiaran versi UU Cipta Kerja dijelaskan;
“Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.”
Catatan Kritis
Terdapat dua poin kritis penulis terhadap ketentuan baru terkait sanksi ini.
Pertama, penerapan sanksi administratif sesungguhnya tidak efektif apabila diperuntukkan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya berat, khususnya dalam hal iklan niaga yang mempromosikan produk rokok dan minuman keras (miras).
Pasalnya, apabila lembaga penyiaran yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran yang berbuah dalam bentuk sanksi denda administratif, sesungguhnya celah untuk “pemufakatan gelap” dengan oknum pengusaha kotor masih terbuka lebar. Mereka bisa saja hanya tinggal menambah biaya tambahan untuk denda bagi lembaga penyiar supaya iklan produk mereka bisa tetap berjalan.
ADVERTISEMENT
Apalagi, jika keuntungan penjualan produk melalui iklan ternyata mendatangkan peningkatan profit, maka penerapan denda administratif menjadi tidak efektif.
Selain itu, sebagaimana dalam Pasal 55 ayat (1), sanksi administratif memiliki sifat berjenjang, yakni dari yang ringan, misalnya denda, sampai dengan yang berat, misalnya pencabutan izin. Sedangkan apabila harus dibuatkan aturan yang spesifik mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif justru akan semakin kompleks sehingga mencerminkan wajah kerumitan lain dalam aspek birokrasi.
Padahal, bukankah hadirnya UU Cipta Kerja justru diklaim untuk penyederhanaan birokrasi?
Pemerintah mengklaim UU Cipta Kerja dibentuk untuk penyederhanaan regulasi. Foto: Detik.com
Kedua, penerapan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang berimplikasi pada degradasi moral sesungguhnya tidak sepadan dengan konsekuensi sosial yang akan muncul di kemudian hari. Pasalnya, formulasi sanksi dalam UU Cipta Kerja sebenarnya lebih ditujukan pada lembaga atau sistemnya, bukan perilaku manusianya.
ADVERTISEMENT
Mirisnya, tindakan perusakan moral atau demoralisasi melalui penetrasi media memiliki watak penularan yang agresif. Karena itu, mekanisme yang sejatinya dibutuhkan adalah melalui tindakan pencegahan, yakni pemberian sanksi tegas terhadap personalnya, disamping penerapan sanksi terhadap lembaga ataupun sistemnya.
Di sisi lain, perlu diakui bahwa pada titik inilah sanksi pidana dalam UU Penyiaran eksisting sebenarnya menemukan relevansinya dalam merespons upaya pencegahan dini terhadap potensi kerusakan moral yang ditimbulkan akibat paparan eksesif terkait tayangan yang tidak mengindahkan nilai moral yang sesuai dengan kepribadian bangsa.
Dengan demikian, potensi tergerusnya moralitas anak bangsa tetap terbuka lebar.
UU Cipta Kerja sudah kadung disahkan. Maka, tugas besar di depan bagi kita semua adalah melakukan pengawalan terhadap implimentasi dari UU ini, khususnya terkait regulasi baru yang mengatur tentang penyiaran. Keresahan kolektif kita terhadap UU Cipta Kerja ini semestinya mampu diwujudkan melalui pikiran dan perbuatan yang produktif dan kontributif demi terpeliharanya tatanan moral bangsa.
ADVERTISEMENT